| 34 Views
Kisruh Rebutan Pulau: Antara OTDA, SDA Dan Ancaman Disintegrasi Hanya Menambah Konflik

Oleh : Sumarni Ummu Suci
Pengalihan kepemilikan pulau yang terjadi di wilayah Aceh memicu polemik di tengah masyarakat terutama karena wilayah yang di persoalkan diduga memiliki potensi SDA (Sumber Daya Alam) berupa minyak dan gas bumi sejatinya bukan sekedar sengketa administratif, melainkan mencerminkan persoalan yang lebih mendasar terkait sistem pengelolaan pemerintahan daerah yang menggunakan pendekatan Otonomi Daerah (OTDA).
Dalam prakteknya OTDA sering kali membuka cela konflik kewenangan antar wilayah, terutama jika menyangkut wilayah strategis atau kaya SDA (Sumber Daya Alam).
Sistem ini sendiri lahir dari kerangka berpikir demokrasi sekuler - kapitalis yang berkembang di Barat pasca revolusi industri dan proses modernisasi pemerintahan.
OTDA (Otonomi Daerah) di pandang sebagai solusi untuk meningkatkan efisiensi dan partisipasi lokal dalam pemerintahan.
Namun dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia sistem ini sering kali menghadirkan masalah baru.
Alih - alih memperkuat keadilan dan pemerataan justru sering memunculkan konflik kepentingan tarik menarik kekuasaan serta eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) atas nama pembangunan.
Dalam kasus Aceh yang memiliki status otonomi khusus pengalihan wilayah ini dianggap mencederai semangat desentralisasi itu sendiri.
Masyarakat merasa hak - haknya di abaikan dan kepentingan strategis daerah dikalahkan oleh keputusan pusat yang terkesan sepihak dan tidak transparan.
Hal ini menunjukkan bahwa sistem Otonomi Daerah (OTDA) yang di adopsi dari model Barat hanya dimanfaatkan oleh elit - elit politik untuk kepentingan jangka pendek bukan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh.
Sistem Otonomi Daerah (OTDA) juga memberikan kewenangan luas bagi daerah untuk mengatur urusan pemerintahan termasuk pengelolaan Pendapatan Asli Daerah(PAD).
Akibatnya muncul perbedaan kesejahteraan antar wilayah terutama antara daerah kaya sumber daya dan daerah yang miskin potensi.
Ketimpangan ini memicu kecemburuan sosial dan potensi konflik seperti yang terlihat dalam kasus pengalihan empat pulau dari Aceh ke Sumatera Utara.
Dugaan adanya kandungan migas menjadikan perebutan wilayah sebagai hal yang wajar dalam sistem Otonomi Daerah (OTDA).Ketidak merataan kesejahteraan juga dapat menjadi ancaman disintegrasi.
Hal ini berbeda dengan sistem sentralisasi dimana pengelolaan sumber daya dan pembangunan lebih merata karena berada dibawah kendali pusat dan hal ini hanya di temukan dalam sistem Islam kaffah yang diterapkan dibawah institusi khilafah.
Dalam pandangan Islam pengelolaan wilayah negara dilakukan secara sentralistik dibawah kepemimpinan Khalifah atau kepala negara yang bertanggung jawab penuh terhadap seluruh rakyat tanpa membedakan satu daerah dengan yang lainnya.
Islam tidak mengenal konsep Otonomi Daerah (OTDA) seperti dalam sistem sekuler demokratis yang membagi kewenangan secara bebas kepada masing-masing wilayah.
Sebaliknya seluruh urusan pemerintahan termasuk pengelolaan SDA dan pendistribusian kekayaan berada dibawah kendali pusat yang diatur berdasarkan syari'at Islam.
Tujuannya adalah untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan secara merata di seluruh penjuru negeri tidak bergantung pada potensi ekonomi atau pendapatan daerah masing-masing.
Negara wajib mengelola semua kekayaan alam seperti tambang, minyak, gas, laut dan hutan sebagai milik umum (milkiyyah 'ammah) yang hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan seluruh rakyat.
Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda : "Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara yakni padang rumput, air dan api" (HR. Abu Dawud)
Hadits ini menjadi dasar bahwa sumber daya strategis tidak boleh dimiliki individu atau dikuasai daerah tertentu, melainkan harus di kelola oleh negara demi kepentingan seluruh umat.
Dengan sistem ini, Islam mampu mencegah kecemburuan sosial antar wilayah, menghindari ketimpangan pembangunan dan menjamin bahwa setiap warga negara mendapatkan haknya secara adil dan merata tanpa tergantung pada lokasi geografis atau kekayaan alam daerah tempat tinggalnya.
Inilah keunggulan sistem sentralistik dalam Islam yang berlandaskan keadilan dan kemaslahatan bersama.
Negara dalam sistem Islam berkewajiban berlaku adil dan amanah dalam mengurus seluruh urusan rakyanya tanpa memandang perbedaan suku, daerah atau tingkat ekonom.
Hal ini karena Islam menetapkan bahwa penguasa adalah "raa'in" (penggembala) dan " junnah" (perisai) bagi rakyatnya.
Penguasa bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan, keamanan dan keadilan serta akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT atas setiap amanah kepemimpinan yang di embannya.
Hanya sistem Islam yang menerapkan sentralisasi kekuasaan berbasis syari'at yang mampu menjamin keadilan, kesejahteraan merata dan perlindungan hak seluruh rakyat.
Wallahua'lam bissawab.