| 46 Views
Kohabitasi Berujung Mutilasi : Cermin Buram Liberalisasi Pergaulan Sosial

Oleh : Vita Novita
Guru dan Aktivis Dakwah Masyarakat
Kasus mutilasi yang terjadi di Surabaya pada September 2025 kembali membuka mata publik tentang rapuhnya tatanan sosial di tengah arus liberalisasi pergaulan generasi muda. Polisi menemukan puluhan potongan bagian tubuh yang diidentifikasi milik seorang perempuan muda berinisial TA yang dibuang di daerah Mojokerto. Sementara ratusan potongan tubuh lainnya disimpan rapi di sebuah kamar kos pelaku di Surabaya, seorang pria berusia 24 tahun berinisial A. Fakta tragis ini terungkap setelah pelaku ditangkap dan mengaku melakukan mutilasi karena kesal tidak dibukakan pintu kos serta merasa tertekan oleh tuntutan ekonomi dari sang kekasih (korban). (DetikNews, 8/9/2025)
Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa kekerasan ekstrem bisa lahir dari hubungan yang semula dibangun atas nama cinta? Jawabannya tidak hanya terletak pada motif pribadi, tetapi juga pada realitas sosial yang sedang marak di kalangan anak muda saat ini, yaitu Kohabitasi atau tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan. Fenomena yang dahulu dianggap tabu, kini kian dinormalisasi, bahkan sebagian kalangan menyebutnya sebagai pilihan hidup modern yang praktis.
Kohabitasi atau “kumpul kebo” bukanlah istilah asing di masyarakat urban. Banyak pasangan muda memilih jalan ini dengan alasan ingin lebih mengenal pasangan sebelum melangkah ke jenjang pernikahan. Sebagian lainnya menganggap tinggal bersama adalah solusi efisiensi biaya hidup, terutama di kota besar dengan biaya sewa tempat tinggal yang tinggi.
Dikutip dari ValidNews, 13/9/2025, Psikolog Virginia Hanny menyebut ada tiga pertimbangan sebelum memutuskan tinggal bersama pasangan. Pertama, harus ada kesepakatan dari kedua belah pihak tanpa paksaan. Kedua, mempertimbangkan lokasi dan biaya hidup. Ketiga, memiliki tujuan jelas serta batasan yang disepakati bersama.
Namun, pandangan ini hanya menyoroti aspek teknis dan psikologis, bukan moralitas maupun dampak sosial. Faktanya, kohabitasi berpotensi membuka pintu masalah lebih besar. Tanpa ikatan pernikahan yang sah, relasi yang terjalin kerap rapuh dan mudah retak ketika konflik muncul. Ikatan emosional yang dangkal serta beban ekonomi sering kali menjadi pemicu pertengkaran, bahkan berujung pada kekerasan seperti kasus mutilasi TA.
Fenomena kohabitasi tak bisa dilepaskan dari arus besar sekularisme dan liberalisasi yang melanda masyarakat. Sekularisme memisahkan agama dari kehidupan, sehingga perilaku manusia tak lagi dibatasi halal dan haram. Setiap orang merasa berhak menjalani hidup sesuai kehendaknya tanpa peduli aturan moral atau agama.
Dalam masyarakat yang semakin permisif, pacaran dianggap wajar, bahkan tinggal serumah dengan pacar bukan lagi hal yang memalukan. Media, film, hingga konten media sosial turut memperkuat narasi bahwa kohabitasi adalah pilihan sah untuk kebahagiaan pribadi. Negara pun cenderung permisif, aktivitas pacaran atau kohabitasi tidak dikategorikan sebagai pelanggaran hukum selama tidak ada korban. Baru ketika muncul kasus tragis seperti mutilasi, barulah aparat turun tangan. Padahal membiarkan pergaulan bebas tanpa kontrol jelas akan menimbulkan kerusakan moral. Kekerasan, kehamilan di luar nikah, aborsi ilegal, hingga gangguan psikologis adalah konsekuensi nyata dari liberalisasi pergaulan. Kasus TA hanyalah puncak gunung es dari berbagai problem sosial yang timbul akibat lemahnya benteng moral generasi muda.
Selain risiko kekerasan, kohabitasi membawa dampak lain yang tak kalah serius, diantaranya :
Pertama, rusaknya institusi keluarga. Pernikahan yang sah adalah pondasi keluarga, sementara kohabitasi justru melemahkan keinginan untuk menikah. Pasangan yang terlalu lama tinggal bersama tanpa ikatan resmi cenderung menunda atau bahkan menolak menikah.
Kedua, meningkatnya kasus depresi dan kecemasan. Hubungan tanpa komitmen jelas sering kali membuat salah satu pihak merasa tidak aman. Ketika konflik muncul, perasaan terbuang atau tidak dihargai dapat menimbulkan trauma mendalam.
Ketiga, dampak sosial bagi anak. Tidak jarang pasangan kohabitasi memiliki anak di luar nikah. Anak-anak yang lahir tanpa status hukum, jelas sering menghadapi diskriminasi, kesulitan administratif, serta rentan mengalami krisis identitas.
Dengan demikian, kohabitasi bukan hanya masalah privat dua individu, melainkan problem sosial yang lebih luas.
Islam memandang manusia sebagai makhluk mulia dengan tujuan hidup yang jelas, yaitu beribadah kepada Allah SWT. Untuk menjaga kehormatan manusia, Islam menetapkan aturan pergaulan yang tegas. Hubungan lawan jenis hanya dibenarkan dalam ikatan pernikahan yang sah, bukan melalui pacaran atau kohabitasi.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Kami tidak pernah tahu solusi untuk dua orang yang saling mencintai, selain pernikahan" (HR. Ibnu Majah).
Ketakwaan individu adalah benteng awal yang membuat seseorang mampu mengendalikan diri dari perbuatan haram. Orang yang beriman akan menjauhi pacaran, zina, apalagi tindak kriminal seperti pembunuhan. Namun, ketakwaan pribadi saja tidak cukup. Islam juga menekankan pentingnya kontrol sosial. Masyarakat memiliki kewajiban saling mengingatkan, menegur, dan mencegah kemungkaran agar keburukan tidak berkembang luas.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Selain itu, negara dalam pandangan Islam memegang peran kunci. Negara harus membentuk rakyat agar berkepribadian Islam melalui sistem pendidikan berbasis akidah Islam, menyediakan ruang publik yang sehat dari pornografi dan pergaulan bebas, serta menegakkan hukum syariah yang jelas terhadap pelanggaran. Misalnya, zina dipandang sebagai jarimah dengan sanksi tertentu, bukan sekadar urusan privat.
Dengan penerapan sistem Islam yang kafah (menyeluruh), masyarakat akan memiliki benteng moral yang kuat. Kasus tragis seperti mutilasi akibat kohabitasi dapat dicegah sejak awal karena masyarakat diarahkan untuk menempuh jalan pernikahan yang sah, bukan pergaulan bebas.
Kasus mutilasi TA tidak boleh hanya dipandang sebagai kriminal murni, tetapi juga sebagai sinyal adanya krisis sosial yang lebih besar. Negara tidak cukup hanya mengadili pelaku dengan pasal pidana. Negara seharusnya hadir untuk mencegah munculnya kasus serupa dengan mengatur pola pergaulan masyarakat.
Masyarakat pun harus berani menolak normalisasi kohabitasi. Jangan sampai kebebasan gaya hidup yang bertentangan dengan norma agama diterima begitu saja sebagai hal wajar. Lingkungan sosial harus berperan aktif menciptakan budaya yang sehat, mendukung pernikahan sah, dan menolak pergaulan bebas.
Individu pun memiliki tanggung jawab besar. Kesadaran akan tujuan hidup, ketakwaan, dan kemampuan mengendalikan diri dari hawa nafsu menjadi kunci utama agar tidak terjerumus dalam perbuatan haram yang berujung tragis.
Kisah mutilasi TA di Surabaya ini menjadi tragedi kemanusiaan yang mengguncang. Peristiwa ini tidak hanya mengungkap kekejaman pelaku, tetapi juga menyingkap rapuhnya moralitas masyarakat akibat arus liberalisasi pergaulan. Kohabitasi yang dinormalisasi sebagai gaya hidup modern ternyata menyimpan bom waktu yang dapat meledak kapan saja.
Islam menawarkan solusi komprehensif, yaitu membangun individu bertakwa, menguatkan kontrol sosial, serta menghadirkan negara yang menegakkan hukum berbasis syariah. Dengan begitu, tragedi serupa dapat dicegah, dan masyarakat kembali menjalani kehidupan sesuai tujuan penciptaannya.
Wallahu a'lam bish shawab