| 25 Views

DPR Bahagia Naik Gaji, Rakyat Makan Hati?

Oleh: Dian Ismi

Fantastis! Baru-baru ini mencuat kabar bahwa gaji anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) naik hingga Rp100 juta per bulan, atau setara Rp3 juta per hari. Pernyataan ini disampaikan oleh anggota DPR RI, TB Hasanudin. Kabar tersebut jelas melukai hati rakyat, apalagi di tengah situasi ekonomi yang kian sulit.

Meski begitu, Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, menampik adanya kenaikan besar. Ia menyebut perbedaan penerimaan anggota DPR periode lalu dan sekarang dipengaruhi adanya tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan sebagai pengganti fasilitas rumah dinas.

Namun, jumlah itu tetap terasa janggal. Rp50 juta hanya untuk tunjangan rumah? Bagaimana dengan rakyat kecil yang masih tinggal di bawah jembatan atau di rumah tidak layak huni? Itu baru tunjangan rumah, belum termasuk tunjangan lain seperti tunjangan beras yang mencapai Rp12 juta per bulan. Pertanyaannya, beras apa yang dimakan hingga membutuhkan anggaran sebesar itu? Sementara rakyat biasa, untuk sekadar membeli beras sering kali masih harus berutang. Kalaupun mendapat bantuan, kualitasnya sering buruk: beras hancur, berulat, bahkan berbau.

Kesenjangan antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakili makin nyata. Para wakil rakyat menikmati fasilitas dan tunjangan fantastis, sementara kontribusi nyata mereka terhadap kesejahteraan rakyat minim. Bahkan kinerja mereka kerap dipertanyakan. Saat rakyat berjuang menuntut hak, ada anggota DPR yang justru berjoget-joget. Seolah-olah mereka lebih sibuk mengurus kenyamanan diri dibanding nasib rakyat yang mereka wakili.

Sementara itu, rakyat dibebani dengan berbagai kenaikan: listrik, BBM, PBB, hingga pajak. Belum lagi potongan gaji karyawan serta lahirnya undang-undang yang justru tidak pro rakyat. Jika rakyat menolak, mereka bisa dikenai sanksi. Wajar jika muncul kemarahan, karena gaji selangit DPR bersumber dari uang pajak rakyat. Ironisnya, gaji besar itu tidak berbanding lurus dengan kinerja.

Padahal, rakyat menggantungkan harapan besar kepada wakil rakyat. Mereka ingin suara mereka benar-benar diperjuangkan, kebutuhan hidup dijamin, dan beban hidup berkurang. Namun kenyataan yang dirasakan justru sebaliknya: rakyat merasa "dibunuh perlahan" demi kepentingan segelintir elite yang haus kekuasaan.

Persoalan ini jelas bersifat sistemik. Demokrasi yang dijalankan membuat orang sulit menjaga amanah. Politik dijalankan dengan asas manfaat dan suara terbanyak, bukan dengan kejujuran atau keberpihakan pada rakyat. Akibatnya, orang-orang yang amanah kalah suara dari mereka yang mayoritas tetapi mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompok.

Berbeda dengan sistem Islam, yang bersumber dari Allah sebagai pencipta dan pengatur kehidupan manusia. Dalam Islam, jabatan bukan sekadar posisi politik, melainkan amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Seorang pejabat tidak boleh menggunakan kedudukan untuk memperkaya diri atau partainya, karena ia sadar setiap langkah akan dihisab. Keimanan menjadi benteng kuat dalam mengemban amanah.

Dalam struktur pemerintahan Islam (Khilafah), wakil rakyat bertugas menampung aspirasi umat untuk disampaikan kepada khalifah, lalu dijadikan bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan. Aspirasi itu tidak hanya berasal dari kaum Muslim, tetapi juga dari non-Muslim (ahludz-dzimmah) yang menjadi bagian dari rakyat negara Islam. Bedanya, ahludz-dzimmah tidak terlibat dalam pembuatan hukum, karena hukum bersumber langsung dari Al-Qur’an dan Sunnah, bukan dari hasil pemikiran manusia.

Selain itu, wakil rakyat dalam sistem Islam tidak membuat undang-undang, tetapi mengoreksi kebijakan penguasa. Sumber keuangan negara pun dikelola berbeda. Kekayaan alam, tambang, dan SDA lain yang hakikatnya milik umum dikelola negara untuk kepentingan rakyat. Pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok dijamin gratis oleh negara. Zakat dikelola baitulmal untuk disalurkan kepada yang berhak. Sementara gaji pejabat diberikan sesuai kebutuhan, bukan berlebihan, karena mereka sadar jabatan bukan ladang mencari kekayaan.

Teladan dapat kita lihat dari Khalifah Umar bin Khattab. Beliau mematikan lentera negara ketika membicarakan urusan pribadi, lalu menyalakannya kembali saat membahas urusan umat. Beliau sadar minyak lentera itu berasal dari harta rakyat, sehingga tak boleh digunakan sembarangan. Sikap sederhana itu mencerminkan betapa amanahnya seorang pemimpin Islam.

Dengan penerapan sistem Islam, keadilan dan kesejahteraan rakyat akan terwujud. Beban hidup berkurang karena kebutuhan dasar dijamin negara. Para pejabat pun benar-benar menjaga amanah, sementara wakil rakyat menjalankan tugas utama: mengawasi jalannya pemerintahan agar tidak keluar dari syariat.

Wallahu a‘lam bish-shawab.              


Share this article via

11 Shares

0 Comment