| 16 Views

Impian Rumah Layak Huni Akan Terwujud Dalam Sistem Islam

Oleh : Rini Febiani
Aktivis Muslimah Bandung

Bagi sebagian orang memiliki rumah seperti bemimpi di siang bolong, saking sulitnya masyakakat memenuhi kebutuhan papannya. Di sisi lain, banyak juga masyakakat yang bermimpi memiliki rumah yang layak huni. Padahal seharusnya bukan hanya impian namun kebutuhan yang harus dipenuhi.

Kementrian Perumahan dan Kawasan Permukiman menyatakan sebanyak 26,9 juta rumah di Indoenesia masuk kategori tidak layak huni akibat kemiskinan ekstrem. Direktorat Jenderal Tata Kelola dan Pengendalian Resiko Kementrian Perumahan dan Kawasan Permukiman Aziz Andriansyah, menyampaikan “Untuk menyelesaikan permasalahan itu, pemerintah menargetkan dalam 1 tahun bisa membangun 3 juta rumah melalui program bedah rumah dengan menggandeng berbagai pihak termasuk swasta”. ( beritasatu, 25/4/25)

Kesenjangan Sosial

Sungguh miris, hari ini memiliki rumah layak masih menjadi impian jutaan keluarga disebabkan harga yang mahal. Dan sayangnya, pemerintah menyikapi rumah layak huni ini masih sebatas pada klaim bahwa penyebabnya adalah kemiskinan ekstrem. Namun, tidak menganalisis apa yang menjadi latar belakang terjadinya kemiskinan ekstrem. Pada saat yang sama, pemerintah mengeluarkan kabijakan yang makin kapitalistik dan ini justru akan menjerumuskan pada potensi kemiskinan stuktural dan sistemis.

Sebagai contohnya, daya beli masyarakat terus menurun disebabkan inflasi yang belum bisa dibendung oleh pemerintah. Angka PHK dan pengangguran juga terus meningkat. Negeri ini didominasi oleh usia produktif, tetapi ironisnya pengangguran terbanyak justru menyerang Gen Z yang merupakan usia produktif. Ini belum  berkaitan dengan kerusakan yang menimpa generasi, baik akibat tindak asusila, kasus narkoba, miras dan kriminalitas lainnya.

Itu semua hanya secuil dari kesenjangan hidup yang menimpa negeri ini.  Sehingga semua ini harusnya menjadi gambaran agar pemerintah mengevaluasi kebijakannya untuk bisa memperbaiki kondisi saat ini. Salah satunya yaitu mewujudkan rumah layak huni bagi warga negara.

Pemerintahan Prabowo-Gibran pada salah satu program prioritasnya, memiliki program pembangunan tiga juta rumah per tahun. Sasaran utamanya adalah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Jika melihat masih besarnya angka kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan rumah atau backlog, program ini digadang-gadang menjadi angin segar untuk bisa mengentaskan problem backlog ini. .

Dalam dunia properti, backlog merupakan kondisi kesenjangan antara total hunian terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan oleh masyarakat, termasuk angka rumah yang tidak layak huni.

Menurut data BPS dan Kementrian PUPR, angka backlog kepemilikan rumah di Indonesia mencapai 12,7 juta unit pada 2023. Data BPS menyebutkan persentase rumah tangga dengan status kepemilikan rumah milik sendiri sebanyak 84,79% juta. Dengan demikian, jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah sendiri diperkirakan sebesar 10,86 juta unit. (Kompas, 31/01/25).

Berdasarkan data tersebut kebutuhan rumah, program tiga juta rumah memang tampak mudah dan singkat untuk bisa mewujudkan angka 10,84 juta unit rumah. Namun, dengan kehdupan dalam naungan sistem kapitalisme, program tiga juta rumah itu mustahil terealaisasi tanpa ada motif ekonomi. Karean faktanya, dalam mewujudkan program ini pemerintah telah menggandeng swasta, ditambah lagi dari segi mekanisme liberal dalam pengelolaan sektor perumahan, sering kali menjadi celah untuk membua proses kepemilikan menjadi rumit bagi kalangan menengah kebawah. Ini berawal dari tata kelola perumahan yang diatur berdasar standar kapitalisme.

Negara dalam sistem ini berperan sebagai regulator yang memuluskan pihak swasta untuk mengendalikan pembangunan perumahan rakyat demi mendapatkan keuntungan (kapitalis).  Akan tetapi, narasi yang digunakan seolah-olah negara sedang bekerja memenuhi kebutuhan rakyatnya akan rumah layak. Padahal kenyataannya justru semakin meyulitkan rakyat.

Gaya kepemimpinan populis seperti ini lahir dari sistem kapitalisme yang jauh dari fungsi riayah (pengurus) dan tidak memiliki dimensi ruhiyah.  Kekuasaan/kepemimpinan dalam sistem ini justru menjadi buruan karena menjadi alat untuk meraih keuntungan yang sebanyak-banyaknya.

Basahnya bisnis properti dalam sistem kapitalisme telah jauh menggeser fungsi rumah sebagai bagian dari kebutuhan primer seorang individu menjadi komoditas komersial. Berbeda dengan pandangan Islam, bahwa rumah adalah salah satu kebutuhan asasiah/dasar disamping sandang, pangan, pendidikan, kesehatan dan keamanan yang wajib dijamin oleh negara melalui penerapan sistem politik ekonomi islam

Sistem Islam Wujudkan Rumah Layak Huni

Sistem Islam akan menciptakan support system sehingga rakyat dengan mudah memiliki rumah layak, mulai dari sistem politik sentralisasi, sistem ekonomi dan keuangan, sistem pendidikan, dll. Hal ini adalah keniscayaan karena penguasa muslim berfungsi sebagai raa’in dan sistem hidup yang diterapkannya (yakni syariat Islam Kaffah). Sehingga khilafah akan memastikan semua sumber daya bagi pembangunan perumahan akan termanfaatkan secara maksimal bagi terwujudnya jaminan pemenuhan kebutuhan rumah setiap individu masyarakat.

Namun pada titik ini, penguasa saat ini telah nyata-nyata berlepas tangan dari tanggung jawabnya untuk menjamin distribusi kebutuhan primer rakyatnya dari sisi kepemilikan rumah. Ini sungguh telah melenceng dari sabda Rasulullah Saw, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia akan bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya” (HR Muslim dan Ahmad)

Dan juga firman Allah Swt.,  “Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumah sebagai tempat tinggal..” (QS An Nahl:80).

Semua orang yang tinggal dalam Daulah Islam adalah warga negara yang dijamin hak kesejahteraannya secara individu per individu. Dengan adanya jaminan dan penerapan pendistribusian rumah oleh Negara, kepemilikan rumah layak huni bagi individu bukanlah sesuatu yang mustahil, baik itu melalui hasil usaha individu tersebut maupun berupa pemberian negara.

Negara dalam Islam akan memperhatikan proses pembangunan, yaitu dengan mengatur interval pembangunan perumahan yang tidak hanya fokus menggenjot poduksi rumah secara besar-besaran, melainkan menyediakan sesuai kebutuhan serta tetap memperhatikan keseimbangan antara visi pembangunan dengan aspek ekologi dan konversi lahan.

Selain itu, Negara juga akan menerapkan mekanisme tertentu agar setiap warga merasa cukup ketika kebutuhannya akan rumah layak huni sudah terpenuhi, berikut mekanismenya: Pertama, Negara akan menerapkan politik perumahan Islam, yakni sekumpulan syariat dan peraturan administrasi, termasuk pemanfaatan riset dan teknologi terkini. Kedua, Negara memastikan rumah yang dibangun haruslah layak huni, nyaman dan syar’i. Ketiga, Negara memastikan bahwa harga rumah yang dibangun bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat Pada saat yang sama, khilafah akan menutup celah keserakahan orang-orang yang hendak mengeksploitasi bisnis dan kepemilikan rumah.

Demikianlah penerapan hukum Islam dalam pengaturan perumahan dan pemukiman yang dilakukan oleh negara dalam sistem Islam. Ini adalah satu satunya jawaban bagi permasalahan perumahan layak huni hari ini. Sehingga hanya negara yang menerapkan Islam kaffah yang mampu mewujudkan lingkungan perumahan yang aman, nyaman dan syar’i bagi kondisi saat ini.

Wallahu’alam bissawab


Share this article via

20 Shares

0 Comment