| 654 Views

Anak-Anak Terluka: Jeritan Bisu di Tengah Sistem Sekuler

Oleh : Shabrina Nibrasalhuda
Mahasiswi

Prevalensi kekerasan terhadap anak masih tinggi, dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) melaporkan 16.854 kasus kekerasan terhadap anak pada tahun 2023. Kasus-kasus ini sering kali melibatkan berbagai jenis kekerasan, dengan total 20.205 insiden yang dilaporkan di Indonesia.

Berbagai bentuk kekerasan tersebut tidak hanya mencakup kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan seksual, penelantaran, perdagangan orang, dan eksploitasi. Jenis kekerasan yang paling umum terjadi di Indonesia pada tahun 2023 adalah kekerasan seksual, dengan 8.838 insiden yang dilaporkan. Kekerasan fisik terhadap anak tercatat sebanyak 4.025 kasus, dan kekerasan psikologis sebanyak 3.800 kasus. Selain itu, terdapat 955 kasus perdagangan anak dan 226 kasus eksploitasi.

Kasus kekerasan terhadap anak yang melibatkan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Indonesia tercatat sebanyak 195 kasus, sementara 2.166 kasus kekerasan lainnya dilaporkan sepanjang tahun lalu.

Menurut KPAI, ada tujuh alasan yang menyebabkan maraknya kekerasan pada anak, termasuk budaya patriarki, penelantaran anak, gaya pengasuhan yang tidak tepat, rendahnya kontrol terhadap anak, memandang anak sebagai aset orang tua, kurangnya kesadaran untuk melaporkan kekerasan pada anak, pengaruh media, dan menjamurnya pornografi, serta pendisiplinan yang serupa dengan kekerasan.

Di luar ketujuh alasan yang dikemukakan oleh KPAI, faktor yang paling signifikan berkontribusi terhadap kekerasan terhadap anak adalah sistem sekuler yang saat ini diterapkan. Paradigma sekuler yang tidak menjadikan Islam sebagai standar dan landasan pendidikan menyebabkan anak-anak tumbuh dengan kepribadian yang jauh dari rasa takut kepada Allah. Korelasi antara sekularisme dengan faktor-faktor yang disebutkan oleh KPAI dapat dilihat dari beberapa hal berikut:

Pertama, budaya patriarki berkontribusi terhadap kekerasan terhadap anak. Budaya ini memandang bahwa perempuan (ibu) bertanggung jawab untuk mengurus dan membesarkan anak, sementara peran laki-laki (ayah) hanya sebatas memberikan dukungan finansial. Hal ini menyebabkan para ayah kurang terlibat dalam pengasuhan anak, yang dapat dikaitkan dengan erosi sistem sekuler terhadap ajaran Islam tentang peran ayah dan ibu dalam mengasuh dan mendidik anak. Dalam sistem Islam, budaya patriarki tidak ada. Sebaliknya, kedua orang tua memainkan peran yang saling melengkapi dalam mendidik dan membesarkan anak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Kedua, penelantaran anak, gaya pengasuhan yang tidak tepat, kontrol yang rendah terhadap anak, dan menurunnya nilai-nilai moral, semuanya terkait dengan paradigma sekuler. Masalah-masalah ini muncul dari kegagalan orang tua untuk memahami tanggung jawab mereka dalam membesarkan anak dan kurangnya bimbingan dari sistem sekuler. Ketika keluarga tidak mengikuti ajaran Islam, seperti menanamkan keimanan kepada Allah sejak usia dini, anak-anak dapat kehilangan rasa identitas mereka sebagai hamba Allah. Hal ini dapat menyebabkan sikap permisif dan risiko yang lebih tinggi untuk terlibat dalam perilaku tidak bermoral.

Survei Media dan Agama Nasional yang dilakukan oleh UIN Jakarta menemukan bahwa generasi milenial dan Gen Z memiliki tingkat ketaatan beragama yang paling rendah. Rendahnya tingkat religiusitas ini terkait erat dengan tingkat pemahaman agama. Sistem sekuler semakin merasuk ke dalam kehidupan generasi ini, yang menyebabkan penurunan ketaatan beragama.

Ketiga, media dan penyebaran pornografi merupakan faktor yang signifikan dalam mencegah kekerasan terhadap anak. Pemerintah harus mengatur dan mengawasi konten, siaran, penayangan, dan produksi film yang mempromosikan pornografi atau kekerasan. Namun, sistem sekuler telah memungkinkan produksi dan distribusi konten semacam itu tanpa pengawasan yang tepat. Konten dan tayangan tersebut telah menjadi bentuk hiburan yang menyimpang dari nilai-nilai Islam.

Keempat, sistem hukum, dengan peraturan seperti Undang-Undang Perlindungan Anak, belum efektif dalam mengurangi jumlah kasus kekerasan terhadap anak yang terus meningkat. Program-program perlindungan dan pendidikan anak, meskipun bertujuan baik, tidak akan efektif jika sistem sekuler tetap dominan. Sistem sekuler melemahkan peran agama dalam pendidikan, membuat konsep ketaatan kepada Tuhan dan nilai-nilai moral menjadi kurang menonjol, dan mengurangi peran negara dalam melindungi anak-anak dari berbagai bentuk bahaya.

Dalam sistem Islam, kejadian seperti itu tidak akan terjadi karena negara memainkan peran penting dalam melindungi warga negaranya, termasuk anak-anak, dari segala bentuk bahaya, baik fisik maupun non-fisik. Negara berfungsi sebagai penjaga dan pemelihara, memastikan keamanan dan kesejahteraan rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah raa’in (penggembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya” (HR. Bukhari). “Sesungguhnya Al-Imam (khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud).

Anak adalah aset berharga bagi suatu bangsa, mewakili generasi masa depan yang akan membangun peradaban manusia. Kualitas peradaban masa depan ini bergantung pada kualitas sumber daya manusia yang dihasilkannya. Jika generasi penerus bangsa menjadi pelaku atau korban kekerasan, peradaban seperti apa yang akan kita bangun di masa depan? Oleh karena itu, Islam sangat mementingkan pembinaan generasi yang cerdas dan berkualitas, baik secara akademis, emosional, maupun spiritual.

Perlindungan dalam Islam mencakup aspek fisik, psikologis, intelektual, moral, ekonomi, dan aspek-aspek lainnya. Hal ini diekspresikan melalui pemenuhan hak-hak mereka, memastikan kebutuhan mereka, menjaga reputasi mereka, menjaga kesehatan mereka, memilihkan teman yang baik, dan melindungi mereka dari pelecehan, dan lain-lain.

Dalam Islam, ada tiga pihak yang bertanggung jawab untuk melindungi dan memastikan kesejahteraan anak: keluarga, masyarakat, dan negara. Keluarga, sebagai pendidik dan pengasuh utama, harus bekerja sama untuk mendidik, merawat, memenuhi kebutuhan, dan melindungi anak-anak, dengan dasar keimanan dan ketaatan kepada Allah. Masyarakat berperan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Masyarakat bertanggung jawab untuk mengontrol dan membimbing anak-anak dari perilaku amoral, dan mempromosikan budaya amar makruf (memerintahkan kebaikan) dan nahi mungkar (melarang kejahatan). Negara, sebagai pemain kunci, harus menyediakan pendidikan, layanan sosial, dan keamanan untuk memastikan kesejahteraan setiap anak.

Wallahu’alam bissawab
Sumber:
https://dataindonesia.id/varia/detail/data-jumlah-kekerasan-terhadap-anak-di-indonesia-menurut-jenisnya-pada-2023 
https://www.kemenpppa.go.id/ 
https://www.kpai.go.id/


Share this article via

161 Shares

0 Comment