| 59 Views

Alasan di Balik Keputusan Arab Saudi Izinkan Penjualan Alkohol: Perang Melawan Penyelundupan Miras?

CendekiaPos - Arab Saudi baru-baru ini memberikan izin untuk penjualan alkohol setelah 72 tahun melarangnya. Keputusan ini mengejutkan banyak pihak, terutama mengingat larangan yang kuat terhadap alkohol dalam Islam dan budaya konservatif di Arab Saudi. Toko alkohol pertama yang dibuka di Riyadh, ibu kota Arab Saudi, menjadi pusat perhatian, khususnya karena sering dikunjungi oleh diplomat beragama non-Muslim.

Keputusan ini diungkapkan memiliki alasan yang menarik. Arab Saudi diketahui memiliki sejarah ketat dalam melarang alkohol sejak 1952, setelah seorang pangeran Saudi kabarnya membunuh seorang diplomat Inggris saat sedang mabuk. Alkohol juga dilarang dalam Islam, dan mayoritas masyarakat Saudi sangat taat beragama.

Meskipun alkohol dilarang, situasi ini tidak menghentikan peredaran miras ilegal di negara tersebut. Alkohol masih dapat ditemukan di pasar gelap dan didatangkan oleh beberapa kantor kedutaan asing yang menjalin kesepakatan khusus dengan pemerintah, atau bahkan menyelundupkannya lewat 'kantong diplomatik.'

Pasar gelap alkohol di Arab Saudi telah menjadi perhatian, dengan selisih harga yang signifikan. Alkohol yang dijual di pasar gelap bisa memiliki harga empat hingga sepuluh kali lipat dari harga normal. Ini memicu reaksi negatif dari beberapa pihak, termasuk investor anonim yang menyatakan bahwa pemerintah harus mengatasi situasi ini.

Dalam usahanya mengatasi peredaran miras ilegal, Arab Saudi memperkenalkan sistem baru menggunakan aplikasi bernama Diplo. Pembelian alkohol sekarang memerlukan persetujuan dari Kementerian Luar Negeri dan dibatasi dengan kuota bulanan. Sistem ini bertujuan untuk mengontrol dan memantau peredaran alkohol, terutama yang berasal dari misi diplomatik dan kemungkinan penyelundupan ke pasar gelap.

Pemerintah Arab Saudi menegaskan bahwa peraturan kuota alkohol untuk misi diplomatik diberlakukan untuk "melawan perdagangan gelap barang-barang beralkohol." Meskipun begitu, kebijakan ini tetap menjadi topik kontroversial di tengah perubahan budaya yang terjadi di negara tersebut.


Share this article via

52 Shares

0 Comment