| 27 Views
Mengakhiri Kekerasan Fisik Dan Seksual Pada Anak Dengan Sistem Islam

Oleh: Mentari
Aktivis Dakwah
Seorang anak berusia dua tahun harus meninggal di tangan pasangan suami istri yang terbukti melakukan kekerasan fisik kepadanya di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau. Berdasarkan keterangan Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Kuansing AKP Shilton, selama dititipkan oleh ibu korban, pasutri ini melakukan penganiayaan terhadap korban. Kedua pelaku mengaku sakit hati karena korban sering menangis dan rewel.
Di lokasi yang berbeda, kasus kekerasan terjadi pada seorang anak berinisial M. Ia disiksa orang tuanya di Surabaya dan ditemukan di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Ia ditemukan Satpol PP Kebayoran Lama yang tengah melakukan patroli di kawasan Pasar Kebayoran Lama pada Rabu (11-6-2025) pagi pukul 07.20 WIB.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan dan Anak (KemenPPPA) menyatakan ikut mengawal penanganan kasus anak yang ditelantarkan dan dianiaya oleh ayah kandungnya di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Anak tersebut saat ini sedang menjalani perawatan intensif di RS Polri Kramat Jati. Saat ini polisi masih mencari keberadaan orang tua anak tersebut.
Pada Mei 2025, kasus pengiriman paket berupa tas berisikan mayat bayi menggunakan aplikasi transportasi online dan dibawa oleh ojek oline (ojol) menjadi pusat perhatian masyarakat. Dua pelaku merupakan kakak beradik alias hubungan inses.
Pada 2023 kasus pembunuhan bayi hasil hubungan sedarah atau inses antara ayah dan anak di Purwokerto telah menggemparkan masyarakat. Tersangka mengakui mengubur tujuh bayi dalam kondisi hidup-hidup. Ia juga mengaku telah melakukan rudapaksa terhadap anaknya selama kurang lebih 10 tahun.
Kasus kekerasan fisik dan seksual yang menimpa anak menjadi potret kelam di negeri ini. Hal ini tentu menjadi tanggung jawab bersama agar anak-anak pada masa depan tidak lagi menjadi korban kekerasan, juga terlindungi dari kejahatan yang mengintai mereka, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Hal ini tentu juga membutuhkan peran negara dalam menjamin kehidupan dan melindungi generasi sebagai aset berharga keberlangsungan peradaban manusia.
Meningkat Signifikan
Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada periode Januari—Desember 2024, jumlah kasus kekerasan fisik dan seksual sebanyak 19.628 kasus, lalu jumlah korban kekerasan mencapai 21.648 orang. Terjadi peningkatan secara signifikan dibandingkan dengan tahun 2023 sebanyak 15.120 kasus. Pada periode Januari—Desember 2024, jumlah korban berdasarkan jenis kekerasan, yang tertinggi adalah kekerasan seksual sebanyak 11.771 korban. Pelaku kekerasan terhadap anak tertinggi adalah mereka yang terdekat dengan korban seperti teman dan orang tua sebanyak 6.890 tersangka.
Data ini sungguh memprihatinkan. Anak-anak dikelilingi kejahatan di sekitarnya, bahkan pelaku adalah orang terdekat, yakni keluarga. Kekerasan di lingkungan keluarga dipengaruhi banyak faktor, di antaranya adalah lemahnya pemahaman terhadap peran orang tua dalam pendidikan dan pengasuhan, faktor ekonomi, emosi yang tidak terkendali, dan kerusakan moral karena iman yang lemah.
Sistem Sekuler Kapitalisme
Semua faktor penyebab munculnya kekerasan fisik dan seksual pada anak tidak bisa terlepas dari sumber masalahnya, yakni sistem sekuler kapitalisme yang diterapkan hari ini. Sistem ini menghilangkan fitrah orang tua yang memiliki kewajiban melindungi anak-anak.
Sistem sekuler kapitalisme telah meruntuhkan fungsi keluarga sebagai tempat berlindung yang aman dan menanamkan keimanan yang kuat kepada anak. Yang terjadi hari ini, visi pendidikan keluarga berkutat pada pencapaian materi yang tidak diimbangi dengan pemahaman Islam yang benar. Minimnya literasi dan pemahaman seputar pola asuh dan mendidik anak dalam Islam menjadikan peran orang tua mandul.
Akibatnya, nilai-nilai takwa yang semestinya terbangun dan tersuasana dalam keluarga justru tereduksi dengan nilai-nilai sekuler dan kebebasan yang jauh dari tuntunan wahyu (Islam). Orang tua berpotensi menjadi pelaku kekerasan fisik dan seksual. Anak juga berpotensi berperilaku negatif dan bermaksiat hingga akhlaknya rusak terbawa arus pergaulan bebas yang menyesatkan.
Apalagi jika kedua orang tua sama-sama sibuk bekerja di luar rumah. Saat itulah anak cenderung diasuh dan dididik oleh lingkungan sekitarnya. Lingkungan tempat anak tumbuh akan berpengaruh besar pada perubahan sikap dan kepribadiannya.
Faktor ekonomi juga turut mendorong banyaknya kasus kekerasan terhadap anak. Impitan ekonomi bisa membuat orang tua gelap mata dengan menyiksa dan menelantarkan anak, bahkan melakukan kekerasan seksual. Sebagai contoh, pelaku hubungan inses dalam fakta di atas mengaku tega menyetubuhi anaknya sendiri lantaran ingin cepat kaya dengan cara instan.
Keterbatasan ekonomi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan orang tua kurang memperhatikan pola asuh dan pendidikan anak. Faktor ekonomi yang terbatas juga kerap menjadi alasan kesibukan orang tua mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Imbasnya, anak telantar dan tidak terdidik dengan benar.
Kontrol emosi yang lemah juga menjadi faktor penyebab kekerasan terhadap anak. Sistem sekuler kapitalisme telah membentuk karakter masyarakat cenderung emosional atau temperamental. Sudah banyak kasus kriminal terjadi karena dipicu oleh emosi atau kemarahan sesaat yang berujung pada hilangnya nyawa seseorang, termasuk anak-anak.
Lingkungan sosial dan budaya yang permisif terhadap kekerasan juga memengaruhi tingginya angka kekerasan. Jika anak disuguhi perilaku yang terbiasa menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah, perilaku kekerasan tersebut akan menguat dalam diri mereka. Anak adalah peniru ulung. Cara orang dewasa memperlakukannya akan ia tiru ketika memperlakukan orang lain.
Di sisi lain, lingkungan kehidupan sekuler turut membentuk karakter anak menjadi sekuler. Jika masyarakat menormalisasi kemaksiatan dan keburukan, hal itu akan membuat perilaku dosa dan maksiat dianggap biasa dan normal sehingga orang tidak lagi merasa bersalah atau takut akan dosa.
Pengaruh media dan maraknya pornografi sejatinya menjadi ranah negara dalam melakukan pencegahan. Negara seharusnya melakukan kontrol dan pengawasan terhadap konten, tayangan, tontonan, dan produksi film yang berbau pornografi atau kekerasan. Akan tetapi, sekularisme telah memandulkan peran negara dalam aspek ini. Film-film berbau maksiat dan kekerasan bebas diproduksi tanpa ketegasan. Konten atau tayangan yang tidak mendidik masih bertebaran dan mudah diakses. Tontonan pun menjadi tuntunan. Penuntun mereka dalam bertingkah laku bukan lagi Islam. Pandangan sekuler melahirkan gaya hidup dan pemikiran liberal yang menghasilkan kebebasan berekspresi dan bertingkah laku.
Di sisi lain, perangkat hukum yang ada belum memberikan efek jera, meski sudah ada sanksi atas pelanggaran kekerasan terhadap anak. Regulasi yang sudah ada, seperti UU Perlindungan Anak, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan UU sejenisnya belum mampu mengurangi jumlah kasus kekerasan pada anak, bahkan terus meningkat. Artinya, negara lemah dalam menjamin dan melindungi anak dari kekerasan. Sekalipun di tiap kota/kabupaten telah diterapkan kota atau sekolah ramah anak, jika sistem sekuler masih bernaung, dampak positifnya tidak akan terlihat.
Program edukasi antikekerasan atau sejenisnya juga tidak akan mampu mencegah kekerasan pada anak manakala paradigma sekuler masih mengakar dalam kehidupan hari ini. Sekularisme membuat orang tua lengah memberikan konsep keimanan dan ketaatan pada Allah Taala. Sekularisme membuat aktivitas amar makruf nahi mungkar hilang dalam kehidupan masyarakat. Sekularisme membuat peran negara sangat minimalis dalam melindungi anak dari berbagai kejahatan dan kekerasan.
Komitmen Indonesia Bebas Kekerasan pada 2030 melalui kemitraan pemerintah dan Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA) yang beranggotakan 27 organisasi masyarakat sipil juga tidak akan terlaksana dengan baik selama roda kehidupan ini berparadigma sekuler. Semua pihak harus menyadari bahwa akar masalah maraknya kekerasan pada anak adalah ideologi kapitalisme beserta akidah sekularismenya.
Solusi Sistem Islam
Islam memiliki seperangkat sistem untuk mencegah dan menangani kekerasan terhadap anak, termasuk memastikan setiap keluarga menanamkan akidah Islam dan hukum-hukumnya kepada anak sejak dini. Hal ini diupayakan dalam rangka menjamin terwujudnya berbagai hal penting dalam kehidupan seperti kesejahteraan, ketenteraman jiwa, serta terjaganya iman dan takwa kepada Allah Swt. Sebabnya, Islam bukan hanya sekadar ibadah ritual, tetapi ideologi (sistem hidup) yang sesuai dengan fitrah manusia dan memuaskan akal.
Islam telah memberikan perhatian yang besar terhadap perlindungan anak-anak. Perlindungan dalam Islam meliputi fisik, psikis, intelektual, moral, ekonomi, dan lainnya. Hal ini dijabarkan dalam bentuk memenuhi semua hak-haknya, menjamin kebutuhan sandang dan pangannya, menjaga nama baik dan martabatnya, menjaga kesehatannya, memilihkan teman bergaul yang baik, menghindarkan dari kekerasan, dan lain-lain.
Dalam Islam, melindungi dan menjaga generasi menjadi tanggung jawab tiga pihak. Pertama, keluarga sebagai madrasah utama dan pertama. Ayah dan ibu harus memiliki pola pendidikan dan pengasuhan dengan basis keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Salah satu fungsi keluarga adalah pelindung. Selain itu, dalam pandangan Islam, keluarga memiliki fungsi membentuk kepribadian Islam kepada seluruh anggota keluarganya sehingga setiap individu dalam keluarga memiliki pemahaman yang sahih dan komitmen untuk melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan Islam untuknya. Keluarga harus menjadi tempat berlindung yang aman dan tersuasanakan bahwa syariat Islam merupakan panduan dalam beramal saleh.
Kedua, lingkungan. Masyarakat berperan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak. Masyarakat adalah pengontrol dan pengawas perilaku anak dari kejahatan dan kemaksiatan. Penerapan sistem sosial Islam akan membuat masyarakat terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar kepada siapa pun.
Ketiga, negara sebagai pengurus (pe-riayah) utama. Fungsi negara adalah memenuhi kebutuhan dasar berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan setiap anak. Untuk mendukung terbentuknya keluarga yang taat syariat, negara menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam dan menjadi kurikulum inti di sekolah-sekolah. Tujuan kurikulum berbasis akidah Islam adalah membentuk generasi yang memiliki pola pikir dan pola sikap yang sesuai dengan Islam.
Penerapan sistem pendidikan Islam yang berkualitas dan bebas biaya akan mengakomodasi setiap anak dapat bersekolah hingga jenjang pendidikan tinggi. Negara akan melakukan edukasi yang terintegrasi dan komprehensif dalam sistem pendidikan maupun melalui berbagai media informasi dari departemen penerangan Khilafah. Peran lembaga dan media informasi juga berfungsi melakukan persuasi yang mengedukasi dan membina setiap individu agar menjadi hamba Allah yang taat, termasuk orang tua.
Islam memerintahkan agar setiap hamba menjaga diri dan keluarganya dari api neraka. Allah Taala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”(TQS At-Tahrîm [66]:6).
Terkait makna ayat tersebut, Abdullah bin Abbâs radiyallahu ‘anhu berkata, “Lakukanlah ketaatan kepada Allah dan jagalah dirimu dari kemaksiatan-kemaksiatan kepada Allâh dan perintahkan keluargamu dengan zikir, niscaya Allah ‘azza wa jalla akan menyelamatkanmu dari neraka.”
Negara juga menerapkan sistem sanksi Islam yang tegas. Dalam Islam, seseorang yang sudah akil balig maka ia bertanggung jawab penuh atas segala perbuatan yang dilakukannya. Ia juga menjadi mukalaf, yakni orang yang sudah dibebankan perintah dan larangan dalam Islam, termasuk menerima sanksi jika melakukan pelanggaran.
Islam memiliki pandangan dan solusi yang khas dalam membentuk masyarakat islami serta mewujudkan keadilan hukum serta mekanisme sanksi yang tegas. Dalam kitab Nizam al-Uqubat wa Ahkam al-Bayyinat hlm. 9 yang ditulis Syekh Abdurrahman al-Maliki dijelaskan bahwa tindakan yang dikenai sanksi adalah tindakan meninggalkan kewajiban (fardu), mengerjakan perbuatan-perbuatan haram, serta menentang perintah dan melanggar larangan yang pasti yang telah ditetapkan oleh negara. Selain tiga hal ini, tindakan apa pun tidak dikenai sanksi.
Semua perbuatan yang dikerjakan oleh manusia yang bermaksiat kepada Allah Taala berhak dikenai sanksi yang tercakup dalam empat jenis uqûbât, yakni hudud, jinayah, takzir, dan mukhalafat. Kadang kala, kemaksiatan tersebut telah ditetapkan sanksinya oleh syarak (hudud), atau kemaksiatan tersebut tidak ditetapkan sanksinya oleh syarak (takzir). Kadang kala berupa penganiayaan terhadap badan (jinayah). Sedangkan perbuatan yang keempat adalah maksiat kepada penguasa (mukhalafat).
Dalam perspektif Islam, sesuai hukum asalnya, setiap orang bertanggung jawab atas dosa yang ia perbuat. Seseorang tidaklah diwajibkan bertanggung jawab atas dosa yang diperbuat oleh orang lain. Lalu bagaimana dengan dosa yang dilakukan anak yang belum akil balig? Jika seorang anak yang belum balig melakukan perbuatan dosa, ia tidak dicatat berdosa, begitu pula orang tuanya. Kecuali jika orang tuanya sengaja tidak mendidiknya dengan baik sehingga anak tersebut berbuat dosa itu. Jika orang tuanya tidak pernah mendidik agama sejak dini, orang tuanya ikut bertanggung jawab karena anak itu berada di bawah tanggung jawab mereka.
Jika anak sudah mencapai akil balig lalu ia melakukan perbuatan dosa atau kriminal, ia bertanggung jawab penuh atas sanksi yang diberikan sesuai pelanggaran yang ia lakukan. Seseorang yang sudah balig dibebani hukum syarak apabila ia berakal dan mengerti hukum tersebut. Orang bodoh dan orang gila tidak dibebani hukum karena mereka tidak dapat mengerti hukum dan tidak dapat membedakan baik dan buruk, maupun benar dan salah. Rasulullah ﷺ bersabda, “Diangkat pena (tidak dibebani hukum) atas tiga (kelompok manusia), yaitu anak-anak hingga balig, orang tidur hingga bangun, dan orang gila hingga sembuh.” (HR Abu Dawud).
Kasus penganiayaan dan pembunuhan terkategori kemaksiatan yang sanksinya berupa jinayah. Menurut istilah, jinayah adalah pelanggaran terhadap badan yang di dalamnya mewajibkan kisas atau harta (diat), juga berarti sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap tindak penganiayaan ini.
Pembunuhan ada empat bentuk, yaitu sengaja, seperti sengaja, tidak sengaja, dan terjadi tidak dengan kesengajaan. Pembunuhan sengaja didasarkan pada firman Allah Swt., “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja.” (TQS An-Nisâ‘ [4]: 93). Pembunuhan seperti sengaja didasarkan pada riwayat Abdullâh bin Amrû bin Âsh, “Perhatikan, diat pembunuhan seperti sengaja adalah 100 ekor unta, yang 40 ekor adalah unta yang sedang bunting.” (Syekh Abdurrahman al-Maliki dalam kitab Nizam al-Uqubat wa Ahkam al-Bayyinat hlm.129).
Demikianlah sistem Islam memberi solusi pencegahan dan penanganan secara rinci dengan tujuan menjaga keberlangsungan generasi sehingga terlindungi dari ancaman kekerasan, kejahatan, dan kerusakan.