| 54 Views
Liberalisasi Pergaulan, Kohabitasi dan Mutilasi: Rantai Nestapa Generasi

Oleh : Kursiyah Azis
Penulis dan Aktivis Muslimah
Kasus mutilasi lagi-lagi menimpa kaum muda-mudi. Di tengah arus deras liberalisasi pergaulan, kohabitasi dipoles indah hingga membuat siapapun merasa punya kebebasan tanpa batas, lalu berbangga dengan slogan modernitas. Padahal, di balik balutan manis itu, tersembunyi jerat luka yang kian menjerumuskan generasi. Satu demi satu tragedi mencuat ke permukaan. Mulai dari perselingkuhan, kekerasan, hingga mutilasi. Hal tersebut membuktikan bahwa betapa rapuhnya relasi tanpa ikatan sah. Liberalisme pergaulan yang digadang-gadang sebagai pintu emansipasi, justru menjelma menjadi rantai nestapa yang menyeret anak muda ke jurang kehancuran moral dan kehidupan sosial.
Seorang pemuda. Alvi Maulana (24) tega menghabisi nyawa pacarnya sendiri, inisial TAS (25) lalu memutilasi tubuh korban hingga ratusan potong. Sebagian potongan tubuh korban dibuang di Mojokerto, bagian lainnya disimpan di kos korban di Surabaya, Jawa Timur.
Kasus pembunuhan tersebut terjadi pada Minggu (31/8) sekitar pukul 02.00 WIB di kos pelaku dan korban. Alvi dan TAS telah berpacaran selama 5 tahun dan tinggal bersama di sebuah rumah kos di Jalan Raya Lidah Wetan, Kelurahan Lidah Wetan, Lakarsantri, Surabaya.
"Semua ini berawal dari ide Kohabitasi atau kumpul kebo yang mereka jalani selama bertahun-tahun. mereka sudah seperti pasangan suami istri tanpa ikatan sah. Sehingga ketika ada rasa kekesalan berlebihan, maka pelaku mulai merasa kewalahan dengan tuntutan ekonomi korban yang meminta gaya hidup dan seterusnya. Sehingga terjadilah tragedi mengerikan tersebut," terang Kapolres Mojokerto AKBP Ihram Kustarto, seperti dilansir Detik.Com, Senin (8/9/2025).
Sistem Sekuler, biang kerok Tragedi mengerikan
Dari sistem sekuler, lahirlah liberalisasi pergaulan yang muncul dari ide kebebasan tanpa batas. Hubungan antara laki-laki dan perempuan dipandang sekadar ekspresi pribadi, terlepas dari aturan agama atau norma sosial. Narasi “my body my choice” atau “cinta tak perlu ikatan” menjadi legitimasi untuk praktik kohabitasi. Namun, kebebasan yang dilepaskan dari nilai moral justru melahirkan kerentanan. Yakni hubungan rapuh, perselingkuhan, kekerasan emosional hingga kriminal. Padahal Kohabitasi adalah sebuah ide yang menunjukkan wajah Nyata Kebebasan Semu.
Kohabitasi atau tinggal bersama tanpa ikatan sah dahulu di sebut sebagai aktivitas kumpul kebo yang saat ini justru sering dipromosikan sebagai tren modern atau bukti cinta sejati. Padahal, di baliknya tersimpan jebakan maut yang paling mengerikan. Beberapa hal yang menjadi akibat dari Kohabitasi adalah pertama; kehidupan Tanpa perlindungan hukum. Mereka yang memilih hidup bersama tanpa ikatan sah maka secara otomatis tidak ada tanggung jawab sah bagi pasangan maupun anak yang lahir dari hubungan itu. Sehingga rentan terjadinya saling menzolimi satu sama lain, termasuk ketika ada anak yang lahir dari hubungan tersebut pun akan ikut menjadi korban kekerasan hingga pembunuhan. Ke dua; Rentan konflik. Kecemburuan, pengkhianatan, dan kecurigaan. Hal tersebut sering memicu kekerasan dalam hubungan mereka hingga berakhir kehilangan nyawa dengan cara tragis. Ketiga; Normalisasi zina. Kohabitasi adalah bentuk terang-terangan dari perzinaan yang meruntuhkan benteng keluarga, selain itu aktivitas ini juga mengundang murka Allah SWT, sehingga dampaknya tidak hanya ditanggung pelaku, tapi juga bisa merambah kepada masyarakat sekitar.
Mutilasi: Tragedi Ujung dari Hubungan Bebas
Kasus-kasus mutilasi yang ramai di media umumnya kerap berakar dari relasi asmara di luar nikah. Ketika cinta berbalik menjadi benci, ketika janji manis berubah jadi pengkhianatan, yang tersisa hanyalah kekerasan brutal. Kohabitasi menjadi ruang tanpa ikatan moral dan hukum, sehingga pertengkaran bisa meledak tanpa kendali hingga akhirnya berujung pada kekerasan fisik, bahkan pembunuhan disertai mutilasi. Hal tersebut merupakan Nestapa Generasi, mereka terperangkap dalam lingkaran setan dengan diiming-imingi gaya hidup bebas lalu tanpa sadar ditarik masuk dalam kohabitasi yang tampak manis di awal. Kemudian diakhiri dengan tragedi trauma psikologis, anak-anak tanpa status jelas, dan kejahatan mengerikan.
Inilah nestapa generasi. Kehancuran martabat manusia akibat hilangnya pagar moral. Liberalisasi pergaulan melahirkan kohabitasi, dan membuka jalan bagi tragedi, salah satunya mutilasi. Semua ini adalah alarm keras bahwa kebebasan tanpa aturan bukanlah jalan menuju kebahagiaan, melainkan jerat nestapa generasi.
Islam menghadirkan Solusi Fundamental
Fenomena liberalisasi pergaulan yang melahirkan praktik kohabitasi (hidup bersama tanpa ikatan pernikahan) hingga tragedi mutilasi adalah potret buram masyarakat yang kehilangan rambu moral dan hukum. Akar masalahnya ada pada ide kebebasan ala liberalisme, yang menolak aturan agama dalam mengatur hubungan laki-laki dan perempuan. Ketika hubungan dijalankan atas dasar “suka sama suka” tanpa ikatan halal, maka jalan menuju kehancuran terbuka lebar. Mulai dari seks bebas, kekerasan, hingga kejahatan keji seperti mutilasi.
Berbeda halnya dalam Sistem Islam. Pengaturan kehidupan tidak bisa lepas dari agama. Apalagi soal pengaturan hubungan laki-laki dan perempuan. Islam menutup rapat celah-celah pergaulan bebas, yakni melarang khalwat dan ikhtilat yang tak syar’i, serta menutup aurat dengan sempurna. Hal ini bukan untuk tujuan mengekang, melainkan menjaga kehormatan manusia itu sendiri.
Adapun dalam institusi pernikahan. Islam mewajibkan hubungan hanya dalam bingkai akad nikah yang sah. Di dalamnya ada hak, kewajiban, dan perlindungan hukum bagi laki-laki, perempuan, dan anak. Pernikahan bukan sekadar legalitas, tapi perisai peradaban. Sehingga jika terjadi pelanggaran, maka sanksinya pun tak main-main. Penegakan hukum syariah berlaku baginya. Baik bagi pelaku Zina, perzinaan terang-terangan, maupun kekerasan seksual, semuanya mendapat sanksi tegas. Hukum Islam tidak hanya membuat jera bagi pelaku, tapi juga mendidik masyarakat agar tak mendekati jalan kehancuran.
Namun semua itu hanya bisa diterapkan melalui peran negara. Negara dalam sistem Islam (khilafah) tidak netral seperti negara sekuler. Negara aktif mengawasi, menutup pintu-pintu maksiat, mendidik masyarakat dengan tsaqafah Islam, serta menegakkan hukum syar’i secara adil.
Dengan solusi Islam ini, tragedi yang lahir dari liberalisasi pergaulan tak akan pernah punya ruang hidup. Karena Islam tidak hanya menyalahkan individu, tetapi juga membenahi sistem yang melahirkan budaya bebas itu sendiri.
Olehnya itu. Maka berharap pada sistem sekuler yang menjunjung tinggi ide liberalisasi untuk menyolusi ragam nestapa yang menyeret banyak generasi adalah sebuah kemustahilan. Sebab hanya dalam sistem Islam lah kehidupan yang harmonis bisa benar-benar terwujud.
Wallahu alam.