| 23 Views
19 Persen yang Menukar Kedaulatan

Oleh: Ainul Mizan
Peneliti LANSKAP
Babak baru hubungan ekonomi Indonesia-AS telah dimulai. Ternyata efektif cara Trump yang menaikkan tarif impor imbas dari perang dagangnya dengan China. Indonesia terkena kenaikan tarif impor hingga 32 persen. Trump ingin memberikan 'pelajaran berharga' terhadap beberapa negara yang ikut atau sekedar simpatisan dari BRICS. Sedangkan BRICD sendiri merupakan gerakan untuk memulai dedolarisasi dunia.
Setelah terjadi negosiasi, disepakatilah tarif impor Indonesia sebesar 19 persen (16/7). Hanya saja penurunan tarif impor ini disertai dengan 4 syarat di antaranya adalah Indonesia harus membeli 50 pesawat Boeing 777 dari AS. Yang lain berupa Indonesia harus membeli energi dari AS senilai 15 milyar US dollar, produk pertanian AS senilai 4,5 milyar US dollar dan bebas tarif untuk semua produk AS yang masuk Indonesia.
Tentunya jika kita mencermati hasil kesepakatan Indonesia-AS ini sangatlah tidak seimbang. Bahkan Indonesia tentunya buntung dalam hal ini. Tidak bisa dikatakan bila AS sebagai adidaya punya kewenangan lebih. Jika alasan sebagai adidaya, artinya bahwa AS sedang memainkan manuver penjajahannya kepada Indonesia.
Trump sendiri sangat bangga setelah deal dengan Indonesia. Bahkan ia menyebut Indonesia sebagai good product. Trump telah berhasil menghilangkan hambatan dalam mencari pasar dagangnya terutama di Indonesia.
Menurut Prabowo, Garuda membutuhkan tambahan armada pesawat baru. Dengan kata lain, kebetulan AS menawarkan 50 Boeing 777 agar dibeli Indonesia. Padahal harga 1 unit pesawat Boeing 777 bisa berkisar Rp 6 trilyun. Sementara itu kondisi Garuda sendiri di tahun 2024 masih rugi bersih sebesar Rp 1,13 trilyun. Jika dikalkulasi biaya yang harus dikeluarkan Indonesia untuk membeli 50 Boeing AS adalah 50 unit dikali Rp 6 trilyun hasilnya sebesar Rp 300 trilyun. Lantas, apakah Indonesia harus menambah utang lagi? Sedangkan posisi utang Indonesia pada 15 Mei 2025 adalah Rp 7.144,6 trilyun.
Belum lagi track record Boeing yang kurang bagus. Pada 20 Februari 2021, Boeing Co.Ltd telah menghentikan sementara penggunaan Boeing 777 menyusul kecelakaan Boeing 777-200 milik United Airlines di Bandara Internasional Denver, AS.
Pada 2020, Japan Airlines juga menghentikan penggunaan Boeing 777 setelah terjadi insiden. Diketahui bahwa Boeing 777 milik kedua maskapai tersebut termasuk yang tertua.
Berikutnya insiden yang melibatkan Boeing 777 di antaranya di Bangkok tahun 2024. Boeing 777-300 ER milik Malaysia Airlines mengalami pendaratan darurat. Lalu di tahun 2013 terjadi insiden kebakaran hebat Boeing 777-200 ER di San Fransisco. Tahun 2014, terjadi kecelakaan maut Boeing 777 dengan kode MH-17 di Ukraina. Ini beberapa data track record Boeing. Dengan kata lain, AS sedang mencari pasar untuk penjualan Boeingnya yang sudah berusia tua.
AS mensyaratkan Indonesia beli energi dari AS. Padahal cadangan minyak bumi Indonesia sebesar 2,2 trilyun barrel di tahun 2023. Gas buminya sebesar 41,62 trilyun kaki kubik. Artinya Indonesia hanya penghasil minyak mentah. Selebihnya Indonesia harus impor minyak olah dari negara lain seperti Singapura, termasuk AS.
AS juga mensyaratkan Indonesia harus membeli pertaniannya. Memang Indonesia masih mengimpor kedelai dari AS. Disebutkan bahwa produksi kedelai dalam negeri hanya mengkover 25 persen kebutuhan kedelai. Apalagi ada program MBG, konsumsi kedelai meningkat menjadi 2,75 juta metrik ton. Tentunya tidak mengherankan bila setiap tahun neraca perdagangan kedelai defisit hingga 2,5 juta ton per tahun.
Selain buntung dari sisi ekonomi, kesepakatan AS-Indonesia hanya akan memukul perekonomian nasional. Pasar domestik akan dibanjiri produk impor. Lebih jauh lagi, AS bisa menekan secara politik kepada Indonesia. Hanya demi tarif 19 persen, Indonesia tega membelinya dengan kedaulatan. Ini membuktikan sebenarnya Indonesia keok dalam lobi internasional, lebih-lebih harus dipaksa masuk dalam pasar bebas.
AS dalam setiap negosiasinya selalu berpatokan pada kepentingan nasionalnya. Tidak peduli bila hal itu merugikan negeri lainnya. Oleh karena kaum muslimin mestinya mempunyai kaidah baku dalam pergaulan internasional.
Kaidah baku yang harus dipegang kaum muslimin adalah "Tidak bahaya dan membahayakan dalam Islam". Tentunya dengan kaidah tersebut harusnya penguasa muslim melakukan pertimbangan dalam setiap perundingan dan kesepakatan internasional.
Kepentingan kaum muslimin harus diutamakan. Bila kesepakatan internasional itu membahayakan negeri Islam, maka harus segera ditinggalkan. Dalam hal ini kesepakatan tarif Indonesia-AS harusnya ditinggalkan dan tidak disepakati karena mengandung bahaya bagi negeri Islam Indonesia.
Apatah lagi AS yang notabenenya adalah negara penjajah. Di samping itu, AS adalah pelindung Zionis Israel. Dengan kata lain bahwa AS termasuk negara yang telah memerangi kaum muslimin atau disebut Darul Harbi Fiklan. Jadi sangat berbahaya bila melakukan hubungan bilateral dan diplomatik dengannya. Pola pikir negara penjajah bukankah untuk menjajah?
Selanjutnya Indonesia sebagai negeri muslim terbesar ini harus mempunyai pola pikir dan kebijakan menuju kemandirian. Kaya dengan SDA membutuhkan tata kelola yang baku dan berasaskan kemandirian.
Oleh karenanya guna menunjang kemandirian politik, ekonomi dan lebih-lebih ideologis, maka Indonesia harus berani bilang tidak terhadap setiap kesepakatan yang merugikan dirinya. Indonesia sudah saatnya mewujudkan revolusi industri guna menghasilkan peralatan berat yang dibutuhkannya sebagai pengolah SDAnya sendiri dan penjaga kedaulatannya terutama alutsista militer.
Kemandirian politik, ekonomi dan ideologis akan bisa diwujudkan dengan Khilafah Islamiyyah. Khilafah menghimpun potensi dunia Islam dan memberdayakannya bagi kepentingan rakyatnya. Dengan Islam yang diterapkannya, Khilafah akan mampu menjawab 'tidak' pada semua negosiasi yang membahayakan.