| 22 Views
Aksi Demo, Akankah Membawa Perubahan Hakiki?

Oleh : Ummu Abiyu
Rangkaian aksi demonstrasi sepanjang Agustus 2025 tidak bisa dipisahkan dari kebijakan-kebijakan yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat. Para buruh, misalnya, mereka merasakan kebijakan yang ada tidak berpihak kepada mereka. Dalam unjuk rasa yang digelar pada Kamis (28-8-2025) mereka mengajukan enam tuntutan, yaitu (1) Mendesak pemerintah untuk menaikkan upah minimum 2026 sebesar 8,5%—10,5%. (2) Menyetop pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan membentuk Satgas PHK. (3) Reformasi pajak, yaitu mendorong pemerintah untuk menaikkan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) Rp4,5 juta rupiah per bulan menjadi Rp7,5 juta rupiah per bulan, menghapus pajak pesangon, menghapus pajak THR, dan menghapus pajak JHT, serta menolak adanya diskriminasi pajak wanita yang sudah menikah. (4) Sahkan rancangan undang-undang ketenagakerjaan yang baru. (5) Meminta pemerintah memberantas korupsi dengan mengesahkan RUU Perampasan Aset. (6) Merevisi Undang-Undang Pemilu sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Kekesalan masyarakat juga dipicu oleh perilaku sejumlah anggota DPR yang menari-nari setelah penetapan kenaikan tunjangan, sedangkan rakyat dalam kondisi susah mencari makan, susah mendapatkan pekerjaan, dan harus membayar pajak yang naik berkali lipat. Pernyataan kontroversial beberapa anggota DPR yang tidak simpatik atas berbagai persoalan yang dikeluhkan publik juga menambah luka hati rakyat.
Kebijakan-kebijakan yang disahkan DPR sebelumnya pun lebih pro pengusaha daripada pro rakyat.
Demo yang digelar bukan hanya oleh Mahasiswa tapi juga buruh, pegawai, ojol, para guru, bahkan para pelajar dan para emak tumpah ruah turun ke jalan, semata-mata meminta keadilan atas kezaliman dan ketimpangan sosial dengan segenap kebijakan yang jelas menghimpit rakyat.
Namun dibalik Demo damai yang diselenggarakan oleh berbagai elemen masyarakat, ternyata ini juga dimanfaatkan oleh para oknum dan elit politik yang juga turut menunggangi demo dengan memasukkan para penyusup hingga membuat gaduh dan ricuh. Alhasil, demo yang sudah dirancang dengan damai akhirnya menjadi anarkis. Seolah yang membuat kegaduhan ini adalah para pendemo. Padahal para oknum yang berkepentingan.
Pembakaran gedung DPR dan fasilitas umum, hingga penjarahan rumah-rumah anggota dewan yang sudah ditarget membuat kondisi makin memanas. Hal ini disinyalir ditunggangi oleh para elit politik yang memiliki kepentingan.
Bagaimana Indonesia tidak semakin gelap, jika para elit politik diatas saling sikut, saling serang dan baku hantam demi menduduki posisi hingga menghalalkan segala cara.
Benar benar jabatan dijadikan mereka sebagai alat untuk memperkaya diri, tak ada lagi yang namanya keperdulian terhadap sesama, nurani mereka juga sudah mati dan mereka lupa bahwa tugas mereka sebagai seorang yang mengemban amanah rakyat adalah mensejahterakan rakyat dan ketika itu tidak mereka lakukan, maka bersiap siaplah untuk mempertanggung jawab kan nya diakhirat kelak.
Kezaliman demokrasi tampak dari konsep dasarnya, yaitu kedaulatan di tangan rakyat. Suara rakyat dianggap sebagai sumber hukum yang paling pokok dan paling tinggi. Berdasarkan prinsip ini, benar dan salah ditentukan oleh suara rakyat. Di atas prinsip kedaulatan rakyat ini, dibangun sistem pemilu untuk memilih wakil rakyat dan pembagian kekuasaan yang dikenal dengan trias politika.
Demikianlah imbas dari Sistem sekularisme yang menjauhkan Agama dari kehidupan, dan inilah gambaran nyata manusia manusia yang terlahir dari sistem tersebut, zholim dan tak ingat Allah..
Lain halnya dengan sistem Islam. Asas bernegara dalam sistem Islam yakni akidah Islam, dan aturannya berasal dari syariat Allah bukan lahir dari akal manusia. Dalam Islam, jabatan adalah amanah yang Allah berikan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam surah an-Nisa ayat 58 yang artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menetapkan hukum di antara manusia dengan adil.” Ayat di atas menjelaskan bahwa setiap wakil rakyat setiap sesungguhnya telah mengemban amanah bukan sekadar mengisi kursi dan jabatan atau fasilitas.
Tak hanya itu, para pejabat juga memilik keimanan yang kuat. Keimanan berfungsi sebagai benteng moral yang menjaga pejabat dari penyalahgunaan jabatan, mereka menyadari, setiap jabatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, termasuk amanah sebagai anggota DPR. Jabatan tidak akan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau memperkaya diri sendiri.
Keimanan akan menjadi penjaga untuk selalu terikat kepada aturan syariat. Rasulullah bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpinnya” (HR Bukhari dan Muslim).
Bayangan hisab inilah yang membuat para pemimpin Muslim terdahulu hidup sederhana meski memiliki kekuasaan besar. Kekuasaan adalah amanah, aturan ditetapkan berdasarkan syariat dan orientasi politik diarahkan untuk pelayanan umat dan perhitungan akhirat. Selama perhitungan akhirat itu melekat maka jabatan tidak akan lagi menjadi tujuan kemewahan.
Dalam Islam, setiap Muslim wajib memiliki kepribadian Islam, khususnya wakil umat dengan semangat fastabiqul khairat harus menjalankan amanah sebagai wakil umat. Dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberikan petunjuk-petunjuk yang jelas tentang sifat-sifat yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin.
Pemimpin harus bersikap adil dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu baik terhadap kelompok mayoritas maupun minoritas, kebijaksanaan adalah ciri utama seorang pemimpin yang diinginkan Allah. Semoga para pemimpin kita diberi hidayah untuk adil, amanah, dan takut kepada Allah, karena sesungguhnya di akhirat tidak ada jabatan tanpa pertanggungjawaban.