| 16 Views
Manipulasi Statistik untuk Pencitraan Penguasa di Tengah Penderitaan Rakyat

Oleh: Ummu Aliwa
Siapa yang peduli dengan rakyat yang sudah sangat terbebani oleh tekanan ekonomi yang harus mereka tanggung sendiri, sementara penguasa sibuk memanipulasi data demi pencitraan? Ditambah lagi, kebijakan-kebijakan yang seolah menjadi kebaikan bagi rakyat justru menambah kesulitan, seperti pemangkasan anggaran, kenaikan pajak, hingga tersebarnya meme: “Rakyat harus bekerja keras untuk pemerintah.”
Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan garis kemiskinan nasional pada Maret 2025 sebesar Rp609.160 per kapita per bulan atau setara sekitar Rp20.305 per hari. Adapun kriteria penduduk miskin di Indonesia adalah mereka yang memiliki pengeluaran di bawah garis kemiskinan. Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, mengatakan angka ini mengalami kenaikan 2,34 persen dibandingkan periode September 2024.
“Garis kemiskinan kota sebesar Rp629.561 per kapita per bulan. Angka ini lebih tinggi dibandingkan garis kemiskinan pedesaan yang mencapai Rp580.349 per kapita per bulan. Dengan demikian, garis kemiskinan pedesaan naik sedikit di atas garis kemiskinan perkotaan secara persentase kenaikannya,” kata Ateng.
Buruknya Kapitalisme
Fakta bahwa standar garis kemiskinan masih rendah ini mengacu pada PPP (Purchasing Power Parity), yaitu teori ekonomi untuk membandingkan daya beli mata uang dua negara. Sejak 2017, acuan tingkat kemiskinan ekstrem nasional ditetapkan sebesar USD 2,15 (sekitar Rp20.000) per hari. Jelas ini adalah bentuk manipulasi statistik untuk menampilkan progres semu.
Penguasa kapitalis memang tidak pernah berpihak pada rakyat. Mereka hanya peduli pada citra ekonomi ketimbang realitas penderitaan masyarakat. Permasalahan mendasar bukan lagi pada definisi kemiskinan, tetapi pada akar masalahnya—buah dari sistem kapitalisme yang menciptakan jurang kaya-miskin. Kekayaan hanya berputar di segelintir elit. Faktanya, satu orang terkaya di Indonesia tercatat memiliki kekayaan bersih sebesar USD 48,4 miliar atau sekitar Rp769,74 triliun.
Ini bukti penguasa tidak mampu mendistribusikan kekayaan secara adil dan merata. Alih-alih mengurus kesejahteraan rakyat, negara hanya berperan sebagai pengelola angka dan fasilitator pasar bebas. Solusi yang ditawarkan penguasa tidak pernah menyentuh akar masalah. Kebijakan yang dikeluarkan justru sering menciptakan masalah baru. Inilah kegagalan sistem ekonomi kapitalis yang cacat dan menindas.
Sejatinya, negara tidak bisa mengukur kemiskinan hanya dari data per kapita. Pengukuran harus dilakukan pada individu demi memastikan setiap orang benar-benar sejahtera.
Islam yang Mensejahterakan
Dalam sistem Khilafah, pemimpin negara wajib bertanggung jawab penuh mengurus rakyatnya. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “Imam (pemimpin) adalah raa’in (pengurus rakyat), dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. Bukhari dan Muslim). Negara bertugas memastikan kebutuhan dasar rakyat—pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan—terpenuhi tanpa syarat pasar.
Sistem ekonomi negara Khilafah membagi kepemilikan menjadi tiga: kepemilikan umum, kepemilikan individu, dan kepemilikan negara. Islam melarang keras individu menguasai kepemilikan umum yang dapat membuat harta berputar hanya di kalangan elit. Sebagaimana firman Allah SWT:“…supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…” (QS. Al-Hasyr: 7)
Negara Khilafah memiliki berbagai sumber pemasukan di Baitulmal seperti fa’i, kharaj, jizyah, ghanimah, khumus, anfal, dan zakat untuk menyejahterakan rakyat. Negara tidak akan berbisnis dengan rakyatnya sebagaimana yang terjadi saat ini. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia menyusahkan mereka, maka Allah akan menyusahkannya.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Sumber daya alam akan dikelola negara untuk kemaslahatan umat, bukan untuk dikomersialkan. Khilafah tidak mengukur kemiskinan dengan standar PPP buatan lembaga internasional, melainkan dari apakah kebutuhan pokok setiap individu terpenuhi secara layak. Dengan tata kelola seperti ini, negara Khilafah mampu mendistribusikan harta secara adil dan merata.
Wallahu a’lam bish-shawab.