| 30 Views
Kemiskinan Tersistem, Islam Solusi Hakiki

Oleh : Tengku Hara Marsyitah, S.Pi
Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya, baik hayati maupun mineral. Indonesia juga memiliki jumlah penduduk sebanyak 286,6 juta jiwa yang tercatat sampai dengan akhir Juni 2025. Dengan kekayaan sumber daya alam yang beragam mampu mengatasi kebutuhan masyarakat Indonesia. Namun, kenyataannya masih banyak masyarakat yang hidup dalam kondisi menengah ke bawah.
Walaupun baru-baru ini survei membuktikan jumlah penduduk miskin keseluruhan di Indonesia mengalami penurunan. Pada September 2024 menunjukkan persentase jumlah penduduk miskin di pedesaan sebesar 11,34%. Sementara pada Maret 2025 jumlahnya menurun menjadi 11,03%, artinya ada penurunan sekitar 0,31%. Tapi, berbeda dengan angka kemiskinan di perkotaan yang mengalami kenaikan.
Hasil survei membuktikan pada September 2024 angka kemiskinan di perkotaan berada di angka 6,66% atau sebanyak 11.05 juta orang dan hasil survei terbaru Maret 2025 menunjukkan kenaikan di angka 6,73% yaitu sebanyak 11,27 juta orang, ini artinya ada kenaikan sekitar 0,07%. (www.bpc.com/Indonesia/article, 2025).
Menurut Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono, naiknya angka kemiskinan di perkotaan itu disebabkan oleh meningkatnya jumlah setengah pengangguran diperkotaan. Selain itu juga disebabkan oleh naiknya harga komoditas pangan seperti cabai rawit, minyak goreng, dan bawang putih. (Jakarta,BeritaSatu.com, 25/07/2025).
BPS juga mengubah garis kemiskinan nasional pada Maret 2025 sebesar sekitar Rp20.305 per hari.
Angka kemiskinan ekstrem memang turun di atas kertas, tapi faktanya standar garis kemiskinan juga rendah dan masih mengadopsi PPP (Purchasing Power Parity)_ tahun 2017 sebagai acuan tingkat kemiskinan ekstrem nasional yakni USD 2,15 (20.000 per hari). Ini manipulasi statistik untuk menunjukkan progres semu.
Sistem Kapitalis Mengatur Ekonomi
Sistem Kapitalis dengan asas sekulernya menjauhkan aturan agama dari setiap aktivitas kehidupan. Agama hanya dipandang sebatas aktivitas ritual oleh masing-masing individu. Sementara perkara yang lain seperti pendidikan, kesehatan dan pekerjaan yang layak tidak menggunakan aturan Islam.
Terlihat jelas bahwa asas kapitalis-sekuler adalah perkara batil, sistem ini hanya peduli pada citra ekonomi ketimbang realitas penderitaan rakyatnya. Ini jelas karena kebijakan yang diterapkan bukan datang dari Sang Khalik melainkan dari individu-individu yang merupakan ciptaan dari Sang Khalik itu sendiri. Lalu, bagaimana mungkin sistem yang datang dari hamba yang lemah dan batil ini tidak akan melahirkan aturan atau kebijakan yang sama batilnya ?
Konsep kepemilikan dalam Sistem Kapitalis juga batil. Karena, semua kekayaan milik umum atau yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti tambang, air, api, listrik dan lain-lain boleh dimiliki oleh individu atau perusahaan swasta. Sementara milliaran lainnya hidup dalam kemiskinan dan keterbatasan. Padahal hakikatnya semua kepemilikan umum harus dikelola oleh negara.
Sehingga pendistribusian kekayaan dalam sistem ekonomi kapitalis tidak adil. Karena, fokus pada peningkatan produksi (akumulasi) kekayaan yang hanya dirasakan oleh sebagian orang, bukan pada distribusi yang merata dan adil sehingga mampu dirasakan oleh seluruh warga negara tanpa terkecuali. Maka, jelas jika kesenjangan antara si miskin dan si kaya mengalami kesenjangan yang ekstrem.
Hal ini disebabkan oleh negara yang lebih melayani korporasi dan kaum kapitalis (para pemilik modal) ketimbang melayani dan mengurusi rakyat kebanyakan. Wajar jika kebebasan ekonomi yang tidak terkontrol menciptakan kedzaliman seperti monopoli, eksploitasi buruh, dan kriminalitas ekonomi (riba, spekulasi, dll).
Sistem Ekonomi Dalam Pandangan Islam
Kebalikan dari sistem ekonomi kapitalis, sistem ekonomi Islam justru menciptakan kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan bagi seluruh rakyat. Hal ini bisa dilihat dari beberapa poin sistem ekonomi Islam yang telah disampaikan oleh An-Nabhani dalam kitab al-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam. Diantara poin-poin tersebut, yaitu :
Pertama, tujuan ekonomi Islam adalah distribusi kekayaan kepada seluruh rakyat -secara orang-per orang- dengan adil bukan pertumbuhan (akumulasi) kekayaan untuk segelintir orang.
Kedua, tentang kepemilikan, kepemilikan dalam Islam dibagi menjadi tiga bagian yaitu kepemilikan individu (al-milkiyyah al-fardiyyah), kepemilikan umum (al-milkiyyah al-ammah), dan kepemilikan negara (milkiyyah ad-daulah). Terkait kepemilikan umum, dalilnya antara lain sabda Rasulullah saw.:
الْمُسْلِمُوْنَ شُركَاَءُ فِي ثَلاَثٍ: الْمَاءُ، وَالْكَلَأُ، وَالنَّارُ
Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Ketiga, sistem ekonomi Islam melarang memiliki harta haram atau transaksi yang haram sehingga merusak ekonomi, seperti riba (bunga), ketidakjelasan (gharar), judi, monopoli, spekulasi, dll.
Keempat, Negara wajib menjamin kebutuhan pokok setiap individu masyarakatnya dalam hal sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan tanpa syarat pasar.
Kelima, Islam menjamin distribusi sumber daya alam sehingga hasilnya bisa dinikmati oleh seluruh rakyatnya. Itulah sebabnya haram menyerahkan kepemilikan umum (tambang, hutan, air, gas, listrik, dll) kepada individu atau perusahaan swasta untuk di privatisasi.
Islam Menjamin Kesejahteraan
Kemiskinan dalam pandangan Islam bukan hanya sekedar materi melainkan kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhan dasar sambil menjaga martabat. Hal ini hanya akan dirasakan, jika sistem Islam diterapkan secara keseluruhan.
Penerapan Islam secara menyeluruh melahirkan individu-individu yang bertakwa dan berkualitas. Penguasa yang dalam hal ini juga bagian dari individu tersebut akan menjalankan tugas untuk mengatur urusan rakyatnya sesuai dengan hukum syariah Islam secara kaffah.
Ketakwaan individu menjadikan penguasa dalam sistem Islam takut akan beratnya pertanggungjawaban jabatan di hadapan rakyat dan di hadapan Allah SWT di akhirat. Karena itu kekuasaan dipandang sebagai amanah yang tidak diperebutkan. Seperti sabda Rasulullah saw. yang artinya "Tidaklah seorang hamba - yang Allah beri wewenang untuk mengatur rakyat - mati pada hari dia mati, sementara dia dalam kondisi menipu (menzalimi) rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan bagi dirinya syurga." (HR. Ibnu Hibban).
Hadist tersebut jelas mengancam penguasa yang dzalim terhadap rakyatnya. Penerapan sistem Islam secara totalitas membuat negara tidak berlepas tangan terhadap kebutuhan dan kesejahteraan rakyat. Kepala negara dalam negara Islam adalah raa'in(pengurus rakyat). Jadi, benar-benar melakukan tugas dan tanggung jawab atas dasar mengurusi rakyatnya, bertanggung jawab atas kebutuhan sandang, pangan, papannya. Bukan hanya itu tetapi juga kesehatan, pendidikan, dan keamanan.
Daulah Islam tidak mengukur kemiskinan dari angka PPP (Purchasing Power Parity) buatan lembaga Internasional, melainkan dari apakah kebutuhan pokok setiap individu terpenuhi secara layak atau tidak.
Daulah Islam akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang mampu membuka lapangan kerja bagi rakyat secara memadai dengan melakukan pengelolaan SDA secara mandiri dan haram diserahkan kepada swasta apalagi asing. Sehingga, negara mampu membuka lapangan pekerjaan dari sektor industri dalam jumlah besar. Jelas angka pengangguran akan berkurang dan kemiskinan pun sulit untuk diterawang.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb