| 100 Views
Kasus Pagar Laut, Bukti Negara Tunduk Pada Oligarki

Oleh : Siti Rodiah
Publik kembali digegerkan dengan penemuan pagar laut misterius sepanjang 30,16 kilometer persegi di Tangerang, Banten. Tenyata tidak hanya daratan saja yang dipagari, lautan juga bisa dipagari. Terlepas dari itu semua pemerintah harus berupaya maksimal mengejar aktor yang bertanggung jawab atas pagar laut misterius tersebut.
Dikutip dari (tirto.id, 23/1/2025), bahwasanya Pemerintah hingga kini masih meraba-raba siapa yang bertanggung jawab atas pemasangan pagar laut di perairan utara Tangerang, Provinsi Banten. Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, pun kompak mengatakan masih melakukan penyelidikan soal polemik pagar laut itu.
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi IV DPR RI, Sakti mengaku kecolongan atas adanya pagar laut di Tangerang tersebut. Karenanya, dia berjanji akan menyelesaikan penyelidikan atas pagar laut itu sampai tuntas. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga akan memperbaiki pola komunikasi dan mempererat kerja sama dengan instansi-instansi terkait untuk merampungkan masalah ini.
Sebelumnya, Sakti mengatakan akan berkoordinasi dengan Kementerian ATR/BPN dalam menindak pemasang pagar laut di Tangerang itu. Pasalnya, diketahui bahwa sebagian besar Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang terkair dengan pagar laut itu terdaftar di BPN atas nama dua perusahaan, yakni PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti Sentosa. Sudah menjadi rahasia umum, kedua perusahaan tersebut memiliki keterkaitan erat dengan Agung Sedayu Group, raksasa properti milik taipan Sugianto Kusuma alias Aguan.
Sementara itu, berdasarkan hasil investigasi, Kementerian ATR/BPN menemukan bahwa HGB dan SHM di perairan utara Tangerang cacat prosedural dan material. Belum lagi, pagar laut terbukti dibangun di luar garis pantai. Oleh karena itu, Kementerian ATR/BPN pun memutuskan untuk mencabut HGB dan SHM yang terdaftar di area pagar laut Tangerang.
Adanya kesimpangsiuran terkait polemik pagar laut misterius tersebut sejatinya disebabkan oleh dicampakkan nya hukum Allah dan digantikan oleh hukum buatan manusia. Dimana asas kepentingan sangat terasa ketika membuat aturan tersebut. Kepentingan tersebut tentu saja bukan untuk rakyat kebanyakan tetapi untuk kepentingan para oligarki alias pemilik modal.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa negara kita tercinta sangat loyal dalam menerapkan sistem kapitalisme demokrasi yang jelas membuat negara tidak memiliki kedaulatan dalam mengurus urusan rakyat. Kedaulatan negara sudah di kangkangi oleh para oligarki sehingga negara harus tunduk patuh pada kepentingan mereka. Para oligarki tersebut sudah menjadi penguasa sebenarnya di negara kita.
Semakin jumawa nya tingkah para oligarki tersebut menjadi bukti kedaulatan negara sudah tergadaikan akibat prinsip kebebasan kepemilikan yang lahir dari sistem kapitalisme yang dianut negara ini. Dimana individu maupun kelompok dapat memiliki harta sebanyak-banyaknya, walaupun harta milik umum dengan cara apapun tanpa memperdulikan halal dan haram berdasarkan syari'at Allah.
Negara juga hanya sebagai regulator yang bergerak sesuai dengan arahan para kapital, sehingga kebijakan apapun tujuannya adalah untuk menjaga dan memuluskan kepentingan para kapital. Pada akhirnya negara tidak memiliki kuasa untuk menindak para kapital yang perbuatannya sudah jelas menyengsarakan rakyat.
Di dalam sistem Islam, kepemilikan umum sudah diatur dengan sangat sempurna dan tidak boleh dimiliki oleh individu/swasta. Contoh kepemilikan umum tersebut adalah barang tambang, jalan raya, hutan, sungai, danau, laut dan sebagainya. Sudah begitu jelas bahwasanya laut adalah salah satu kepemilikan umum yang tidak boleh dimiliki oleh individu maupun swasta, apalagi sampai memagarinya sedemikian rupa. Bahkan negara juga tidak berhak memiliki nya apalagi sampai menjual nya kepada korporasi. Peran negara hanya sebatas mengelola nya demi kepentingan rakyat.
Syaikh Abdul Qodim Zallum di dalam kitabnya al-Amwal fii Daulah al-Khilafah menjelaskan bahwa “Sesungguhnya laut, sungai, danau, teluk, kanal umum seperti terusan Suez, lapangan umum, masjid-masjid, merupakan kepemilikan umum yang menjadi hak bagi setiap individu rakyat.” Masih dari kitab yang sama dijelaskan bahwa sebab menjadi kepemilikan umum karena karakter pembentukannya yang mencegah seorang individu untuk memilikinya.
Aktivitas memagari laut adalah salah satu bentuk dari melakukan proteksi terhadap suatu wilayah tertentu, yang di dalam Islam hal ini tidak boleh dilakukan kecuali oleh negara, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Abu Dawud dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallahu ‘alaihi wasallama bersabda: “Tidak ada proteksi (hima) kecuali oleh Allah dan Rasulnya” yaitu oleh negara. Kalaupun negara ingin melakukan proteksi terhadap kepemilikan umum, maka tujuan proteksi itu tiada lain adalah untuk kemaslahatan umum, misalnya memproteksi suatu wilayah untuk keperluan jihad, untuk keperluan fakir miskin dan untuk kemaslahatan kaum muslim secara keseluruhan, tidak seperti proteksi pada masa jahiliyah yaitu memproteksi dengan memberikan hak istimewa dari individu tertentu untuk diproteksi bagi dirinya sendiri.
Dengan diterapkannya sistem Islam negara tidak akan tunduk pada korporasi atau para kapital karena negara mempunyai kedaulatan penuh dalam mengurus dan mengatur rakyatnya sesuai dengan hukum-hukum Allah. Negara dalam sistem Islam juga memiliki serangkaian aturan dan mekanisme pengelolaan harta milik umum. Sehingga harta milik umum akan dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat bukan dikuasai oleh individu maupun korporasi. Ketika terjadi pelanggaran terhadap hukum tersebut, maka merupakan sebuah kemaksiatan dan akan diberikan sanksi yang setimpal bagi para pelaku nya.
Wallahu a'lam bisshawab