| 3 Views

Berbagai Macam Bencana Melanda, Pertanda Tata Kelolah Lingkungan Salah Arah

Oleh : Dewi yuliani 

Menjelang akhir tahun sering terjadi banjir, longsor, hingga puting beliung di beberapa daerah. Contohnya saja terjadi Tanah Longsor di Cilacap, Presiden Minta Penanganan Korban DipercepatGolda Eksa15/11/2025 12:53A- A+Tanah Longsor Cilacap, Presiden Minta Penanganan Korban Dipercepat. Petugas melintas di dekat rumah warga yang terdampak bencana tanah longsor di Desa Cibeunying, Majenang, Cilacap, Jawa Tengah, Jumat (14/11/2025) .(Antara/Idhad Zakaria)
DEPUTI Bidang Penanganan Darurat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Budi Irawan, memastikan penanganan tanggap darurat tanah longsor di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, yang saat ini masih menyisakan korban hilang agar dilakukan dengan cepat sebagaimana instruksi dari Presiden Prabowo Subianto. Juga masih terdapat banyak warga menjadi korban dan belum terevakuasi. Ini juga disebabkan oleh kesulitan dalam proses evakuasi akibat kendala cuaca, medan, dan keterbatasan tim.

Bencana alam yang hari ini  banyak terjadi akibat kesalahan tata kelola ruang hidup dan lingkungan. Realitasnya, banjir bukan semata-mata akibat curah hujan tinggi, melainkan buah dari tata kelola lingkungan yang salah arah. Pembangunan wilayah di bawah sistem kapitalisme terus digenjot atas nama pertumbuhan ekonomi, namun kerap mengabaikan daya dukung lingkungan. Hutan ditebang demi tambang, rawa dikeringkan untuk kawasan industri, dan daerah resapan air dipangkas demi proyek infrastruktur.

Semua ini  dilakukan tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekosistem. Akibatnya, daya serap air menurun dan limpasan air hujan meluas hingga ke permukiman warga. Memang benar, curah hujan ekstrem akibat perubahan iklim turut memperburuk kondisi. Namun, perubahan iklim sendiri tidak terjadi begitu saja, ia merupakan dampak dari aktivitas manusia yang merusak keseimbangan alam. Kajian ilmiah menunjukkan bahwa alih fungsi lahan, pembangunan masif yang tidak memperhitungkan dampak lingkungan, serta penumpukan sampah menjadi faktor signifikan penyebab banjir.

Sangan disayangkan kerap kali penanganan bencana sangat  lamban dalam menunjukan sistem mitigasi masih lemah dan tidak komprehensif, baik pada tataran individu, masyarakat dan negara. Akar persoalan banjir tidak bisa dilepaskan dari sistem kapitalisme yang melandasi arah pembangunan dewasa ini. Siatem kapitalisme menempatkan alam sebagai komoditas, bukan amanah. Pembangunan yang berorientasi profit telah mengubah makna pembangunan menjadi sekadar ajang mengejar pertumbuhan ekonomi, bukan keseimbangan ekosistem.

Sistem kapitalisme yang memisahkan agama dari pengaturan kehidupan menjadikan kebijakan negara kehilangan arah moral. Negara mempersilakan korporasi mengeksploitasi SDA tanpa kendali. Akhirnya dampak buruk lingkungan hanya menjadi formalitas yang mudah diubah sesuai kepentingan pemodal. Bencana demi bencana menjadi bukti nyata bahwa arah tata kelola lingkungan di negeri ini tidak pernah berpihak pada keberlanjutan alam. Semua ini adalah buah dari sistem yang menjadikan materi sebagai tujuan hidup, bukan amanah yang harus dijaga.

Bisa kita lihat bahwasannya pemerintah sebagai penanggung jawab  penanganan kebencanaan saat ini tidak serius dalam menyiapkan kebijakan preventif dan kuratif dalam mitigasi bencana. Berbeda halnya di dalam sistem Islam memiliki paradigma yang berbeda dengan kapitalisme dalam memandang alam dan pembangunan. 

Paradigma pembangunan dalam Islam tidak sekadar mengejar pertumbuhan material, tapi membangun peradaban yang selaras dengan fitrah alam dan kemuliaan manusia. Setiap kebijakan pembangunan harus dituntun oleh ketaatan kepada Allah, bukan oleh kepentingan korporasi. Oleh karena itu, pembangunan yang merusak alam dan merugikan masyarakat harus dilarang, sekalipun tampak menguntungkan secara ekonomi.

Dalam sistem Islam, negara memiliki tanggung jawab memastikan pengelolaan SDA terjadi sesuai syariat dan demi kemaslahatan seluruh rakyat. Penguasa bertindak sebagai raa’in (pengurus rakyat) yang wajib menjalankan kebijakan pembangunan berdasarkan aturan Allah dan Rasul-Nya, bukan kehendak para investor. Di dalam sistem Islam Paradigma Islam soal bencana memiliki 2 dimensi (ruhiyah dan siyasiyah). Dimensi ruhiyah, memaknai bencana sebagai tanda kekuasaan Allah. Dimensi siyasiyah terkait kebijakan tata kelola ruang dan mitigasi bencana. Edukasi ruhiyah dengan memahamkan ayat-ayat dan hadits terkait bencana akibat ulah manusia, merusak alam itu dosa dan membahayakan kehidupan, dll.

Negara dalam Islam akan melakukan mitigasi bencana secara serius dan komprehensif dalam rangka menjaga keselamatan jiwa rakyatnya. Sehingga saat bencana terjadi, pemerintah bertanggung jawab memberikan bantuan secara layak, pendampingan, hingga para penyitas mampu menjalani kehidupannya secara normal kembali pasca bencana. 

Negara akan menyusun cetak biru pembangunan wilayah secara komprehensif agar tertata dan tidak tumpang tindih sebagaimana kondisi hari ini. Kawasan permukiman, industri, lahan pertanian, hutan, dan daerah aliran sungai akan ditetapkan dengan jelas. Daerah bantaran sungai tidak boleh dijadikan permukiman dan warga yang tinggal di wilayah berisiko akan dipindahkan ke tempat yang layak dan aman.

Selain itu, Islam menumbuhkan ketakwaan individu sebagai fondasi moral dalam menjaga alam. Seorang mukmin akan berhati-hati agar tidak menebang pohon sembarangan, tidak membuang sampah ke sungai, dan tidak merusak habitat makhluk lain. Semua dilakukan karena ia sadar akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Yang terpenting, para pemimpin dalam sistem Islam bukanlah sosok yang haus pencitraan, melainkan orang-orang yang tangguh, amanah, dan benar-benar mengurusi keselamatan rakyatnya.

Sudah saatnya arah pembangunan dikembalikan pada paradigma Islam yang menempatkan alam sebagai bagian dari ibadah dan tanggung jawab di hadapan Allah. Hanya dengan cara itu, bumi akan kembali tenang, dan hujan menjadi rahmat, bukan ancaman.

Wallahualam bissawab.


Share this article via

0 Shares

0 Comment