| 289 Views
Daya Beli Masyarakat Turun, Paylater Dan Konsumerisme Berkelindan Dalam Sistem Sekuler Kapitalis

Oleh : Reni Sumarni
Menurut catatan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukan bahwa Gen Z yang usia 19-25 tahun disinyalir menjadi kelompok yang berutang paling banyak di tahun 2021 dengan nilai pinjaman online mencapai Rp 14,74 triliun. Dengan memakai jasa paylater saja, pinjaman di kalangan muda semakin meningkat. Hingga Februari 2025 total utang masyarakat di Indonesia melalui layanan Buy Now Pay Later (BNPL) di perbankan sampai diangka Rp 21,98 triliun. Ini terjadi pada saat pandemi covid 19 dan ditambah lagi banyak mahasiswa yang terjerat pinjaman online sampai ada 311 orang dan ada kemungkinan saat ini jumlah peminjam semakin bertambah.
Apabila dilihat dari data tersebut, miris sekali memang, dimana masyarakat cenderung memilih jalan pintas dan cepat mendapatkan pinjaman tanpa mempertimbangkan akan adanya unsur ribawi yang akan membuat mereka terjerat hingga sulit keluar lagi karena sudah menjadi candu. Dan ditengah sulitnya ekonomi saat ini maka daya beli masyarakat pun menurun akhirnya berdampak pada semua aspek kehidupan. Dan tidak dipungkiri mulai dari generasi milenial hingga gen Z lebih memilih pinjaman online (pinjol) melalui aplikasi paylater untuk mendapatkan uang dengan cepat tanpa harus menunggu lama dan malalui proses yang sulit.
Hal ini menjadi fenomena yang sudah biasa di tengah masyarakat, bahwa meminjam uang ribawi tidak lagi tabu, bahkan ada kalangan ulama yang membolehkannya. Terlebih lagi aplikasi pinjol ini dilegalkan negara, maka semakin banyak saja para peminatnya. Masyarakat dimudahkan dengan adanya aplikasi paylater ini selain untuk transaksi jual beli, aplikasi ini juga bisa digunakan sebagai keuangan digital, juga untuk pinjaman online.
Mengapa paylater semakin marak?
Kondisi masyarakat saat yang didalamnya diterapkan sistem sekuler kapitalis, membuat mereka berani mengambil utang ribawi karena menganggap bahwa ini sangat membantu. Akibat adanya trend pay later ini, masyarakat banyak mengajukan pinjaman sehingga daya beli menurun. Dan hal ini berimbas pada phk massal dimana-mana, kenaikan bahan pokok dan bbm yang terus menerus, ditambah biaya pendidikan yang mahal dan banyak lagi faktor penyebab lainnya. Semua dilakukan demi memenuhi gaya hidup hedon dan serba materialistik dikalangan gen Z.
Sistem ini nyatanya sudah melahirkan generasi yang gemar berhutang. Padahal sudah banyak korban berjatuhan akibat hutang pinjol ini, namun hal itu tidak membuat para pelaku jera malah semakin banyak.
Sejatinya pinjol yang berbasis ribawi tidak akan menguntungkan bagi masyarakat, yang ada justru merugikan dan mencekik, apalagi dengan bunga yang besar. Perbuatan yang membiasakan meminjam uang riba ini, janganlah dijadikan sebagai budaya, karena bukan hanya pelaku yang akan menerima konsekuensinya bahkan keluarga pun bisa jadi sasaran apabila sudah jatuh tempo dan kita belum bisa membayar, maka para penagih hutang atau debt collector bisa saja mengejar keluarga kita.
Untuk itu masyarakat harusnya lebih bisa mengendalikan hawa nafsunya dengan menekan gaya hidup matrealistis dan hedonis, karena standar hidup bahagia itu bukan hanya materi saja. Dan tentunya dibutuhkan peran negara untuk mengedukasi masyarakatnya agar senantiasa membiasakan hidup sederhana tanpa memaksakan hidup mewah apalagi dari hasil utang.
Pay later dalam pandangan Islam jelas adalah suatu keharaman, karena disitu kita meminjam uang tapi dikembalikan lagi dengan nominalnya dilebihkan. Sedangkan uang termasuk barang ribawi yang digunakan sebagai alat tukar menukar yang disitu tidak boleh ada ribanya. Hal ini dikarenakan uang disamakan dengan dinar atau dirham yang terbuat dari emas yang dipakai untuk transaksi jual beli. Selain itu, dalam pay later juga terdapat akad-akad yang bathil dan melanggar syariat Islam.
Solusi untuk mencegah paylater semakin marak tidak lain yaitu dengan penerapan syariat Islam secara kaffah dan juga menanamkan kepada setiap individu masyarakat agar memiliki akidah yang kuat, faham akan halal dan haram hingga mereka pun tidak akan memilih cara instan untuk mendapatkan materi. Bukankah jelas dalam firman Allah SWT, "Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (Q.S. Al Baqarah 275). Dan untuk penerapan syariat Islam sendiri hanya bisa dijalankan oleh negara.
Demi mewujudkan masyarakat Islami yang jauh dari praktik riba maka harus dimulai dari negara lalu ke masyarakat dan terakhir individu keluarga. Daulah Islam sendiri yang dipimpin oleh seorang Khalifah akan menindak tegas para pelaku riba, yang meminjamkan, juga saksi yang mencatat. Dan dosa riba sendiri yang paling kecil itu adalah seperti menjinahi ibu kandung sendiri. Maka apabila kita menerapkan hukum sesuai Al-Qur' an dan As sunnah, para pelaku akan takut juga jera hingga tidak akan ada lagi transaksi riba di masyarakat.
Begitulah Islam mengatur tatanan hidup masyarakat yang jauh dari riba dan jangan sampai kita mengundang laknat Allah karena masyarakatnya hidup bergelimang dosa ribawi. Rasulullah SAW bersabda: "Telah aku tinggalkan kepada kalian dua perkara dimana kalian berpegang teguh atasnya maka kalian tidak akan tersesat didalamnya yaitu Al Qur'an dan As Sunnah." (HR. Al Hakim dan Malik).
Wallahu a'lam bishshawab