| 5 Views

Kerapuhan Mental – Spiritual di Balik Kekuasaan

Oleh: Verry Verani
Pengemban Dakwah Ideologis 

Di tengah kemajuan teknologi, kecanggihan birokrasi, dan gempita pembangunan yang diklaim “berkelanjutan”, bangsa ini justru menghadapi kenyataan getir: negara berjalan tanpa arah karena kehilangan cahaya iman kepemimpinan sejati.

Para penguasa berganti, aturan direvisi, sistem dipoles dengan jargon reformasi dan digitalisasi, namun nasib rakyat tetap tertindas di negeri sendiri, sementara kekayaan alam terus mengalir ke luar negeri. 

Tahun 2025, misalnya, PT Freeport Indonesia menghasilkan 2,8 ton emas, namun porsi yang diterima negara hanya sekitar 0,03% dari total nilai produksi. Angka ini mencerminkan penguasaan sumber daya strategis oleh korporasi asing yang difasilitasi oleh kontrak legal yang disetujui pemerintah sendiri.

Di sektor lain, utang luar negeri Indonesia telah melampaui Rp8.500 triliun, sementara rasio kemiskinan struktural tetap tinggi. Ironinya, semua ini terjadi di tengah narasi “pertumbuhan ekonomi positif” dan “stabilitas politik nasional”.

Fakta-fakta tersebut menyingkap satu hal bahwa negara dikelola dengan logika kapitalisme, bukan sebagai  amanah Illahy.

Karenanya kekuasaan kehilangan orientasi spiritual dan berubah menjadi mesin administrasi, hampa nurani.

Akibat Kekuasaan Bebas Nilai

Masalah utama bangsa ini bukan kurangnya orang pintar, tetapi hilangnya cahaya iman yang menuntun kekuasaan. Ruhul iman adalah kesadaran bahwa jabatan adalah amanah dari Illahy, bukan hasil transaksi politik. Ketika cahaya ruh ini hilang maka pemimpin hanya melihat kekuasaan sebagai kesempatan, bukan amanah yang akan dimintai pertanggung jawaban diakhirat kelak.

Dalam sistem sekuler kapitalis :  terjadi pemisahan agama dari kebijakan politik.
Sehingga negara tidak lagi diatur oleh prinsip yang terikat hukum syara', tetapi dibatasi oleh  kalkulasi manfaat dan mafsadat ( untung-rugi) disebabkan tekanan pasar global.

Undang-undang dibuat bukan untuk menegakkan keadilan,mengurusi urusan kehidupan masyarakat (penduduk), melainkan untuk mengamankan kepentingan oligarki dan investor asing. 

Akibatnya, Kekuasaan kehilangan niat ibadah, berganti menjadi ambisi (rakus) kekuasaan pribadi. Penguasa hanya tunduk pada sistem global yang dikendalikan AS, menggunakan kekuatan ideologi kapitalisme.

Dan rakyat menjadi objek kebijakan yang dirugikan.  Rakyat diwajibkan bayar berbagai bentuk pajak jika tidak, maka rakyat hanya menjadi beban negara daja. Bahkan rakyat tidak diposisikan sebagai invidu-individu mulya yang dilindungi, dilayani, dipenuhi kebutuhannya oleh negara.

Karena ada hak kepemilikan harta sumberdaya alam milik rakyat yang diinvestasikan (dirampas negara diberikan pada asing). Sejatinya Amanah tersebut  menjadi tanggungjawab pemimpin negara dan negaralah langsung harus memastikan sampai ditangan-tangan mereka.

Dalam sistem kapitalis rakyat dimiskinkan dan dibebani berbagai macam pajak untuk keberlangsungan negara, kekayaan alam negeri dijual kenegara asing dan hukum hanya tajam ke bawah. Semua itu hanya karena penguasa telah kehilangan rasa takut dan tanggungjawabnya kepada Allah serta telah  putus urat malu kepada rakyat.

Kerapuhan Mental–Spiritual Penguasa

Kerapuhan ini tampak jelas dalam cara berpikir elite politik yang memisahkan moralitas dari kebijakan publik. Mereka bisa berpidato soal keadilan sosial di siang hari, lalu meneken kontrak korporasi asing di malam hari. Mereka bisa bicara tentang “pelayanan rakyat,” tapi terus menerus menaikkan harga kebutuhan pokok tanpa empati.

Itulah gejala krisis spiritual dalam politik. Pemimpin modern banyak yang terjebak dalam ilusi stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, padahal di balik itu semua rakyat menjerit tercekik. Dan di puncak kekuasaan, tak lagi tampak wajah seorang pemimpin yang peduli rakyat. 

Solusi dan Landasan Syari'at

Islam menegaskan bahwa pemimpin adalah penanggung jawab urusan rakyat.
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Seorang imam (pemimpin) adalah pengurus dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Kekuasaan tanpa iman kepada Allah swt. adalah petaka, sebab imanlah yang menuntun penguasa untuk berlaku adil, jujur, dan amanah. Ketika iman tercabut dari kekuasaan, yang tersisa hanyalah kerakusan, kemunafikan, dan penindasan atas nama HAM.

Karena itu kebutuhan kaum muslimin hari ini  mengembalikan kekuatan  keimanan sebagai fondasi politik kenegaraan.

Sebab solusi terhadap krisis kepemimpinan tidak cukup dengan mengganti kepala negara.
Sebab yang rusak bukan sekadar personal, tetapi fondasi ideologi negaranya.

Langkah mendasar yang harus ditempuh:
1. Mengembalikan keimanan sebagai landasan politik.
Keputusan negara harus berlandaskan  hukum Allah bukan karena untung–rugi.
Menjalankan politik  islam adalah ibadah  bukan industri kekuasaan atau korporatokrasi.

2. Mendidik calon pemimpin dengan kesadaran akidah.
Bukan sekadar pintar administrasi, tetapi takut kepada Allah dan paham makna amanah dan mengaplikasikannya dengan benar.

3. Menegakkan sistem politik Islam (Khilafah) sebagai institusi shahih penerap syari'at Islam.
Karena hanya dalam sistem Islam, penguasa terikat pada hukum Allah dan rakyat terlindungi dari kerakusan kapitalis.

4. Membangun budaya hisbah (kontrol umat).
Rakyat wajib menasihati, mengoreksi, dan menuntut penguasa agar tetap setia di jalan syari'at Allah.

Khotimah

Saat Ruhul Iman Kembali, Keadilan Akan Hidup

Kepemimpinan tanpa ruhul iman ibarat jasad tanpa ruh, bergerak, tapi tak bernyawa; berjalan, tapi menuju kehancuran. Negara ini tidak butuh lebih banyak teknokrat, tetapi lebih banyak pemimpin yang takut kepada Allah.

Ketika ruhul iman kembali menjadikannya nafas kekuasaan, maka hukum akan ditegakkan dengan adil, rakyat dimuliakan, dan kekayaan alam dikelola untuk kemaslahatan seluruh penduduk. Itulah politik dalam pandangan Islam. Politik yang lahir dari iman, hidup karena amanah, dan berakhir dengan keadilan dan kesejahteraan.

Wallahu'alam bish-showab


Share this article via

0 Shares

0 Comment