| 29 Views

FOMO : Ketika Dunia Terasa Mendesak, Tapi Akhirat yang Abadi

Oleh : Siti M Milah

Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi remaja. Penggunaan media sosial menawarkan berbagai manfaat, seperti memudahkan komunikasi, memberikan hiburan, dan memungkinkan akses informasi secara cepat. Namun, di balik manfaat tersebut, media sosial juga membawa dampak negatif, salah satunya adalah meningkatnya tingkat kecemasan pada remaja.

Pada tahun 2025, tren FOMO tidak hanya berlanjut, tetapi juga diperkirakan akan meningkat dalam intensitas dan dampaknya terhadap kesehatan mental generasi muda.

FOMO atau Fear Of Missing Out adalah rasa takut merasa “tertinggal” karena tidak mengikuti aktivitas tertentu. Sebuah perasaan cemas dan takut yang timbul di dalam diri seseorang akibat ketinggalan sesuatu yang baru, seperti berita, tren, dan hal lainnya. Mereka menganggap"Keren", jika tidak mengikuti disebut tidak "gaul". sehingga melakukan cara untuk dapat dianggap keren, salah satunya FOMO tanpa memperhatikan nilai, dampak, serta prinsip hidup. 

Istilah FOMO merupakan marketing strategi pemasaran yang memanfaatkan rasa takut kehilangan kesempatan untuk mendapatkan sesuatu. Hal ini akan mendorong konsumen melakukan pembelian atau tindakan tertentu dengan segera. Di sisi lain, media memiliki kemampuan untuk menciptakan atmosfer opini yang membuat konsumen merasa cemas dan merasa bahwa mereka mungkin kehilangan kesempatan atau pengalaman yang diinginkan jika tidak bertindak cepat.

Yang bisa menjadi masalah, terungkap bahwa sebanyak 60% milenial memutuskan untuk membeli, menggunakan, atau menyewa sesuatu karena FOMO. Eventbrite—salah satu penyedia layanan tiket dan manajemen acara daring-juga menegaskan bahwa 69% aktivitas remaja saat ini sejatinya dipengaruhi oleh perilaku FOMO.

Kita tentu ingat tentang boneka labubu yang mendadak viral hanya karena postingan seorang idol K-Pop. Tidak dinyana, postingan tersebut memicu FOMO di kalangan Gen Z di sejumlah negara. Ya, FOMO merupakan sebuah fenomena global. Perilaku ini nyatanya memberi peluang bagi para pebisnis untuk membuka penawaran satu produk dengan waktu terbatas. 

Fenomena ini tentu memunculkan pertanyaan, “Bagaimana bisa perilaku ini muncul dan menjadi tren di kalangan generasi?” Jawabannya, ini tentu tidak lepas dari sistem sekuler kapitalisme demokrasi yang mendewakan prinsip kebebasan. Dalam sistem ini, fenomena ini mendapat pemakluman. Adanya jaminan kebebasan individu untuk melakukan sesuatu menjadikan segala keputusan personal mereka sebagai privasi yang tidak perlu dipermasalahkan.

Sistem ini juga telah menciptakan berbagai standar-standar sosial yang berorientasi pada kemewahan materi. Kondisi ini telah membuat masyarakat berlomba-lomba untuk mengejar kebahagiaan yang berifat jasadiah semata. Tujuannya tidak lain untuk mendapat pengakuan di tengah masyarakat. Gaya hidup penuh prestise ala masyarakat kapitalisme ini praktis menciptakan kesenjangan sosial akut sekaligus memicu konsumerisme. Ini pula yang menjadi ruang bagi masuknya bisnis ribawi seperti pinjol dan jenis layanan paylater yang marak saat ini.

Dampaknya, fenomena FOMO berujung pada karut-marutnya sistem finansial. Terus-terusan mengikuti tren memicu membludaknya utang para Gen Z. Sekitar 70% pengguna jasa paylater adalah kalangan muda. Prinsipnya, “buy now pay later” menjadi obat penenang kala FOMO menuntut pemenuhan. Walhasil, kehidupan generasi hanya berkutat pada perkara duniawi. Mereka tumbuh dalam sistem dan masyarakat kapitalistik dan dilenakan dengan perilaku FOMO yang nirfaedah, padahal generasi memiliki peran strategis sebagai agen perubahan sekaligu tulang punggung peradaban.

Sistem sekuler kapitalisme telah meletakkan standar sosial yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Ibarat meminum air laut, tetap saja tidak mampu menghilangkan dahaga. Seperti itulah gambaran manusia dalam mengejar kemewahan dunia. Generasi yang hari ini terlena dengan berbagai gaya hidup yang berorientasi pada kesenangan duniawi, harus kritis dan melihat fenomena ini dengan sudut pandang yang khas.

Generasi diposisikan hanya sebagai pasar besar para pebisnis. Melalui fenomena FOMO ini, generasi begitu mudah diarahkan untuk memenuhi keinginan-keinginan yang tidak mereka butuhkan. Terlebih lagi, sistem kapitalisme-lah yang menciptakan ruang hingga generasi menjadi sasaran empuk berbagai tren yang tidak berfaedah. Sama saja, sistem ini pun tidak memberi perlindungan pada generasi dari gaya hidup hedonis yang liberal. Bahkan, sistem ini berkontribusi dalam menjerumuskan generasi pada lingkaran hidup yang materalistis.

Sangat berbeda dalam pandangan Islam bahwa generasi merupakan potensi besar dan kekuatan yang dibutuhkan umat sebagai agen perubahan. Berada pada usia produktif menjadikan para generasi memegang peranan penting dalam menciptakan model masyarakat yang tidak hanya sibuk dengan perkara duniawi saja. 

Peran ini tegak bukan semata atas dasar tuntutan sosial. Peran ini berpijak pada tuntutan keimanan sehingga kukuh dan menghunjam pada diri generasi. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak akan bergeser kaki seorang hamba di hari kiamat dari sisi Rabbnya sehingga ditanya tentang lima hal: tentang umurnya dalam apa ia gunakan, tentang masa mudanya dalam apa ia habiskan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan dalam apa ia belanjakan, dan tentang apa yang ia amalkan dari yang ia ketahui (ilmu).” (HR. Tirmidzi). Hadis ini menegaskan bahwa Allah menuntut pertanggungjawaban tentang masa muda kita.

Jika sistem hari ini seakan memberi pemakluman pada usia muda untuk menikmati berbagai kemewahan hidup, Islam justru berbeda. Islam menegaskan bahwa usia muda adalah fase ketika manusia seharusnya memberikan amal terbaik. Negara berperan sentral untuk menumbuhkan cita-cita untuk membangun dan melanjutkan peradaban dengan mentalitas keimanan pada diri generasi.

Untuk itulah, negara berperan besar dalam mengarahkan potensi generasi. Negara Islam sangat memahami bahwa generasi adalah tulang punggung peradaban. Merekalah generasi penerus peradaban Islam yang besar. Oleh karena itu, negara tidak akan membiarkan generasi terbajak potensinya oleh ide selain visi ideologi Islam. Sebaliknya, negara berperan sebagai perisai generasi, yang melindungi mereka dari berbagai upaya yang mengalihkan potensi besar yang mereka miliki.


Share this article via

16 Shares

0 Comment