| 3 Views

Skandal BBM Oplosan Dalam Lingkaran Mafia Migas

Oleh : Ummu Fahri

Akhir Februari 2025, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh kabar mengejutkan, terkait isu bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax diduga dioplos dengan Pertalite. Isu ini muncul setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap dugaan yang melibatkan PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam periode 2018–2023. Dalam liputan Kompas, penyelidikan menemukan indikasi bahwa Pertalite (RON 90) dicampur dengan Pertamax (RON 92) di depo atau tempat penyimpanan BBM, yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp193,7 triliun pada tahun 2023.

Bila di total secara keseluruhan nominal kerugian dari perspektif negara dari tahun 2018 sampai 2023 mencapai skala hampir Rp 1.000 triliun alias 1 kuadriliun. Bagaimana dari sisi rakyat yang selama bertahun-tahun tertipu?  Langsung saja, hasilnya mencapai Rp 47 miliar per hari atau Rp 17,4 triliun selama satu tahun praktik pengoplosan (tempo.co, 28-2-2025). Wajar bila membayangkannya saja, sudah cukup membuat publik geram bin gemas. Berapa banyak kebutuhan lain bisa terpenuhi dengan jumlah sebesar itu.

Terkait kecurangan yang dilakukan para oknum secara berjamaah di atas, tentu bukan hal yang begitu saja terjadi. Seperti kata pepatah, tiada asap tanpa api, tiada musabab tanpa sebab. Dengan gaji oknum pejabat di atas yang rata-rata sebesar 1,8 miliar/bulan, niscaya alasannya tak sekedar demi memperkaya diri dan keluarga. Bukankah sejak lama jadi rahasia umum bila BUMN juga merangkap jadi sapi perah oknum pejabat negeri khatulistiwa?

Dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina yang kini tengah diusut oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dinilai jadi indikasi buruknya pengelolaan sektor minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia. dalam satu dekade terakhir. Modus para tersangka adalah " mengondisikan" produksi minyak bumi dalam negeri menjadi berkurang dan tidak memenuhi nilai ekonomis, sehingga sangat di perlukan impor dan melakukan Mark up kontrak pengiriman minyak impor. Dua tersangka yang di tetapkan oleh Kejagung bertugas memblending pada produk kilang jenis RON 88( premium) dan RON 90( pertalite) agar dapat menghasilkan RON 92 ( Pertamax). Akibatnya, negara dan bahkan masyarakat mengalami kerugian.

GURITA MAFIA DALAM TUBUH PERTAMINA 

Kejagung sejauh ini telah menetapkan 9 tersangka dalam kasus korupsi minyak mentah Pertamina, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Abdul Qohar, menyebut sembilan tersangka itu terdiri dari enam pejabat Pertamina Patra Niaga dan tiga dari pihak swasta. Adapun dua tersangka baru yang di tetapkan Kejagung yakni Maya Kusmaya selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga, dan Edward Corne selaku VP trading produk Pertamina Patra Niaga.

Apa yang terjadi di Pertamina mencerminkan problem mendasar dalam pengelolaan BUMN strategis di Indonesia. Sebagai perusahaan negara yang menguasai sumber daya energi nasional, Pertamina seharusnya menjadi ujung tombak ketahanan energi dan kesejahteraan rakyat.

Namun, dalam kenyataannya, korporasi ini kerap menjadi ladang rente bagi segelintir elite ekonomi dan politik. Keterlibatan oknum pejabat dalam praktik korupsi menunjukkan bahwa ada mekanisme sistematis yang memungkinkan mafia migas beroperasi tanpa tersentuh selama bertahun-tahun. Ini adalah persoalan kelembagaan yang jauh lebih dalam dari sekadar skandal individu.

Pemberantasan mafia migas harus disertai reformasi struktural dalam tata kelola energi nasional. Seperti yang disampaikan banyak kalangan bahwa momentum ini seharusnya dimanfaatkan untuk mendorong Pertamina menjadi perusahaan kelas dunia, bukan sekadar membersihkan segelintir oknum.

Sebaliknya, BUMN migas di tanah air selama bertahun-tahun lebih mirip sebagai instrumen politik dari pada entitas bisnis profesional.

Campur tangan politik yang terlalu dalam, dari penunjukan direksi hingga kebijakan harga BBM, membuat perusahaan ini sulit berkembang secara optimal.

Mafia migas dimungkinkan untuk berakar kuat karena ada sistem yang membiarkannya bertahan. Maka, tanpa perubahan fundamental dalam tata kelola, skandal seperti ini berpotensi akan terus berulang meskipun pelakunya berganti-ganti.

Dalam konteks kepercayaan publik, dampak kasus ini sangat besar. Masyarakat bukan hanya merasa dirugikan secara finansial, tetapi juga mengalami erosi kepercayaan terhadap lembaga negara.

Isu pengoplosan BBM, meskipun hanya bagian kecil dari masalah utama, menjadi perhatian publik karena dampaknya langsung dirasakan oleh konsumen.

Harga BBM yang cenderung tinggi, kualitas bahan bakar yang dipertanyakan, serta layanan distribusi yang kerap bermasalah semakin memperburuk citra BUMN migas di mata rakyat.

Dalam manajemen krisis, salah satu elemen penting adalah transparansi dan akuntabilitas. Pemerintah memang harus menunjukkan komitmen konkret untuk melakukan perubahan.

Jika hanya sekadar menindak beberapa orang tanpa mengubah sistem, maka ini berpotensi hanya akan mengulang siklus yang sama di masa mendatang. Kasus ini seharusnya menjadi titik balik bagi tata kelola energi nasional. Mafia migas harus diberantas sampai ke akarnya, bukan hanya ditindak di permukaan.

Jika tidak, Indonesia akan terus terjebak dalam lingkaran setan yang sama di mana sumber daya energi yang seharusnya menjadi modal pembangunan justru menjadi lahan bagi segelintir orang untuk mengeruk keuntungan pribadi.

Perjuangan melawan korupsi di sektor migas bukan sekadar tentang menghukum individu, tetapi tentang membangun sistem yang benar-benar bersih dan berintegritas. Jika bangsa ini gagal memanfaatkan momentum ini, Indonesia hanya akan menyaksikan skandal serupa di masa depan dengan aktor yang berbeda tetapi modus yang sama. 

KLASEMEN LIGA KORUPSI

Istilah klasemen ada dalam dunia sepak bola, untuk menyusun peringkat klub berdasarkan jumlah poin yang terkumpul. Dalam urutan" Klasemen Liga Korupsi Indonesia" Kasus korupsi Pertamina berada di posisi teratas dengan dugaan kerugian negara Rp 968,5 triliun. Selanjutnya, ada kasus korupsi Tata Niaga PT Timah dengan kerugian negara sebesar kurleb 300 triliun, dan masih banyak lagi kasus-kasus megakorupsi lainnya di beberapa sektor yang merugikan negara dengan nominal yang tidak sedikit.

Korupsi seolah menjadi tradisi, mencari celah dalam setiap kesempatan. Kasus megakorupsi Pertamina ini mengakali pengadaan barang dengan mengambil keuntungan dari transaksi tersebut. Semua itu terjadi karena pejabat yang tidak amanah. Kondisi sistem saat ini membuka peluang untuk melakukan kecurangan dalam setiap sektor. Sistem sekuler membuat orang bebas melakukan apa saja demi mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok dengan menghalalkan segala cara. Semuanya berkaitan erat dengan sistem pendidikan sekuler yang tidak menghasilkan generasi bertakwa.

Kasus korupsi seakan tidak ada habis-habisnya, muncul lagi dan lagi, dan kasus korupsi ini muncul hampir di setiap sektor. Katanya, pemerintah serius akan memberantas kasus korupsi di Tanah Air. Pembentukan KPK adalah salah satu usaha pemerintah untuk memberantas korupsi, namun mirisnya, korupsi pernah melibatkan pimpinan KPK itu sendiri. Selain menambah daftar panjang kasus korupsi, kasus ini menjadi tamparan keras bagi pemerintah.

Semua kasus yang terjadi, apalagi yang melibatkan sejumlah petinggi lembaga penegak hukum, semakin jauh harapan agar kasus kejahatan ekstraordinari ini bisa dihapuskan di Tanah Air. Maraknya kasus korupsi dalam segala sektor menunjukkan bahwa kejahatan korupsi ini sudah mengakar hingga menjadi suatu budaya. 

Penegakan hukum dan penanganan kasus-kasus korupsi tidak berpengaruh terhadap berkurangnya kasus korupsi; justru, kasus-kasus tersebut kian bertambah, dan seakan tidak ada satu sektor pun yang luput dari korupsi. Di mana ada sedikit celah, di sana pula praktik korupsi terjadi.

Banyak faktor yang mempengaruhi sulitnya mengeliminasi kasus korupsi. Selain soal integritas para pejabat atau personalitas, korupsi seakan sudah membudaya, warisan turun-temurun bahkan sejak dulu kala di zaman penjajahan, dan lemahnya sistem hukum serta birokrasi turut berperan melembagakan perilaku korup di Tanah Air.

Perangkat hukum yang menyangkut lembaga dan undang-undang seakan mandul dalam memberantas kasus korupsi hingga ke akarnya. Kasus korupsi yang sulit diberantas menunjukkan buruknya sistem yang sedang diterapkan. Saat ini, sistem tegak dengan paham sekuler liberal yang mengesampingkan peran agama dalam kehidupan; perilaku kebebasan diniscayakan dan menjadi hal yang lumrah.

Islam Solusi Tuntas, No Debat

Sistem kepemimpinan Islam menawarkan konsep khas yang mengikat komitmen negara memberantas korupsi tata kelola sumber daya alam dalam atmosfer keimanan. Konsep ini tegak atas komitmen negara untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat dan merealisasikan kesejahteraan bagi mereka secara utuh dan merata. Negara Islam (Khilafah) menganut prinsip-prinsip ekonomi Islam yang bersumber dari hukum syariat. Konsep itu adalah sebagai berikut.

Pertama, negara mengatur pembagian sistem kepemilikan. Ditinjau dari sisi kebutuhan manusia pada sesuatu, SDA—termasuk tambang,sesungguhnya terkategori sebagai kepemilikan umum.

Kedua, negara juga memiliki tanggung jawab untuk menilai besar maupun kecilnya potensi SDA di suatu area pertambangan. Jika potensi tersebut besar, negara memiliki hak penuh untuk mengelolanya. Sedangkan untuk potensinya kecil atau terbatas, masyarakat diperbolehkan untuk mengelolanya dengan tetap memastikan bahwa pengelolaan tersebut sesuai syariat.

Pengelolaan SDA yang dilakukan oleh negara harus bersifat profesional agar tidak ada kolusi antara pihak aparat, pengelola tambang, dan birokrat. Kenyataan ini yang berbeda terjadi dalam sistem kapitalisme saat ini. Banyak kegiatan pertambangan yang pengelolaannya justru di bawah perlindungan pejabat yang bekerja sama dengan pengusaha besar dalam industri pertambangan.

Ketiga, ketegasan negara dalam menindak para koruptor pertambangan tanpa tebang pilih. Secara teoretis pada tiap sistem yang ada di dunia ini, tindakan korupsi, suap, gratifikasi, dan penyalahgunaan kekuasaan tercela di mata hukum. Hanya saja, sistem sekuler nyatanya menjadi habitat subur bagi praktik korupsi. Ini tentu berbeda dengan sistem Islam yang menekankan pengawasan berbasis keimanan, mulai dari individu hingga negara.

Dalam Islam, ada tiga pilar yang menyokong terwujudnya prinsip syariat. Pertama, individu yang bertakwa. Dalam kasus korupsi, Islam sudah memiliki konsep preventif skala individu. Tiap individu rakyat menanamkan dalam diri bahwa ada Allah yag senantiasa mengawasi perbuatan hamba. Keimanan inilah yang menjadi alat pemantau saat manusia lainnya tidak mampu membaca hati dan pikiran sesamanya. Rasa keimanan ini pula yang membuat tiap pejabat merasa cukup sehingga cenderung merealisasikan gaya hidup sederhana tanpa haus akan validasi sebagai sosok populis yang merakyat.

Kedua, masyarakat memiliki tanggung jawab untuk melakukan muhasabah lil hukkam (menasihati penguasa). Kultur muhasabah ini lahir dari perintah Allah untuk melakukan amar makruf nahi mungkar terhadap siapapun. Bahkan, Rasulullah saw. menyampaikan banyak hadis terkait keutamaan muhasabah kepada penguasa. Beliau bersabda, “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al-Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Ketiga, peran negara. Adapun negara bertugas untuk menjalankan sanksi tegas bagi pelaku koruptor sesuai syariat. Tidak ada pengampunan ataupun belas kasihan dalam menjalankan sanksi ini. Sanksi yang ketat dalam Islam selain bertujuan untuk memberi efek jera juga berfungsi untuk mencegah terulangnya kasus serupa. Hukuman bagi para koruptor ini dapat berupa publikasi, stigma, peringatan, pengambilan aset, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati sesuai ijtihad khalifah.

Dengan demikian, memberantas korupsi membutuhkan komitmen yang harus diringi sistem yang mengikat. Itulah komitmen pada Sang Pencipta, Allah Sang Pemilik Kehidupan. Selama negeri ini masih mengikat janji memberantas korupsi dalam kerangka sistem sekuler kapitalisme, selama itu pula komitmen pemberantasannya hanya gertakan sambal dan isapan jempol. Negeri ini membutuhkan kepemimpinan Islam untuk menyelesaikan berbagai masalah, bukan hanya kasus korupsi tetapi juga kasus lainnya yang merugikan masyarakat hingga negara.

 Wallahu'alam Bishowwab


Share this article via

0 Shares

0 Comment