| 32 Views
Menata UMKM, Belajar dari Sistem Ekonomi Islam

Pengertian Ekonomi. Credit: pexels.com/pixabay
Oleh: Ema Fitriana Madi, S.Pd.
Pemerhati Masalah Sosial
Pemberdayaan UMKM sering digaungkan sebagai kunci kemajuan ekonomi, namun banyak pelaku usaha kecil masih menghadapi tantangan bertahan di tengah dominasi pasar modern. Telah banyak upaya ditempuh untuk memajukan para pelaku UMKM, salah satunya di Kota Kendari, tepatnya di Aula Multipurpose RRI Pro 1 Kendari, Selasa (30/9/2025), berlangsung Talkshow bertema “Mendorong UMKM Kendari Naik Kelas: Kolaborasi Pemerintah, Instansi Vertikal, Perbankan, dan RRI Digital dalam Pemberdayaan UMKM” yang mempertemukan berbagai pemangku kepentingan untuk memperkuat sektor UMKM di Kota Kendari. Kepala DPKU Kota Kendari, Syarifuddin, menegaskan UMKM Naik Kelas bukan sekadar peningkatan omset, melainkan transformasi manajemen, perluasan akses permodalan, digitalisasi, hingga peningkatan kualitas produk agar berdaya saing, sejalan dengan visi Kendari Semakin Maju. Kolaborasi pemerintah, instansi vertikal, perbankan, dan RRI Digital dipandang sebagai energi kolektif dalam mendorong kemandirian UMKM. Talkshow ini juga menjadi bagian dari Launching Aksi Perubahan implementasi Proyek Perubahan yang diinisiasi Kepala RRI Kendari, Iwan Martono, dalam Pendidikan Kepemimpinan Nasional Tingkat II Komdigi dengan judul Optimalisasi RRI Digital untuk Pemberdayaan UMKM, sekaligus dirangkaikan dengan Bimtek bagi 100 pengusaha UMKM agar mampu memasarkan produk melalui platform RRI Digital. (Beritakotakendari.fajar.co.id, 2/10/2025)
Namun, di balik semaraknya talkshow dan optimisme kolaborasi ini, kita perlu melihat lebih dalam akar persoalan yang sebenarnya menghambat UMKM Kendari untuk benar-benar “naik kelas”. Mengapa banyak pelaku usaha kecil masih kesulitan bertahan di tengah derasnya arus pasar digital dan kompetisi produk global, meskipun program pelatihan dan dukungan permodalan terus digencarkan? Pertanyaan ini penting agar kita tidak hanya berhenti pada seremoni acara, tetapi juga mampu menelisik problem struktural yang menjadi penghalang kemandirian UMKM.
Dalam sistem demokrasi, UMKM sering diangkat sebagai ikon ekonomi kerakyatan dan dijadikan jargon pembangunan yang dekat dengan rakyat kecil. Namun pada praktiknya, kebijakan yang lahir kerap lebih berpihak pada kepentingan besar, sehingga UMKM tetap berada pada posisi lemah dan sulit berkembang secara berkelanjutan.
Meski langkah kolaborasi lintas sektor dalam mendorong UMKM terlihat positif, kenyataannya paradigma yang dipakai masih berlandaskan pada logika pasar bebas. Konsep naik kelas lebih sering dipahami sebagai sekadar peningkatan omset atau kemampuan bertahan di tengah persaingan, padahal akar masalah UMKM jauh lebih kompleks. Selama regulasi dan kebijakan tetap berada dalam bingkai sistem ekonomi yang menempatkan persaingan sebagai asas, UMKM akan selalu kesulitan menembus dominasi korporasi besar.
Selain itu, akses permodalan yang ditawarkan umumnya bersandar pada pembiayaan perbankan berbasis bunga. Hal ini membuat pelaku UMKM terjebak pada lingkaran utang yang justru melemahkan daya saing mereka. Alih-alih menjadi solusi, pola pembiayaan semacam ini kerap membuat UMKM tidak berkembang secara sehat karena hasil usahanya tersedot untuk membayar cicilan dan bunga, bukan untuk mengembangkan usaha.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pemberdayaan UMKM dalam sistem yang ada seringkali hanya menambal kekurangan, bukan menyelesaikan akar persoalan. Digitalisasi, pelatihan, dan regulasi pro-UMKM memang penting, tetapi tanpa perubahan paradigma yang lebih adil dan berpihak penuh pada rakyat, UMKM akan tetap berada pada posisi rapuh. Akhirnya, jargon UMKM Naik Kelas hanya akan menjadi narasi indah yang sulit diwujudkan secara nyata bagi sebagian besar pelaku usaha kecil.
Berbeda dengan Islam yang mana menawarkan paradigma berbeda dalam melihat UMKM. Dalam sistem Khilafah, UMKM bukan sekadar sektor yang dipoles untuk bersaing dalam pasar bebas, melainkan bagian integral dari struktur ekonomi umat. Negara hadir sebagai penanggung jawab riil dalam memastikan pelaku usaha kecil memiliki akses adil terhadap pasar, modal, dan bahan baku. Prinsip utamanya bukan persaingan bebas, tetapi keadilan distribusi dan jaminan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, UMKM berkembang bukan untuk menjadi “korban” kapitalisme.
Salah satu prinsip penting dalam Khilafah adalah penghapusan sistem riba. Negara tidak mendorong UMKM untuk bertahan lewat skema utang berbunga, melainkan memberikan dukungan permodalan tanpa membebani bunga, baik melalui baitul mal maupun mekanisme kerjasama syariah. Dengan sistem ini, UMKM tidak terjerat lingkaran utang, melainkan tumbuh dengan kekuatan riil. Praktik seperti ini pernah diterapkan di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, di mana petani, pedagang kecil, dan pengrajin diberikan modal dari baitul mal untuk memperluas usahanya tanpa beban riba.
Selain itu, Khilafah mengatur kepemilikan secara jelas. Kepemilikan umum seperti tambang, energi, dan hutan tidak boleh dikuasai korporasi besar, tetapi dikelola negara untuk kepentingan rakyat. Akses terhadap bahan baku penting bagi UMKM pun terjamin dengan harga terjangkau, karena negara mengatur distribusinya secara adil. Sejarah mencatat bahwa pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, distribusi hasil tambang dan pengelolaan tanah subur dilakukan dengan sistem diwan (pencatatan distribusi) sehingga para petani kecil dan pedagang mampu bertahan dan berkembang.
Negara juga berperan aktif dalam melindungi UMKM dari praktik monopoli dan persaingan curang. Rasulullah ﷺ pernah menegaskan larangan ihtikar (penimbunan barang) dan praktik monopoli yang merugikan pasar. Dalam sistem Khilafah, regulasi bukan sekadar formalitas, melainkan instrumen yang ditegakkan untuk mencegah dominasi segelintir pihak atas pasar. Dengan begitu, UMKM mendapatkan ruang hidup yang sehat tanpa harus “bertarung” melawan raksasa korporasi.
Di samping itu, Khilafah menyiapkan sarana distribusi yang luas, termasuk perdagangan lintas wilayah. Sejarah menunjukkan, pada masa Abbasiyah dan Utsmaniyah, pasar Islam terbuka dari Andalusia hingga Asia Tengah. Hal ini memberi peluang besar bagi pedagang kecil dan UMKM untuk memasarkan produknya dengan lebih luas. Dukungan negara dalam membuka jalur perdagangan inilah yang menjadikan UMKM di masa lalu mampu menembus pasar internasional. Selain itu, para pedagang kecil di pasar Madinah atau pedagang tekstil di Basrah mampu bertahan bahkan berkembang, karena negara memberikan iklim yang adil, tanpa riba, tanpa monopoli, dan dengan dukungan distribusi yang luas. Inilah solusi fundamental yang ditawarkan Islam: bukan sekadar jargon “naik kelas”, tetapi menjadikan UMKM benar-benar kokoh, mandiri, dan menjadi pilar kesejahteraan umat.
Akhirnya, solusi bagi UMKM tidak cukup hanya dengan digitalisasi, pelatihan, atau menempuh perluasan akses modal berbasis bunga yang justru melemahkan. Yang dibutuhkan adalah sistem yang adil, meniadakan praktik riba, menutup ruang monopoli, dan memberi jaminan distribusi yang merata. Islam telah membuktikan melalui sejarah peradabannya bahwa usaha kecil bisa tumbuh kuat dan mandiri ketika negara hadir sebagai pelindung sekaligus pengatur ekonomi sesuai syariat. Inilah jalan yang harus ditempuh bila kita ingin UMKM benar-benar naik kelas, bukan sekadar retorika pembangunan.
Wallahua'lam bishshawab.