| 50 Views
Kisruh Rebutan Empat Pulau, Ancaman Disintegrasi Mengintai

Oleh : Siti Rodiah
Dilansir dari Tempo.co (13/6/2025), sengketa Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) atas Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek akhirnya diputuskan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian. Melalui Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138/2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang diterbitkan pada 25 April 2025.
Keempat pulau kecil di Samudera Hindia itu resmi ditetapkan sebagai bagian dari wilayah Provinsi Sumatera Utara. Namun, di tengah keputusan Mendagri tersebut mencuat spekulasi bahwa penetapan wilayah itu berkaitan dengan potensi sumber daya alam, khususnya minyak dan gas bumi (blok migas) di sekitar empat pulau tersebut.
Menanggapi isu itu Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menegaskan bahwa tidak memiliki informasi mengenai potensi kandungan migas di empat pulau yang diperebutkan oleh kedua provinsi tersebut. Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kemendagri, Safrizal Zakaria Ali, menyampaikan bahwa Tim Nasional Pembakuan RupaBumi hanya bekerja berdasarkan aspek spasial dan administrasi wilayah.
Anggota DPR asal Aceh Muslim Ayub menyakini polemik kepemilikan empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) berkaitan dengan potensi kandungan minyak dan gas (migas) di wilayah tersebut. Muslim menilai potensi cadangan migas di empat pulau itu menjadi alasan utama bagi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mengalihkan batas wilayah dari Aceh menjadi Sumut. (CNNIndonesia, 15/6/2025)
Pengalihan empat pulau dari Propinsi Aceh ke Propinsi Sumut tentu saja membuat publik heboh dan menuai banyak perdebatan di dalamnya. Ditambah lagi dengan adanya dugaan potensi migas di wilayah tersebut yang makin menimbulkan banyak spekulasi di setiap lapisan masyarakat. Ini adalah salah satu persoalan yang muncul ketika pengelolaan pemerintahan daerah menggunakan sistem Otonomi Daerah (OTDA). Otonomi Daerah (OTDA) adalah sistem yang lahir dalam kerangka demokrasi sekuler-kapitalis, terutama dari pemikiran negara-negara Barat pasca-revolusi industri dan modernisasi pemerintahan.
Sistem Otonomi Daerah membuat masing-masing daerah diberi kewenangan penuh pada setiap daerah dalam mengatur urusan pemerintahan, termasuk dalam mengatur pendapatan daerah. Tentu saja Otonomi daerah akan memicu adanya perbedaan taraf hidup rakyat di masing-maasing daerah. Ketika ada daerah yang mempunyai kelebihan dalam sumber daya alamnya maka dipastikan daerah tersebut akan lebih maju dan makmur dibandingkan daerah yang sedikit atau tidak memiliki sumber daya alam. Oleh karena itu wajar jika adanya dugaan kandungan migas atau kekayaan alam lainnya memicu terjadinya rebutan wilayah.
Otda juga dapat memicu adanya kecemburuan sosial suatu daerah yang memiliki pendapatan asli daerah (PAD) yang tinggi. Perbedaan tingkat kesejahteraan juga dapat memicu adanya disintegrasi atau dapat menimbulkan perpecahan sehingga kesatuan dan persatuan antar wilayah menjadi taruhannya. Tentu saja persoalan ini juga dapat memicu terjadinya ketidakstabilan politik di negara kita. Contoh nyata dalam hal ini adalah Aceh dan Papua. Dengan terjadinya ketidakstabilan politik tersebut mudah bagi kafir penjajah untuk makin memecah belah dan mengukuhkan penjajahannya di negara kita.
Hal ini berbeda dalam sistem sentralisasi
Islam yang menetapkan adanya pengelolaan wilayah oleh negara secara sentralistik (terpusat ). Sentralisasi dalam negara Islam tegak atas dasar akidah Islam. Negara bertanggung jawab mewujudkan kesejahteraan secara merata pada seluruh wilayah, tidak tergantung pada pendapatan masing-masing wilayah. Semua sumber daya alam yang ada dikelola oleh negara untuk kepentingan semua rakyat seluruh wilayah negara. Jadi tidak akan ada yang namanya perbedaan taraf hidup rakyat atau kecemburuan sosial antar masyarakat, karena seluruh wilayah negara diurus dan dilayani secara sempurna sesuai Islam.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah telah menjelaskan di dalam kitab Nizhamu al-Iqtishadiyi fi al-Islam (Sistem Ekonomi Islam), bahwa kesejahteraan di dalam Khilafah tidak membuahkan kesenjangan, baik antar-warga maupun antar-wilayah. Ini karena konsep kesejahteraan ekonomi Khilafah berprinsip pada tercapainya pemenuhan kebutuhan primer (sandang, pangan, dan papan) warga secara individu per individu (fardan fardan).
Negara akan berlaku adil dalam mengurus rakyat karena Islam menetapkan penguasa sebagai raain dan junnah bagi rakyat yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Dengan diterapkannya sistem Islam maka akan terwujud ketakwaan pada individu pejabat, ditambah dengan kuatnya kontrol masyarakat dalam beramar makruf nahi mungkar, serta tegasnya sistem sanksi yang ditegakkan negara. Oleh karenanya, akan menjadi suatu kehinaan yang besar bagi seorang pejabat jika ia berbuat maksiat. In syaa'Allah persatuan umat akan terjaga dalam naungan daulah Islam sehingga terhindar dari berbagai upaya pecah belah maupun celah-celah disintegrasi wilayah.
“Sesungguhnya imam (khalifah) itu junnah (perisai) yang (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Wallahu a'lam bisshawab