| 334 Views

Ironi: Negeri Kaya Sawit, Harga Minyak Kita makin Selangit

Oleh : Santika  
Aktivis Dakwah

Lagi dan lagi kebijakan pemerintah telah banyak menyusahkan rakyatnya. Salah satunya kebijakan kenaikan harga minyak rakyat, Minyakita. Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng Minyakita atau harga minyakita naik dari Rp14.000 menjadi Rp15.700 per liter. Kenaikan ini diumumkan oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan dalam Surat Edaran Nomor 03 Tahun 2023 tentang Pedoman Penjualan Minyak Goreng Rakyat. (Https://www.liputan6.com) pada tanggal 20 Juli 2024.

Tentunya kebijakan ini menambah tekanan hidup pada rakyat. UMKM baik mikro ataupun makro yang bergerak dibidang kuliner yang paling banyak terdampak dari kenaikan minyakita ini. Dengan naiknya biaya produksi, maka akan memaksa para UMKM menaikkan harga jual dipasaran. Padahal, sudah kita ketahui bersama bahwasanya daya beli masyarakat saat ini sangatlah rendah, diakibatkan dari meningkatnya angka pengangguran akibat banyaknya PHK masal.  Walhasil, sangat berbahaya dalam kelangsungan usaha mereka. Alasan pemerintah harus menaikkan harga jual minyakkita, karena harus disesuaikan dengan biaya produksi dan juga harus disesuaikan dengan fluktuasi nilai tukar rupiah.

Tentunya kenaikan ini tidak masuk akal, karena Indonesia adalah negeri penghasil kelapa sawit terbesar di dunia dengan produksi CPO mencapai 45,5 juta metrik ton (MT) pada periode 2022/2023. Sehingga Indonesia mampu menjadi negara eksportir ke Belanda dan Malaysia. Namun, sejak tahun 2020 ekspor ke negeri Belanda mengalami penurunan, karena Belanda mendapat pasokan kelapa sawit dari Malaysia. Lucunya kelapa sawit yang di ekspor dari malaysia ke Belanda adalah kelapa sawit Indonesia. Namun, Malaysia dan Belandalah yang justru lebih diuntungkan dari kelapa sawit ini. Akhirnya menghambat kemajuan industri kelapa sawit di Indonesia. 

Kebijakan ini telah banyak melukai hati rakyat Indonesia. Kebijakan yang dinilai tidak propublik. Seharusnya negara bisa berperan aktif dan mengintervensi keadaan, agar minyakita turun harga atau minimal harganya tetap stabil. Negara harus mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya dalam hal pemenuhan kebutuhan sandang. Namun, hal ini sangatlah mustahil terjadi, karena sistem yang diterapkan saat ini adalah sistem yang berbasis kebebasan, yang mana kebebasan ini adalah hasil karya penerapan sistem kapitalis liberalis. Dalam sistem ini, justru negara menjamin kebebasan dalam berbagai lini kehidupan. Salah satunya dibidang pertanian dan perdagangan. Semenjak Indonesia menandatangani perjanjian GATT, maka perdagangan makin liberal. Perjanjian GATT adalah Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT), yang ditandatangani pada tahun 1947, merupakan perjanjian multilateral yang mengatur perdagangan antara 153 negara. Menurut pembukaannya, tujuan GATT (Ganeral  Agreement off tariffs and Trade) adalah “pengurangan tarif dan hambatan perdagangan lainnya secara substansial dan penghapusan preferensi, atas dasar timbal balik dan saling menguntungkan.” Perjanjian GATT itu sendiri adalah perjanjian umum tentang Tarif dan Perdagangan dibentuk untuk menghilangkan proteksionisme, sehingga membuat negara- negara berdagang secara bebas diantara mereka sendiri, serta membantu memulihkan kemakmuran ekonomi. (sumber ensiklopedia).

 Atas dasar kebebasan ini, akhirnya muncullah swastanisasi dari hulu hingga hilir dalam berbagai lini kehidupan termasuk dalam hal penyediaan minyak. Tercatat kepemilikan kelapa sawit di Indonesia didominasi oleh perusahaan swasta. Perkebunan kelapa sawit saat ini hanya 7,8% yang dikelola oleh pemerintah dari total lahan kelapa sawit di Indonesia. Selebihnya oleh pihak swasta. Maka, makin abailah pemerintah dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya dalam mengawasi produksi, serta distirbusi pangan. Peran negara hanya sebagai katalisasi yang lebih berpihak kepada para pengusaha baik dalam ataupun luar negeri. Akibatnya, makin panjanglah proses distribusi sehingga barang sampai ke masyarakat dalam harga tinggi. Dalam sistem kapitalis memungkinkan mengubah aturan demi kepentingan para koorporasi, karena asas yang diemban hanya sebatas mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa memedulikan dampak yang diakibatkan.

Berbeda dengan sistem Islam, memerintahkan negara agar mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya. Sebagaimana hadis Rasulullah saw.: “Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat) dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hal ini, negara mengatur dan memberikan kebijakan dalam hal produksi, distribusi, serta konsumsi. Dalam hal produksi, negara menetapkan kebijakan bahwa kepemilikan tanah oleh individu diperbolehkan selama tanah tersebut bukan untuk kepentingan umum. Saat ini, di sistem kapitalis banyak sekali pelegalan lahan hutan yang beralih fungsi menjadi lahan kelapa sawit oleh pihak swasta. Dengan alih fungsi ini, akibatnya merusak keberadaan hutan termasuk hilangnya keanekaragaman hayati. Akibat meningkatnya derforestasi dan kenaikan emisi. Islam telah melarang untuk merusak alam. Diriwayatkan dari Tsauban, khadim Rasulullah saw. yang mendengar Rasulullah saw. berpesan, “Orang yang membunuh anak kecil, orang tua renta, membakar perkebunan kurma, menebang pohon berbuah dan memburu kembing untuk diambil kulitnya itu akan merugikan generasi berikutnya.” (HR. Ahmad)

Dalam hal distribusi, negara Islam akan mempermudah dan menjamin ketersediaan kelapa sawit, sehingga tidak akan mengekspor kelapa sawit sebelum terpenuhi rakyatnya. Tentunya negara akan mengawal pendistribusiannya dari hulu hingga hilir, memastikan bahwa seluruh rakyat dapat terpenuhi kebutuhannya dalam hal ini, yaitu kelapa sawit. Begitulah sistem Islam, jika diterapkan tidak akan memikirkan hanya sekedar keuntungan tetapi akan senantiasa memikirkan bagaimana terpenuhi kebutuhan rakyatnya. Karena, sejatinya semua pemenuhan kebutuhan rakyatnya kelak akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT. Wallahualam bissawab


Share this article via

101 Shares

0 Comment