| 470 Views

Iuran Tapera, Menambah Beban Rakyat dan Pengambilan Harta Secara Paksa

Oleh : Sukey
Aktivis Muslimah Ngaji

Rencana pemerintah memotong gaji setiap pekerja di sektor formal untuk pelaksanaan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) ramai jadi perbincangan warga di berbagai ruang publik. Jika sebelumnya kepesertaan atau kewajiban pemotongan upah untuk Tapera baru menyasar pegawai negeri sipil, kini muncul mandatori perluasan kepesertaan Tapera ke penerima upah alias pegawai atau karyawan swasta serta BUMN/BUMD/BUMDes, TNI/Polri.

Besaran iuran Tapera 3 persen dengan rincian 0,5 persen ditanggung pemberi kerja dan 2,5 persen ditanggung pekerja. Ini berarti, setiap bulan gaji peserta akan dipotong 2,5 persen untuk kebutuhan iuran Tapera. Pemerhati kebijakan publik Iin Eka Setiawati menilai, penarikan iuran Tapera oleh negara dapat dikatakan pengambilan harta rakyat secara paksa oleh negara. “Ini menunjukkan ketidakmampuan negara menjamin tersedianya rumah bagi rakyat miskin,” ujarnya kepada MNews, Selasa (4-6-2024).

Ironinya, beban hidup masyarakat justru ditambah dengan berbagai pungutan selain Tapera. Para pekerja sudah dihadapkan pada berbagai pungutan, antara lain Pajak Penghasilan (PPH), pungutan untuk BPJS Ketenagakerjaan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sudah naik menjadi 11% dan akan kembali naik menjadi 12% pada awal 2025. Presiden Jokowi juga baru saja menyetujui kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras yang otomatis menambah beban pengeluaran warga.

Kini ditambah lagi pungutan Tapera yang sifatnya wajib. Sudah ada sanksi yang disiapkan oleh Pemerintah untuk pekerja maupun pengusaha yang menolak program ini. Mulai dari sanksi administratif, denda, hingga ancaman pencabutan izin usaha untuk para pengusaha. Bukankah ini menambah derita rakyat?!

Kebijakan ini sekilas tampak baik karena bisa mengatasi persoalan hunian masyarakat negeri. Akan tetapi, adanya Tapera menunjukan bahwa hunian rumah hanya bisa dimiliki oleh segelintir masyarakat yang bisa menabung. Selain itu, waktu pencairan dana sangat panjang menjadikan pemilik tabungan sulit memanfaatkan rumah yang merupakan salah satu kebutuhan pokok rakyat. 

Inilah potret nyata sistem kapitalis saat ini. Sistem ini menyebabkan masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan pokok.  Rakyat harus memutar otak untuk mendapatkan penghasilan yang cukup. Apalagi, sistem ekonomi kapitalisme membuat harga kebutuhan pokok melambung. Pelayanan pendidikan dan kesehatan turut tidak terjangkau.


Terkait pemenuhan kebutuhan rakyat, termasuk kebutuhan rumah, negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator, bukan turun tangan menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat. Pada akhirnya, rakyat harus berjuang sendiri memenuhi kebutuhan hidupnya, itu pun masih dibebani dengan berbagai pungutan dari penguasa.

Sungguh ini sebuah kezaliman yang lahir dari sistem kapitalisme. Pemerintah tidak hadir sebagai pelayan rakyat. Alih-alih melayani, justru malah memalak rakyatnya sendiri. Tidak peduli rakyat terzalimi dengan tindakan tersebut. Kezaliman yang tidak mengherankan terjadi di negara yang tegak di atas landasan paradigma yang rusak, yaitu sekularisme. Sekularisme yang mendasari sistem kehidupan hari ini benar-benar menafikan halal-haram, bahkan mengagungkan nilai-nilai materi dan kemanfaatan.

--
Sistem Islam Menjamin Terpenuhinya Kebutuhan Perumahan Rakyat Miskin
--

Sistem Islam berbeda dengan sistem lainnya. Sistem Islam datang dari Ilahi untuk membawa rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya muslim, tetapi juga nonmuslim.

Sistem Islam menempatkan penguasa (imam) sebagai pe-ri’ayah (pelayan) urusan rakyat dengan landasan hukum syarak. Penguasa tidak dibolehkan menyimpang dari hukum syarak karena alasan kemaslahatan tertentu, seperti memungut harta dari rakyat terus-menerus dengan alasan gotong royong. Penguasa juga tidak boleh mewajibkan sesuatu yang mubah, seperti mewajibkan menabung yang jika tidak, akan dikenai sanksi. Juga tidak boleh menghalalkan sesuatu yang haram.

Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah pelayan dan ia bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya.” (HR Al-Bukhari).[7]

Dalam Islam, syariat menjamin terwujudnya kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat yang hidup di bawah sistem ini. Negara diposisikan sebagai pengurus dan pelayan rakyat. Tugasnya adalah mengurus seluruh urusan rakyat, bukan mengeruk keuntungan dari rakyat. Negara yang berdasarkan syariat Islam juga menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok setiap warga negara secara menyeluruh, mulai sandang, papan, dan pangan. 

Oleh sebab itu, semestinya penyelenggara perumahan rakyat sepenuhnya menjadi tanggungan negara tanpa kompensasi berupa iuran wajib. Negara dalam Islam harus memastikan terbukanya lapangan kerja yang luas bagi rakyatnya. Kestabilan ekonomi akan mendorong masyarakat memiliki daya beli yang cukup untuk mendapatkan hunian yang nyaman. Untuk rakyat miskin yang masih kesulitan membeli rumah, maka negara akan hadir sebagai penjamin pemenuhan pokok ini. Negara tidak dibenarkan mengalihkan tanggung jawab ini kepada pihak swasta atau korporasi untuk pembiayaan pembangunan perumahan rakyat miskin.

Adapun pendanaannya diambil dari Baitulmal yang bersifat mutlak. Sumber-sumber pemasukan dan pintu-pintu pengeluaran Baitulmal sepenuhnya diatur berdasarkan ketentuan syariat. Pemerintah tidak dibenarkan menggunakan konsep anggaran berbasis kinerja, apa pun alasannya. Apalagi sampai mengomersialkan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok perumahan bagi rakyat. 

Semua hal itu hanya bisa dilakukan oleh negara yang berdiri di atas asas akidah Islam, sehingga taat pada aturan Allah Swt. Negara itulah yang disebut dengan khilafah. Dengan begitu, jaminan terpenuhinya perumahan bagi rakyat hanya akan terwujud dalam Khilafah Islam.


Share this article via

111 Shares

0 Comment