| 37 Views
Blokir Rekening Rakyat, Ranah Pribadi Terlalu Diusik

Oleh : Fitra Asril
Aktivis Muslimah Tamansari, Bogor
Anggota Komisi XI DPR RI Melchias Marcus Mekeng mengaku tidak setuju dengan langkah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk memblokir rekening pasif dalam upaya mencegah kejahatan keuangan. Dia mengatakan, bahwa PPATK itu sama saja dengan mengatur penggunaan uang pribadi orang. Menurut Mekeng, PPATK harus memiliki landasan hukum yang kuat untuk melakukan kebijakan itu. Mungkin orang-orang sengaja untuk menabung di rekening yang pasif tersebut. (Republika.co.id, 29/07/2025)
Tidak lama berselang setelah kegaduhan ini mencuat, PPATK membuka kembali 28 juta rekening yang mereka sebut "menganggur" atau dormant dalam bahasa keuangan. Alasan dibukanya kembali pemblokiran itu adalah setelah dilakukannya peninjauan ulang transaksi rekening dan memastikan rekening tersebut tidak berkaitan dengan tindak pidana, ujar Juru Bicara PPATK. Natsir Kongah. (BBC.com, 31/07/2025)
Kendati PPATK berdalih bahwa pembekuan ini dilakukan dalam rangka melindungi rekening dari potensi penyelewengan dan kejahatan, seperti penipuan dan pencucian uang, namun rakyat terlanjur dibuat geram dan kecewa. Pasalnya, pemblokiran dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada nasabah. Mestinya, PPATK memahami pola bisnis perbankan yang salah satunya tentang kebiasaan masyarakat Indonesia untuk menyimpan dana di tabungan yang tidak terpakai sebagai dana darurat atau cadangan, bukan malah diblokir secara sepihak yang semakin membuat rakyat kebingungan dan bertanya-tanya.
Selain itu, PPATK seharusnya memfokuskan kebijakan pemblokiran rekening yang tampak nyata hukum pidananya, seperti rekening para koruptor yang jelas-jelas merugikan negara dan rakyat.
Dalam sistem kapitalisme sekuler, negara dapat digunakan sebagai alat untuk menekan rakyat, terutama jika berkaitan dengan kepentingan ekonomi dan politik. Negara juga memiliki kewenangan absolut untuk mengintervensi aset individu atas nama "perlindungan", meskipun tanpa dasar hukum yang jelas.
Alhasil semakin terpampang jelas watak asli negara berbasis kapitalisme ini. Alih-alih menjadi pelindung rakyat, negara malah menjadi pelayan kepentingan segelintir pemilik modal dengan mengorbankan hak-hak rakyat. Sistem ini terus saja mencari celah agar rakyat makin buntung dengan kebijakan-kebijakan yang ada.
Kebijakan pemblokiran rekening pasif hanyalah satu dari sekian banyak kebijakan lainnya yang merugikan rakyat. Mata Penguasa tidak bisa lepas untuk terus membidik rakyatnya. Kepedulian mereka kian luntur. Tidak memandang lagi apakah rakyat terdampak atau tidak.
Padahal di dalam Islam, pemblokiran harta tanpa proses hukum yang adil adalah sebuah pelanggaran. Islam tidak membenarkan adanya sanksi termasuk atau perampasan harta sebelum terbukti adanya pelanggaran hukum melalui proses yang syar'i.
Syari'at menjelaskan, kekuasaan adalah amanah besar yang harus dijalankan dengan keadilan, bukan untuk merampas harta rakyat dengan alasan apapun. Penguasa kelak akan diminta pertanggungjawaban dihadapan Allah SWT atas setiap kebijakannya. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda : "Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya". (HR. Bukhari dan Muslim)
Wallahua'lam bi showab