| 126 Views
Gen Z Melek Politik

Oleh : Siti Martiana
Tinggal hitungan hari momen pilkada serentak dilaksanakan, manuver politik dari berbagai paslon makin gencar dilakukan, terutama pada kalangan Gen Z, yang suaranya menjadi yang terbesar setelah kaum milenial.
Sebagai contoh, kemenangan Prabowo-Gibran pada Pilpres yang lalu, juga tidak bisa dilepaskan dari besarnya suara Gen Z. Berdasarkan exit poll Pilpres 2024 dari Indikator Politik, 71% responden yang merupakan Gen Z memilih Prabowo-Gibran. Meski Prabowo bukan anak muda, gimik “gemoy”-nya mampu menarik kalangan muda untuk memberikan suaranya.
Tidak heran, pada Pilkada serentak kali ini, para paslon berkampanye dengan sangat masif. Sebagai contoh dalam kampanyenya, Ridwan Kamil berjanji kepada Gen Z untuk memberikan akses modal usaha dan pelatihan kerja guna mendorong wirausaha muda. Ia juga menjanjikan beberapa inisiatif untuk mengatasi pengangguran di kalangan Gen Z. Kemudia ada Calon Gubernur Jawa Timur, Tri Rismaharini, bahkan berjanji akan menggratiskan SPP hingga tingkat SMA jika dirinya terpilih.
Melihat potensi besar suara Gen Z menjadi incaran karena golongan muda sering dianggap buta politik, meski tingkat partisipasinya tinggi pada pemilihan. Data dari KPU 2024 menyebutkan, 40% pemilih adalah Gen Z. Absennya pemahaman politik di kalangan anak muda menjadi jalan mudah bagi para politisi yang hanya mengejar kekuasaan. Sebabnya, pemilih muda akan memilih calon berdasarkan gimik, bukan berdasarkan visi, misi, atau pun program kerjanya.
Banyak dari mereka yang tidak memahami sejarah terkait rekam jejak para kandidat, bahkan tidak peduli meskipun fakta sudah bertebaran di media sosial. Inilah alasan Bertolt Brecht, penyair asal Jerman, mengatakan bahwa buta yang terburuk adalah buta politik. Orang yang buta politik itu tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Mereka sejatinya tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu, dan obat, semuanya tergantung pada keputusan politik.
Oleh karena itu, banyak pihak berusaha mengedukasi Gen Z tentang pentingnya memiliki kesadaran politik, agar suaranya yang besar itu mampu membawa perubahan. KPU dengan semangat mengedukasi mereka melalui sosialisasi pemilu/Pilkada ke kampus, sekolah, hingga pesantren. KPU juga membentuk duta-duta politik dari kalangan mereka sendiri agar wawasan politik dapat sampai kepada mereka.
Namun, sosialisasi yang diberikan KPU hanya seputar informasi tentang proses pemilu, hak dan kewajiban pemilih, serta pentingnya memilih pemimpin yang tepat. Seolah-olah aktivitas politik hanya sebatas memilih dan dipilih saja. Wajar jika akhirnya Gen Z pun terjebak dengan janji-janji manis para kandidat. Jelas, makna politik seharusnya tidak hanya sebatas pilih memilih.
*Pesta Demokrasi*
Pada faktanya sistem politik hari ini menggunakan sistem demokrasi yang semakin menampakkan kebobrokannya. Semangatnya membagi kekuasaan dengan dalih mencegah otoritarianisme, ternyata malah mewujudkan oligarkisme. Di bangun berdasarkan asasnya yang sekuler (memisahkan agama dari kehidupan) , bahkan malah menjadikan agama tersingkir untuk mengatur urusan negara. Inilah pangkal keburukan demokrasi yang pada akhirnya melahirkan aturan yang rapuh, tumpang tindih, dan bermasalah, karena lahir dari akal manusia yang lemah dan terbatas.
Makna politik pun dinisbatkan sebatas pada perebutan kekuasaan. Politik transaksional ini menjadikan kekuasaan dipegang oleh sekelompok kecil pemilik modal. Merekalah yang pada hakikatnya mengendalikan kebijakan dalam pemerintahan. Bahkan, bukan tidak mungkin, mereka pulalah yang menentukan sosok yang akan menjadi kepala negara maupun daerah.
Nyata sudah, pemilu yang melibatkan suara rakyat hanya menjadi alat legitimasi bahwa paslon yang terpilih adalah keinginan rakyat. Sungguh di balik terpilihnya pemimpin, ada para oligarki yang siap mengambil keuntungan. Buktinya, para pemimpin yang terpilih selalu saja menetapkan kebijakan yang merugikan rakyat. Misalnya, ketika para buruh berdemo meminta kenaikan upah di atas 10%, pemerintah malah mengatakan bahwa kenaikan upah yang tinggi akan memberatkan produksi.
Lalu kita sebagai calon pemilih harus memiliki Kesadaran politik yang harus dimulai dengan memahami akar persoalan yang terus-menerus berulang menimpa umat di negeri ini. Sejak awal kemerdekaan hingga hari ini, kesejahteraan malah makin menurun. Kendati pemimpin kita sudah sering berganti, baik itu dari kalangan militer, sipil, intelektual, bahkan ulama, namun semuanya bisa kita katakan gagal membawa kesejahteraan.
Dengan ini, Gen Z harus mampu meneropong semua itu dengan kacamata sistem, bahwa persoalan di negeri ini begitu kompleks. Berganti-ganti kepala negara maupun kepala daerah tidak akan mampu menyelesaikan masalah. Sebabnya, yang harus diganti adalah sistemnya yang sudah rusak dan juga merusak. Dari sini jelas bahwa akar persoalan runyamnya kehidupan di negeri ini adalah penerapan sistem demokrasi itu sendiri. Menggunakan sistem demokrasi sama saja dengan turut melanggengkan permasalahan.
Inilah urgensitas mengganti sistem demokrasi menjadi sistem politik Islam. Menggunakan kacamata akidah, sistem politik Islam adalah perintah Allah Swt. dalam rangka menerapkan hukum Allah secara kafah di semua level, termasuk negara. Untuk itu, memperjuangkan runtuhnya sistem saat ini sekaligus mengembalikan sistem Islam merupakan perjuangan politik yang agung.
Sehingga Gen Z wajib melek politik agar bisa melihat dengan jelas kebobrokan sistem demokrasi. Sistem demokrasi kapitalisme hari ini telah membajak potensi besar anak muda dengan menjadikannya sebatas aset ekonomi serta target bisnis konsumtif dan hedonis. Kedudukan mereka tidak lebih mulia dari faktor produksi lainnya, seperti modal dan tanah. Jika ada Gen Z yang tidak menghasilkan materi, mereka dianggap tidak produktif.
Berbeda dengan cara pandang Islam terhadap manusia, termasuk Gen Z. Islam memandang bahwa manusia adalah objek yang harus diurus seluruh kebutuhan hidupnya oleh negara. Para pemimpin yang menerapkan syariat Islam secara kafah akan benar-benar mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Oleh karena itu, agar hidup sejahtera, Gen Z membutuhkan tegaknya negara yang berasaskan akidah yang sahih, yakni Khilafah Islamiah.
Energi besar Gen Z semestinya dipakai untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah. Gen Z jangan mau dibajak oleh demokrasi yang hanya menghargai mereka menurut jumlah suaranya di TPS saja. Gen Z yang terkenal kreatif sesungguhnya akan mampu membuat berbagai terobosan baru agar pemahaman Islam kafah bisa diakses dan dipahami oleh masyarakat luas.
Gen Z yang disebut juga digital native akan mampu mewujudkan dunia maya sebagai wasilah dakwah untuk mengubah dunia. Ia tidak akan terbawa arus sesat media sosial yang saat ini disetir oleh Barat. Bahkan, ia bisa menjadi trendsetter bagi kalangannya untuk hijrah secara total bersama-sama.
Gen Z harus melek politik dengan memahami Islam secara kafah. Gen Z jangan terjebak dalam demokrasi yang hanya membajak potensi besarnya sebagai khairu ummah (umat terbaik). Gen Z harus berada di garda terdepan dalam perjuangannya menerapkan Islam secara kafah. Pada titik inilah potensi Gen Z akan benar-benar teroptimalkan.
Wallahualam bissawab.