| 47 Views

Korupsi Buah Busuk Sistem Demokrasi

Oleh: Hanum Hanindita, S.Si
Penulis Artikel Islami

Bak jamur di musim hujan, korupsi di negeri ini kian subur dari hari ke hari. Bahkan, nilai korupsi juga semakin tinggi. Meskipun sudah berganti era kepemimpinan, nyatanya korupsi masih menjadi pekerjaan rumah yang tak bisa disepelekan, apalagi dilupakan. Dari fakta terbaru ditemukan kasus korupsi yang melibatkan pejabat dan pengusaha.

Sejumlah uang senilai Rp 11, 8 triliun disita penyidik Kejaksaan Agung dari terdakwa korporasi Wilmar Group. Uang itu disita setelah pihak terdakwa kasus korupsi ekspor CPO itu mengembalikan kepada penyidik Kejaksaan Agung.

Praktik korupsi ini melibatkan Wilmar dan beberapa anak usahanya. Ada dugaan kuat jika perusahaan-perusahaan ini menyuap pejabat untuk mempercepat proses izin ekspor CPO. Akibat tindakan ini negara mengalami kerugian signifikan. Pihak-pihak yang diamankan karena diduga terlibat dalam memanipulasi vonis perkara di antaranya adalah sejumlah hakim dan pegawai perusahaan. (beritasatu.com, 18-06-25)

Dari fakta ini, jelas bahwa korupsi bukan hal yang aneh lagi, bahkan seolah menjadi tradisi. Korupsi merambah semua kalangan, termasuk pengusaha dan pejabat yang berkolaborasi. Mengapa ini terus terjadi?

Akar Masalah Suburnya Korupsi

Korupsi menimbulkan kerugian yang tidak bisa dipandang ringan. Korupsi hanya memperkaya sejumlah elite tertentu dan menciptakan jurang kesenjangan yang semakin dalam antara rakyat dan pejabat-pengusaha. Korupsi pun menyebabkan kerugian negara dengan nilai yang fantastis.

Beberapa penyebab terjadinya korupsi di antaranya karena lemahnya iman, sifat serakah, buruknya integritas pejabat, pembiaran dalam keburukan dan sanksi yang lemah. Dari banyaknya penyebab maraknya korupsi, pada dasarnya itu baru terlihat dari kulit luarnya saja dan belum menyentuh inti masalahnya. Hal yang menjadi akar masalah maraknya korupsi adalah akibat ideologi dan sistem politik, yakni demokrasi sekuler kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Sistem inilah yang memelihara praktik korupsi, termasuk membuka peluang kolaborasi korupsi antara pejabat dan pengusaha.

Paradigma sekuler dan kapitalis menciptakan individu maupun masyarakat yang menjadikan kekayaan materi sebagai tujuan hidup bahkan dengan menghalalkan segala cara. Ini lah yang menyebabkan integritas pejabat menjadi cacat. Selain itu, sistem ini  berbiaya tinggi dan sarat oligarki. Hal ini meniscayakan terjadinya politik transaksional karena penguasa membutuhkan banyak  modal untuk maju dalam kontestasi politik sehingga membutuhkan kucuran dana dari pengusaha. Maka deal-deal tertentu sudah umum terjadi antara pengusaha dan pejabat dalam rangka memuluskan terwujudnya masing-masing kepentingan.
 
Setelah penguasa tersebut mencapai tujuannya, bisa ditebak apa yang terjadi selanjutnya.  Pengusaha akan menuntut balas budi dalam bentuk kebijakan penguasa yang terpilih dengan bantuan pengusaha tersebut. Akhirnya kebijakan yang lahir pun akan memihak pengusaha dalam memuluskan proyek-proyek mereka sekalipun melahirkan penderitaan untuk rakyat.

Korupsi juga umum dilakukan secara berjamaah. Satu sama lain saling menutupi dan melindungi agar kepentingan tetap terjaga dan materi terus mengalir ke kantong-kantong pribadi. Penegakan sanksi yang tebang pilih turut memperparah keadaan. Kalaupun ada koruptor yang tertangkap dan diadili, tentunya ia bukan kepala sebenarnya melainkan hanya perpanjangan tangan yang menjadi tameng agar "bos" sesungguhnya tetap terlindungi. Inilah buah busuk akibat penerapan sistem demokrasi sekuler dan kapitalis. Korupsi pun terus terpelihara dan "kolaborasi apik" antara pejabat dan pengusaha demi meraup keuntungan terus melanggeng. Rekening mereka terus menggendut, di tengah kondisi rakyat yang didera kelaparan dan kemiskinan ekstrem.

Islam Memberantas Tuntas Korupsi

Esensi dari korupsi adalah pencurian atau penipuan yang sifatnya mengkhianati. Dalam ajaran Islam, perbuatan tersebut adalah dilarang dan berdosa bagi yang terlibat. Allah Swt. berfirman yang artinya,

“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al- Baqoroh : 188)

Dalam Islam, istilah lain untuk korupsi adalah risywah yang maknanya disamakan dengan tindakan suap-menyuap dengan niat mencuri hak orang lain, individual maupun kelompok. Allah Swt. melaknat orang yang memberi suap, menerima suap, sekaligus perantara suap. Rasulullah saw. bersabda, “Allah melaknat orang yang memberi suap, menerima suap, sekaligus perantara suap yang menjadi penghubung antara keduanya".

Korupsi jelas tak akan pernah bisa hilang ketika negara masih menerapkan sistem deomokrasi kapitalis yang sekuler. Kondisi akan berbeda ketika Islamlah  diterapkan sebagai aturan kehidupan. Islam menjadikan akidah sebagai asas kehidupan setiap individu, masyarakat termasuk juga menjadi asas negara. Islam pun memiliki segenap aturan menyeluruh yang menjadi petunjuk manusia dalam beraktivitas. Islam juga memiliki solusi tuntas untuk menyelesaikan berbagai problem di kehidupan termasuk menyelesaikan masalah korupsi. Beberapa langkah yang akan dilakukan Islam dalam menuntaskan masalah korupsi di antaranya : 

Pertama, membina masyarakat dengan akidah dan tsaqofah Islam. Pembinaan ini berperan dalam membentuk benteng iman dan takwa yang  melahirkan orang-orang  berpola pikir dan perilaku islami. Hal ini akan menjadikan setiap individu, termasuk pejabat untuk berbuat jujur dan tidak menjadikan jabatan sebagai sarana untuk memperkaya diri sendiri dengan perbuatan curang. Sebab Islam memandang jabatan adalah amanah, dan wajib ditunaikan sesuai dengan tuntunan hukum syarak. Amanah ini akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt..

Kedua, menerapkan  mekanisme untuk menjaga integritas setiap individu rakyat maupun pejabat. Ini bisa diimplementasikan melalui sistem sanksi yang tegas dan menjerakan. Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekadar nasehat atau teguran dari hakim, penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).

Ketiga, melakukan pengawasan kekayaan pejabat. Hal ini telah dicontohkan di era kepemimpinan Umar bin Khattab. Beliau menghitung kekayaan aparat di awal dan di akhir menjabat. Jika ada perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah masa tugas, misal setelah menjabat harta kekayaannya menjadi jauh lebih banyak maka ini akan diperiksa pihak berwenang. Jika harta kekayaan yang dimiliki terbukti hasil korupsi maka akan langsung disita. Begitu pula dengan para pejabat yang masih aktif, jumlah hartanya akan diawasi.

Keempat, pemberian gaji yang layak untuk pejabat, pegawai dan aparat lainnya. Dengan pemberian gaji yang layak akan menutup celah melakukan korupsi. Di sisi lain mereka pun dapat bekerja dengan lebih fokus untuk kemaslahatan umat.

Kelima, melarang pejabat menerima suap dan hadiah. Pejabat hanya diperkenankan memperoleh gaji ataupun fasilitas dari negara. Pemberian di luar itu, berpotensi memiliki maksud terselubung yang tak baik dan akan mengganggu lurusnya kinerja para pejabat.

Inilah beberapa solusi Islam dalam mencegah dan menghentikan korupsi. Namun, selama demokrasi masih bercokol dan paradigma sekuler kapitalis menjadi kerangka kebijakan negeri ini, mustahil korupsi dapat dilenyapkan. Korupsi hanya dapat dinihilkan dalam negara yang menjalankan aturan Islam secara kafah. Sebab nilai-nilai Islam akan diterapkan secara menyeluruh dalam kehidupan pribadi dan sosial, termasuk dalam kepemimpinan dan sistem pemerintahan. Penerapan Islam kafah dalam bingkai negara  akan menutup peluang korupsi dari berbagai kalangan.

Wallahu'alam bishowab.


Share this article via

22 Shares

0 Comment