| 60 Views
Mahasiswa Duck Syndrome Vs Ketangguhan Anak Gaza

Oleh: Ummu Rasya
Duck Syndrome? Seperti tak asing ya kita mendengarnya? Ya, benar. Jika dilihat dari sudut psikologi ini sama seperti sindrom bebek. Bebek? Ya bebek. Dimana hidup bebek yang terlihat tenang saat berenang, tapi ia sibuk mengayuh untuk tetap bisa tampak dipemukaan.
Duck syndrome ini pertama kali muncul untuk menggambarkan kondisi mahasiswa Universitas Stanford terletak di kota Stanford merupakan wilayah negara bagian California, Amerika Serikat. Kondisi yang terjadi pada mahasiswa yang sedang berada dibawah tekanan besar tapi berusaha terlihat tenang.
Ini terjadi juga pada mahasiswa di Indonesia, dimana mereka dituntut oleh tekanan dari luar untuk memilih tetap eksis dalam melakukan semua hal agar tidak dianggap malas, tidak mampu bersaing atau tidak punya masa depan. Alangkah baiknya bila tuntutan didorong oleh keinginan pribadi. Tapi tidak dalam kenyataannya, mereka mencoba menyembunyikan emosi yang sebenarnya dan tidak menyadari bahwa mereka sedang berada dalam tekanan psikologis.
Ini berbeda sekali dengan kondisi anak-anak di Gaza. Mereka yang telah kehilangan orang tuanya bahkan menurut PBB 97% fasilitas pendidikan disana telah rusak. Ini diakibatkan perang yang tidak seimbang. Bukan hanya fasilitas pendidikan, tapi fasilitas kesehatan serta fasilitas publik juga dijadikan sasaran pengeboman. Sangat memilukan saat terjadi banyak pembunuhan serta pelaparan yang terjadi, tetapi anak-anak di Gaza tetap tekun dalam belajar, berusaha untuk tetap berprestasi. Cita-cita mereka mulia, bertahan untuk menjaga tanah para nabi.
Mahasiswa di Era Kapitalis-Skuler
Tuntutan hidup di era kapitalis membuahkan mahasiswa yang berada dalam tekanan kapitalis. Mereka dituntut hidup perfeksionis untuk menjalani hidup yang menjadikan materi sebagai ukuran utama dalam kesuksesan. Bagaimana tidak, mereka selalu berupaya membandingkan dirinya dengan standar duniawi. Hal ini menimbulkan kecemasan hingga stres untuk dapat dikatakan “layak” dan menjadikan dirinya agar diakui. Berburu sesuatu dengan standar yang bukan fitrahnya, hasilnya lelah.
Lemahnya iman membuat mereka tidak memiliki makna hidup sebagai tujuan hidup yang benar. Jika kapitalis sebagai standar kehidupannya, maka mereka akan melakukan sesuatu karena adanya kebermanfaatan dan itu semu. Masalahnya manfaat yang mereka kejar hanya bersifat materi duniawi. Jadi seharusnya bagaimana? Tujuan hidup ini seharusnya meraih ridho Allah SWT. Dimana hidup ini merupakan suatu perjalanan menghadap Sang Khalik untuk mengumpulkan bekal dengan cara beribadah kepada Allah SWT. Iman ini yang akan membimbing kita untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena tujuannya keridhoan-Nya, maka yang menjadi skala prioritas kita adalah menjalankan apa yang menjadi aturan-Nya dan meninggalkan apa yang menjadi larangan-Nya.
Bagaimana bisa menjalankan segala apa yang menjadi perintah-Nya, jika masih diterapkan sistem sekuler. Wah, sistem skuler apalagi tuh? Sistem skuler adalah ketika seseorang berperilaku, maka perilakunya akan memisahkan urusan kehidupan dengan agama. Misalkan, output pendidikan yang ada saat ini adalah merupakan “calon tenaga kerja” yang disesuaikan dengan keinginan pasar, bukan sebagai hamba. Sehingga ini menjadikan manusia tidak sesuai dengan visi misinya di dunia ini, yaitu beribadah kepada Allah SWT.
Jika kita lihat pembentukan generasi Qu’ani penjaga masjid Al-Aqsa dilakukan oleh para remaja, orang tua bahkan nenek-nenek. Pendidikan untuk memberikan pembelajaran serta diskusi dilakukan untuk membentuk generasi yang memiliki kepribadian Islam. Meskipun dlam kondisi perang, anak-anak di Gaza tetap memenuhi kewajibannya dalam menuntut ilmu. Lebih sedihnya mereka mampu menyelesaikan pendidikannya tanpa didampingi oleh orang tuanya dikarenakan telah syahid. Ini sangat berbeda dengan mahasiswa yang berada dalam tekanan kapitalis-skuler.
Pantas saja, ketika ada saudara muslim di Gaza memerlukan bantuan, maka lupa bahwasanya kita merupakan satu tubuh yang jika sakit salah satu bagian tubuh, maka semuanya akan merasakan sakitnya. Hal itu tidak kita rasakan. Ketidakmampuan dalam membantu, karena kita memerlukan solusi yang sistemis.
Sistemis yang Bagaimana?
Sistem merupakan seperangkat aturan. Allah SWT Sang Pencipta telah memberikan aturan yang terdapat dalam Al-Qur’an untuk ciptaannya yaitu Islam. Maka dari itu menerapkan Islam dapat membantu anak-anak di Gaza merasakan kehidupan yang indah dalam naungan syariat Islam. Penerapan Islam dalam segala lini kehidupan ini membutuhan dukungan umat termasuk mahasiswa muslim.
Mahasiswa yang terdampak duck syndrome, jadikanlah ketangguhan anak Gaza sebagai inspirasi. Dimana mereka yang menjunjung tinggi Al-Qur’an telah membuktikan Islam dapat membina generasi. Sebagaimana sahabat Rasulullah yang bernama Sa’ad bin Muadz adalah seorang pemuda yang diutus untuk berdakwah di Madina, sehingga Rasulullah dapat menerapkan Islam secara sempurna dalam sebuah negara.
Inilah seharusnya yang dilakukan mahasiswa sebagai muslim berpegang teguh pada aturan Allah SWT, bukan lagi terbuai dengan jebakan kapitalisme justru yang membuat setres, merusak serta menjerumuskan kita dalam kejahiliyahan. Maka dari itu mari belajar Islam, mengamalkannya, serta menyebarluaskan Islam itu sendiri.
Wallahu’alam Bishowab.