| 29 Views

Beras Premium Oplosan, Kok Bisa?

Oleh : Endang Mustikasari

Beras adalah bahan pangan pokok rakyat Indonesia. Karenanya pangsa pasar beras beragam, maka komoditi ini menjadi perhatian para pengusaha beras.

Sayangnya, beras yang jadi komoditi pangan ini sekarang mulai dioplos. Artinya, beras dengan kualitas premium, di campur dengan beras kualitas biasa. Tentu saja ini menuai polemik dalam masyarakat.

Inspeksi mendadak yang dilakukan Menteri Pertanian Bapak Amran Sulaiman mengungkap adanya temuan 157 merk beras premium yang dijual dipasaran tidak sesuai dengan standar mutu yang berlaku. Hanya 26 merk yang memenuhi ketentuan. Alias dioplos. "Premium yang sesuai hanya 26 jadi bisa dibayangkan 80 persen, lebih hampir 90 persen tidak sesuai" ujarnya dalam konferensi Pers yang disiarkan secara daring melalui kanal YouTube Kementerian Pertanian, kamis 26 Juni 2025. Ditulis oleh Tempo, 26 Juni 2025.

Selain mutu, sidak dilakukan untuk mengecek efektifitas kebijakan Harga Eceran Tertinggi,untuk kategori premium dan medium, serta kesesuaian volume berat bersih dalam kemasan.Ternyata, ditemukannya kenaikan harga beras yang kian melambung tinggi, di tengah stok beras yang melimpah. Ini sungguh anomali. Dan permainan mafia pengusaha beras.

Oplosan beras diketahui setelah distribusi beras program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) mengungkapkan bahwa sekitar 20 hingga 40 persen beras SPHP dijual sesuai ketentuan. Lainnya dibongkar, dikemas ulang dengan kualitas premium dan medium.

Mengapa bisa terjadi seperti ini di tengah stok beras melimpah? Ditengah masyarakat yang mengalami efisiensi, harga beras kian mahal.

Tentu saja,yang pertama kecurangan ini  adalah bentuk lemahnya sistem pendidikan sekulerisme. Ketaqwaan individu dan keterikatannya dengan adanya Allah sebagai Dzat yang Maha melihat, tidak terbentuk. Praktik pengoplosan adalah bentuk kedholiman dan penipuan terhadap masyarakat secara luas.

Yang kedua, lemahnya kontrol masyarakat, hingga beras oplosan ini mencapai kerugian kurang lebih Rp 99 triliun setiap tahunnya. Kompas.com , Sabtu 12/7/2025.

Yang ketiga adalah lemahnya peran negara sebagai pembuat kebijakan dan sistem sanksi yang tidak menjerakan. Hingga bisa jadi, kecurangan-kecurangan di masa depan bisa terulang kembali. Negara juga tidak mengawasi sistem distribusi, regulasi bahan pangan pokok ini. Sehingga para korporasi memainkan harga, mengurangi timbangan dan menipu kualitasnya.

Saatnya kita tidak berdiam diri. Membiarkan setiap kedholiman yang terjadi, tapi bersuara agar kedholiman tidak lagi mendominasi rakyat.

Saatnya kita meninggalkan sistem sekulerisme dalam setiap lini kehidupan, agar terwujud kembali kehidupan Islam yang menurunkan berkah dari langit dan bumi.

Tak ada lagi oplosan - oplosan dalam sistem pemerintahan Islam. Tak ada lagi kecurangan dalam timbangan, ataupun mutu. Tak ada lagi pengusaha besar yang bermain curang. 

Pemerintahan dalam Islam, menunjuk Qadhi hisbah dan menindak secara langsung kecurangan pasar yang terjadi saat itu juga. Jadi tidak berlarut-larut.

Rindu kembali kepada kehidupan Islam dalam bingkai khilafah Islamiyyah ala minhaj nubuwwah.

Allahu a'lam bish showab.


Share this article via

22 Shares

0 Comment