| 25 Views
Islam Solusi Tuntas Memberantas Korupsi

Oleh : Siti Martiana
Kasus korupsi di Indonesia tidak ada habis habisnya, malah makin menjadi-jadi. Belum hilang dari ingatan kita tentang kasus korupsi Pertamina, Jiwasraya, PT Timah, Asabri, Wilmar Group, ekspor CPO, impor gula, dll., kini sudah ada kasus baru yang mencuat.
Lima orang pejabat Pemprov Sumut, termasuk Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang PUPR Sumut Topan Obaja Putra Ginting, tersandung kasus korupsi proyek jalan di Dinas PUPR Sumut dan Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional (Satker PJN) Wilayah I Sumut. Tidak menutup kemungkinan kasus tersebut akan menyeret Gubernur Sumut Bobby Nasution.
Selain itu, ramai juga kasus korupsi proyek pengadaan mesin electronic data capture (EDC) di PT Bank Rakyat Indonesia (BRI). Nilai proyek yang disorot mencapai Rp2,1 triliun dan berlangsung pada 2020—2024. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan lima tersangka, salah satunya adalah mantan Direktur Utama BRI Catur Budi Harto.
Kasus ini makin menambah ramai bursa kasus korupsi di Indonesia yang harus ditangani. Padahal, kasus-kasus sebelumnya belum tuntas diselesaikan oleh KPK. Misalnya kasus korupsi gratifikasi pemberian kredit Bank Jawa Tengah periode 2014—2023, proyek e-KTP, dana bantuan sosial Covid-19, pengadaan lahan Yayasan Kesehatan Sumber Waras, dll.
Tidak tanggung-tanggung, kasus-kasus korupsi tersebut menyeret nama-nama pejabat tinggi, seperti mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, mantan Gubernur Sumatra Selatan Alex Noerdin, dan masih banyak lagi.
Nilai kerugian negara akibat kasus-kasus korupsi tersebut sangat besar. Misalnya kasus Pertamina yang merugikan negara hingga Rp968 triliun, PT Timah Rp300 triliun, BLBI Rp147 triliun, dll.. Sampai-sampai muncul klasemen liga korupsi Indonesia yang menunjukkan urutan megakorupsi terbesar.
Ironis, kasus-kasus korupsi ini muncul di tengah upaya pemerintah melakukan efisiensi anggaran yang jelas-jelas telah berdampak pada berkurangnya kualitas dan kuantitas layanan negara atas hak dasar rakyat dan pendanaan untuk sektor strategis, seperti penonaktifan penerima bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (PBI JKN), pengurangan tunjangan kinerja (tukin) guru, juga pengurangan dana bansos, riset, militer, dll.
Di satu sisi, negara seolah-olah tidak punya uang sehingga harus melakukan efisiensi yang mengepras hak dasar rakyat. Konon efisiensi ini mampu menghemat uang negara hingga Rp306 triliun. Namun, di sisi lain, pejabat dan kroninya mengorupsi uang negara hingga ratusan triliun. Bahkan, jika ditotal bisa menyentuh angka kuadriliun rupiah.
Ini menunjukkan bahwa negara ini sebenarnya punya uang. Hanya saja uang tersebut tidak terdistribusi dengan baik untuk kebutuhan rakyat, melainkan berputar di kalangan elite pejabat dan kroninya saja. Akibatnya, rakyat disuruh mengencangkan ikat pinggang “hingga hampir putus”, tetapi para pejabat dan kroninya berpesta pora dengan uang negara.
Inilah potret negara berparadigma sekuler kapitalistik neoliberal yang telah gagal dalam mengurus urusan rakyat dan menyolusi seluruh problem kehidupan. Maraknya korupsi di tengah efisiensi juga membuktikan bahwa sistem sekuler kapitalistik yang kini diterapkan tidak bisa diandalkan untuk mewujudkan masyarakat adil sejahtera.
Kondisi ini juga menjadi bukti bahwa sistem politik demokrasi gagal memberantas korupsi. Demokrasi justru menyuburkan politik transaksional yang menjadikan amanah kekuasaan hanya menjadi alat transaksi antara para pejabat dengan para pemilik modal. Akibatnya, praktik korupsi membudaya pada semua level dan ranah kehidupan masyarakat. Korupsi telah menjelma seperti kanker yang menggerogoti pemerintahan, mulai dari pusat hingga ke desa-desa. Hampir tidak ada lini kehidupan yang selamat dari penyakit ini.
Demokrasi kapitalisme juga menjadikan penegakan hukum atas kasus korupsi berjalan transaksional. Ketika kasus korupsi diusut, terjadi pula suap-menyuap kepada aparat peradilan agar pelaku bisa bebas atau mendapatkan hukuman ringan. Kalaupun diputuskan bersalah, hukuman akan dinego agar bisa mendapatkan fasilitas mewah dan pengurangan hukuman.
Oleh karenanya, berharap demokrasi kapitalisme mampu memberantas korupsi merupakan hal yang sia-sia. Justru korupsi di negara ini makin mengakar hingga mustahil untuk diberantas jika masih bertahan dengan sistem politik dan ekonomi yang sama, yaitu demokrasi kapitalisme.
Ini terjadi karena asas sistem politik ekonomi kita adalah sekularisme yang menegasikan peran agama dalam mengatur negara dan masyarakat. Sebaliknya, sistem politik ekonomi kita justru mengagungkan pencapaian materi sebagai tolok ukur keberhasilan. Ketika agama dijauhkan dan materi diagungkan, korupsi menjadi sebuah kebiasaan yang sulit dihilangkan dari para penguasa dan kroninya.
Dalam Islam sungguh berbeda dengan kapitalisme dalam mengatur kehidupan, termasuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi. Paradigma kepemimpinan Islam berasas akidah (keimanan) sehingga menjadikan kehidupan berjalan sesuai dengan tuntunan syariat Islam.
Individu dalam sistem Islam terdorong untuk taat syariat sebagai bukti keimanannya. Di antara wujud ketaatannya itu adalah ia menjadi orang yang amanah terhadap jabatan dan tugas yang ia emban, tidak berkhianat terhadap harta yang berada di bawah wewenangnya, bersikap profesional dengan menjalankan tugas sesuai dengan ketentuan syariat, serta berhati-hati agar tidak menyentuh sesuatu yang bukan haknya. Sistem Islam mewujudkan masyarakat yang taat syariat. Mereka saling mengingatkan dalam kebaikan dan takwa sebagaimana perintah Allah Taala dalam QS Al-Maidah ayat 2,
“Tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya.”
Di dalam sistem Islam tidak akan terjadi korupsi berjemaah karena masyarakat akan melakukan amar makruf nahi mungkar. Bibit korupsi bisa dicegah sejak masih berupa niat sehingga tidak sampai menggurita seperti saat ini.
Dengan sistem kehidupan yang berbasis akidah dan berpilar ketaatan pada syariat, terwujudlah masyarakat yang adil sejahtera karena harta masyarakat bisa terdistribusi dengan lancar kepada yang berhak. Fakir miskin, para janda, lansia, yatim, dan orang yang telantar akan mendapatkan haknya sehingga bisa hidup sejahtera.
Kondisi ini terwujud karena Islam memiliki perangkat aturan yang jika diterapkan secara kafah akan mampu meminimalkan munculnya kasus pelanggaran, seperti korupsi, penyalahgunaan jabatan, dll., Pada saat yang sama, sistem Islam tetap mampu menjamin kesejahteraan masyarakat sehingga tidak membuka celah kerusakan, termasuk pelanggaran hukum.
Untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan kekuasaan, sistem Islam (Khilafah) mewajibkan setiap penyelenggara negara untuk dihitung jumlah hartanya sebelum dan sesudah menjabat. Jika ada kenaikan signifikan, ia diminta menjelaskan asal muasalnya. Jika tidak mampu menjelaskan, harta tersebut akan disita oleh negara dan dimasukkan ke baitulmal.
Tindakan korupsi dalam fikih Islam dikategorikan berdasarkan modusnya. Korupsi yang modusnya penggelapan uang negara disebut perbuatan khianat (Syekh Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31). Sedangkan modus suap-menyuap disebut risywah, yakni pemberian harta kepada penguasa untuk mencapai suatu kepentingan tertentu yang semestinya tidak perlu ada pembayaran. Modus lainnya yaitu fee proyek dan gratifikasi berupa hadiah atau hibah yang tidak sah. Harta dari semua modus korupsi tersebut hukumnya haram karena diperoleh melalui jalan yang tidak sesuai syariat Islam (Syekh Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hlm. 117—119).
Sanksi bagi koruptor adalah takzir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Berat ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan (Syekh Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78—89). Sanksinya bisa berupa teguran lisan dan tertulis, penjara, cambuk, pengasingan, hingga yang paling berat adalah hukuman mati.
Hukuman dalam sistem Islam diterapkan secara adil, tidak ada transaksi untuk menawar hukuman. Ini karena asas peradilannya adalah akidah Islam dan hakimnya dipilih dari orang-orang yang bertakwa sekaligus fakih dalam agama, bahkan bisa jadi seorang mujtahid. Pelaksanaan peradilan kasus korupsi bagi pejabat atau pegawai negara dilakukan oleh kadi (hakim) mazalim yang bertugas menghilangkan kezaliman aparat negara.
Sanksi yang diputuskan kadi dilaksanakan secara tegas oleh syurthah (kepolisian). Tidak ada pengurangan masa hukuman, sel mewah, atau fasilitas lainnya. Bahkan, tidak ada pengadilan banding atau kasasi. Setelah sebuah kasus korupsi sah diputuskan oleh pengadilan, hukumannya langsung dilaksanakan.
Kemampuan sistem Islam untuk memberantas korupsi bukanlah isapan jempol atau klaim tanpa berdasar. Pelaksanaan syariat Islam kafah oleh Khilafah Islamiah telah berhasil mewujudkan sistem politik dan ekonomi yang bersih dari korupsi. Buktinya adalah kesejahteraan luar biasa yang terwujud di seluruh penjuru dunia Islam ketika syariat Islam tegak.
Fakta sejarah keemasan Islam selama berabad-abad menjadi bukti bahwa korupsi dan penyimpangan betul-betul bisa dicegah. Hasilnya, masyarakat Islam hidup dalam level kesejahteraan tanpa tandingan ketika Islam diterapkan dalam naungan Khilafah Islamiah.
Wallahualam bissawab.