| 80 Views
Aynal Muslimun : Mengapa Perdamaian Palestina-Israel Sulit Dicapai? Perspektif Islam dan Solusi Ideologis
Oleh : Risky Irawan
Pengamat Politik Internasional
Konflik Palestina-Israel adalah salah satu konflik paling kompleks dan berkepanjangan dalam sejarah modern. Berbagai upaya gencatan senjata dan perjanjian damai berulang kali gagal mengatasi akar masalah.
Konflik Palestina-Israel bermula dari ambisi Zionisme yang berusaha mendirikan negara Yahudi di tanah Palestina sejak akhir abad ke-19. Proyek ini mendapat dukungan besar dari kekuatan kolonial, terutama Inggris, yang mengeluarkan Deklarasi Balfour pada tahun 1917. Tujuan Zionisme adalah menjadikan Palestina sebagai pusat negara Yahudi dengan memanfaatkan kelemahan dunia Islam pasca runtuhnya Kekhilafahan Utsmaniyah.
Salah satu peristiwa penting yang menandai ambisi Yahudi terhadap Palestina adalah tawaran mereka kepada Sultan Abdul Hamid II untuk membeli tanah Palestina. Dalam catatan sejarah, Theodor Herzl, tokoh Zionisme, menawarkan sejumlah besar uang kepada Sultan untuk membeli Palestina, yang ditolak tegas oleh Sultan dengan mengatakan, "Palestina bukan milik saya, tetapi milik umat Islam." Penolakan ini menunjukkan bahwa Palestina memiliki kedudukan khusus dalam akidah Islam sebagai tanah waqaf.
Namun, pada tahun 1948, setelah Perang Dunia II, Israel secara sepihak mendeklarasikan diri sebagai negara di atas tanah Palestina, menyebabkan pengusiran besar-besaran rakyat Palestina (Nakba). Sejak itu, konflik ini tidak pernah benar-benar selesai meski berbagai perjanjian damai telah dilakukan. Artikel ini berargumen bahwa tanpa persatuan umat Islam, perdamaian sejati di Palestina tidak akan tercapai.
Akar Masalah Konflik Palestina-Israel
1. Proyek Zionisme dan Pendudukan Palestina
Sejak berdirinya negara Israel pada tahun 1948, pendudukan atas tanah Palestina telah menjadi inti dari konflik ini. Gerakan Zionisme yang dimulai pada akhir abad ke-19 bertujuan mendirikan negara Yahudi di Palestina dengan mengabaikan keberadaan masyarakat asli Palestina. Proyek ini semakin nyata dengan Deklarasi Balfour 1917, yang memberi dukungan resmi Inggris kepada gerakan Zionis untuk menjadikan Palestina sebagai rumah nasional bagi bangsa Yahudi.
Pemukiman Ilegal:
Menurut laporan United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA), terdapat lebih dari 700.000 pemukim Yahudi ilegal di Tepi Barat dan Yerusalem Timur per 2024. Pemukiman ini melanggar hukum internasional, termasuk Konvensi Jenewa Keempat.
Ekspansi Pemukiman:
Israel terus memperluas wilayahnya melalui pembangunan pemukiman baru, merampas tanah Palestina, dan menciptakan fakta baru di lapangan. Data dari Peace Now menunjukkan bahwa pembangunan pemukiman meningkat 62% pada tahun 2023 dibandingkan tahun sebelumnya.
Pengusiran Paksa:
Puluhan ribu warga Palestina telah dipaksa meninggalkan rumah mereka sejak 1948. Di tahun 2023 saja, lebih dari 1.000 keluarga Palestina di Tepi Barat menjadi korban pengusiran paksa, menurut laporan OCHA.
Israel secara konsisten melancarkan operasi militer besar-besaran ke Gaza, dengan dalih membela diri dari serangan roket. Namun, data menunjukkan bahwa sebagian besar korban adalah warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak:
- Serangan ke Gaza tahun 2021 menyebabkan lebih dari 1.900 korban jiwa, di mana 33% adalah anak-anak.
- Sejak tahun 2023, serangan udara Israel kembali menewaskan lebih dari 1.400 warga Palestina, dan menghancurkan lebih dari 10.000 rumah.
Penolakan Israel terhadap gencatan senjata menunjukkan bahwa negara ini tidak memiliki niat untuk menghentikan agresinya. Setiap gencatan senjata sering kali hanya digunakan sebagai jeda untuk mempersiapkan serangan berikutnya.
2. Kelemahan Dunia Islam
Dunia Islam yang seharusnya menjadi pelindung Palestina saat ini berada dalam kondisi terpecah dan lemah. Setelah runtuhnya Kekhilafahan Utsmaniyah pada tahun 1924, umat Islam terpecah menjadi lebih dari 50 negara yang berdiri dengan kepentingan nasional masing-masing. Fragmentasi ini dimanfaatkan oleh Israel dan sekutunya untuk mempertahankan status quo.
Normalisasi Hubungan:
Beberapa negara Muslim, seperti Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Maroko, menormalisasi hubungan dengan Israel melalui Perjanjian Abraham pada 2020. Langkah ini melemahkan solidaritas terhadap Palestina, memberikan legitimasi politik kepada Israel, dan memperkuat posisi diplomatiknya di kawasan.
Ketiadaan Dukungan Militer:
Negara-negara Muslim, meski memiliki anggaran militer yang besar, gagal memberikan perlindungan nyata bagi Palestina. Contohnya, anggaran militer Arab Saudi pada tahun 2023 mencapai $75 miliar (ketiga terbesar di dunia), namun tidak ada langkah nyata untuk melindungi Palestina.
Kelemahan dunia Islam juga terlihat dari ketergantungan negara-negara Muslim pada kekuatan Barat, yang sering kali memengaruhi kebijakan mereka terhadap Palestina.
3. Sistem Kapitalisme dan Dukungan Barat terhadap Israel
Eksistensi Israel tidak terlepas dari dukungan kuat negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, yang menjadikan Israel sebagai mitra strategisnya di Timur Tengah. Dukungan ini diberikan baik dalam bentuk politik, ekonomi, maupun militer.
Bantuan Militer AS:
Amerika Serikat memberikan bantuan militer tahunan sebesar $3,8 miliar kepada Israel melalui Memorandum of Understanding (MoU) yang berlaku hingga 2028. Ini menjadikan Israel sebagai penerima bantuan militer terbesar AS.
Pengaruh Lobi Zionis:
Lobi pro-Israel, seperti AIPAC (American Israel Public Affairs Committee), memainkan peran besar dalam memastikan dukungan politik AS untuk Israel. Kongres AS hampir selalu mendukung kebijakan pro-Israel, terlepas dari pelanggaran HAM yang dilakukan Israel.
Imunitas Diplomatik:
Israel secara rutin terhindar dari sanksi internasional berkat dukungan veto AS di Dewan Keamanan PBB. Sejak 1972, AS telah menggunakan veto sebanyak lebih dari 50 kali untuk melindungi Israel dari resolusi yang mengecamnya.
Sistem kapitalisme global yang mendominasi hubungan internasional memberikan ruang bagi Israel untuk terus melakukan ekspansi wilayah tanpa takut akan konsekuensi hukum.
Perspektif Islam terhadap Konflik Palestina-Israel: Analisis Data dan Fakta
1. Palestina sebagai Tanah Waqaf
Palestina, khususnya Al-Quds, memiliki kedudukan khusus dalam Islam. Al-Quds adalah tempat Masjid Al-Aqsa, kiblat pertama umat Islam dan salah satu dari tiga masjid yang disucikan. Rasulullah SAW bersabda:
"Janganlah kalian bersusah payah bepergian kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidku (Masjid Nabawi), dan Masjid Al-Aqsa." (HR. Bukhari).
Sebagai tanah waqaf, Palestina adalah amanah umat Islam yang tidak boleh diserahkan kepada musuh. Amanah ini ditegaskan oleh para pemimpin Islam sepanjang sejarah, termasuk Khalifah Umar bin Khattab yang menerima penyerahan Al-Quds secara damai pada tahun 638 M, dengan jaminan keadilan bagi semua penduduknya.
Data Terkini tentang Al-Quds:
- Menurut laporan United Nations Relief and Works Agency (UNRWA), lebih dari 350.000 warga Palestina tinggal di Yerusalem Timur, yang terus menghadapi ancaman pengusiran dan pendudukan Israel.
- Israel mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota negaranya sejak 1980, meskipun Resolusi PBB 478 menyatakan langkah ini ilegal. Pendudukan atas Al-Quds dianggap sebagai simbol penghinaan terhadap umat Islam di seluruh dunia.
2. Larangan Berdamai dengan Penjajah
Islam melarang umatnya berdamai dengan penjajah yang terus melakukan agresi. Al-Qur'an memerintahkan umat Islam untuk melawan hingga tidak ada lagi fitnah (penindasan) dan agama hanya untuk Allah. Firman Allah SWT:
"Dan perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya untuk Allah." (QS. Al-Baqarah: 193).
Kompromi dan Perjanjian Damai yang Gagal:
- Perjanjian Oslo (1993): Perjanjian ini menjanjikan Palestina otonomi terbatas di Tepi Barat dan Gaza. Namun, Israel terus membangun pemukiman ilegal dan memperketat blokade Gaza, yang bertentangan dengan semangat perjanjian.
- Perjanjian Abraham (2020): Normalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Muslim seperti UEA dan Bahrain tidak membawa manfaat bagi Palestina, tetapi justru memperkuat posisi Israel secara politik dan ekonomi.
Israel menggunakan perjanjian damai sebagai alat untuk memperluas wilayahnya dan menguatkan kendali atas Palestina. Fakta ini membuktikan bahwa kompromi dengan penjajah hanya memperpanjang penderitaan rakyat Palestina.
3. Khilafah sebagai Solusi
Solusi utama konflik Palestina adalah kembalinya Khilafah Islamiyah. Khilafah bukan hanya sistem politik, tetapi juga perwujudan persatuan umat Islam di bawah satu kepemimpinan yang mematuhi syariat Islam.
Kekuatan Khilafah dalam Sejarah:
- Pembebasan Al-Quds oleh Umar bin Khattab (638 M): Ketika Al-Quds dibebaskan dari kekuasaan Bizantium, umat Islam memberikan perlindungan penuh kepada penduduknya, termasuk non-Muslim.
- Pembebasan Al-Quds oleh Shalahuddin Al-Ayyubi (1187 M): Shalahuddin memimpin umat Islam dalam Perang Salib untuk membebaskan Al-Quds. Kemenangan ini hanya mungkin terjadi setelah umat Islam bersatu di bawah kepemimpinan yang kuat.
Relevansi Khilafah di Era Modern:
- Potensi Ekonomi: Dunia Islam memiliki lebih dari 50% cadangan minyak global, yang dapat digunakan sebagai alat tekanan politik terhadap negara-negara pendukung Israel.
- Kekuatan Militer: Dengan populasi lebih dari 1,9 miliar, umat Islam memiliki potensi militer yang besar jika disatukan di bawah satu kepemimpinan.
Mengapa Persatuan Umat Muslim Menjadi Kunci?
-
Kekuatan Militer yang Terorganisir
Sejarah menunjukkan bahwa hanya kekuatan militer yang bersatu mampu membebaskan Palestina. Contoh terbaik adalah pembebasan Al-Quds oleh Shalahuddin Al-Ayyubi. Dalam konteks modern, kekuatan ini dapat diwujudkan melalui konsolidasi angkatan bersenjata dari negara-negara Muslim. -
Mengakhiri Hegemoni Barat
Persatuan umat Islam akan mengakhiri ketergantungan pada kekuatan Barat yang selama ini menjadi pendukung utama Israel. Dalam sistem kapitalisme global, Israel mendapat perlindungan dari negara-negara seperti Amerika Serikat, yang menggunakan veto di Dewan Keamanan PBB untuk melindungi Israel dari resolusi internasional.Data Dukungan Barat terhadap Israel:
- Sejak 1948, AS telah memberikan bantuan lebih dari $150 miliar kepada Israel, menjadikannya penerima bantuan terbesar dalam sejarah AS.
- Uni Eropa juga merupakan mitra dagang terbesar Israel, dengan nilai perdagangan mencapai €36 miliar pada 2022.
-
Menegakkan Keadilan Sejati
Persatuan umat Islam tidak hanya akan memungkinkan pembebasan Palestina secara total, tetapi juga memastikan pengembalian hak-hak rakyat Palestina, termasuk:- Kembali ke tanah air bagi lebih dari 5 juta pengungsi Palestina, sebagaimana diatur dalam Resolusi PBB 194.
- Penghentian blokade terhadap Gaza, yang telah menyebabkan lebih dari 2 juta warga Palestina hidup dalam kondisi yang tidak manusiawi.
Palestina bukan hanya tanah sengketa, tetapi amanah umat Islam. Dari perspektif Islam, konflik Palestina-Israel adalah ujian bagi persatuan dan kekuatan umat. Larangan kompromi dengan penjajah, tanggung jawab atas tanah waqaf, dan kewajiban mendirikan Khilafah adalah inti dari solusi Islam untuk menyelesaikan konflik ini.
Sebagaimana firman Allah SWT:
"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi." (QS. An-Nur: 55)
Persatuan umat Islam bukan hanya harapan, tetapi keharusan untuk menghentikan penjajahan Israel dan mengembalikan kehormatan umat. Hanya dengan langkah ini, keadilan sejati dapat ditegakkan di Palestina, dan Al-Quds kembali ke pangkuan umat Islam.
Konflik Palestina-Israel tidak akan pernah selesai selama akar masalahnya tidak disentuh. Pendudukan ilegal, kelemahan dunia Islam, dan dukungan besar Barat terhadap Israel adalah tiga faktor utama yang membuat perdamaian sejati sulit tercapai. Dari perspektif Islam, solusi sejati terletak pada persatuan umat Muslim di bawah satu kepemimpinan politik, yaitu Khilafah Islamiyah. Dengan persatuan ini, umat Islam dapat menghentikan agresi Israel, membebaskan Palestina, dan mengembalikan keadilan di tanah suci Al-Quds.
Firman Allah SWT:
"Dan perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya untuk Allah." (QS. Al-Baqarah: 193)
Hanya dengan persatuan umat, Palestina dapat dibebaskan, dan kehormatan umat Islam dapat dikembalikan.