| 329 Views
Tingginya PPN dan Dampak Kerusakan Ekonomi

Oleh : Verry Verani
Mulai 1 Januari 2025, pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen. Perubahan tarif ini sesuai dengan keputusan yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Beberapa barang yang akan dikenakan PPN 12 persen antara lain beras premium, daging premium, buah premium, jasa pendidikan premium, jasa pelayanan kesehatan premium, dan pelanggan listrik dengan daya 3500-6600 VA.
Sejumlah dalih diungkapkan pemerintah untuk menaikkan PPN menjadi 12 persen. Pertama, untuk meningkatkan pendapatan negara. Kedua, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Ketiga, untuk menyesuaikan dengan standar internasional.
Tak pelak, keputusan pemerintah ini mendapat penolakan dari masyarakat yang kondisi ekonominya kian tercekik. Bahkan muncul satu petisi yang meminta pemerintah membatalkan kenaikan PPN di laman change.org.
Kebijakan Kenaikan PPN Perspektif Kapitalisme
Dalam sistem kapitalisme, pajak dianggap sebagai salah satu sumber utama pendapatan negara untuk mendanai pembangunan. Kebijakan menaikkan PPN menjadi 12% merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, dan menyesuaikan dengan standar internasional. Namun, sistem ini sering kali tidak adil dalam implementasinya karena ketimpangan beban pajak. Pasalnya, pajak dikenakan kepada seluruh rakyat, termasuk kelompok yang kurang mampu, tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi mereka.
Ketimpangan ini sangat menonjol ketik fasilitas negara diberikan kepada pengusaha. Pengusaha besar kerap mendapatkan kemurahan dan kemudahan bahkan insentif pajak, sementara rakyat kecil dibebani dengan pajak yang memberatkan, termasuk pada kebutuhan pokok seperti beras dan daging dan lain-lain.
Ketimpangan sangat berdampak pada Sosial-Ekonomi, seperti kenaikan PPN ini berpotensi memperparah kesenjangan sosial dan memperburuk kondisi masyarakat yang ekonominya sudah rentan akibat tekanan inflasi dan krisis global.
Dampak Kenaikan PPN Terhadap Ekonomi Rakyat, terlebih setelah naiknya tarif PPN yang akan berdampak langsung pada kenaikan harga barang dan jasa, terutama kebutuhan pokok. Hal ini akan mengurangi daya beli masyarakat. Kelompok masyarakat berpenghasilan rendah akan semakin kesulitan memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Efek domino pada pertumbuhan ekonomi, seperti konsumsi rumah tangga, merupakan salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi, akan menurun sehingga bisa memperlambat pemulihan ekonomi nasional.
Potensi Pajak Dalam Sistem Islam
Konsep pajak dalam Islam berbeda dengan sistem kapitalisme, di mana pajak menjadi andalan utama dalam pendapatan negara. Dalam Islam, pajak bukanlah sumber pendapatan utama negara, tetapi lebih bersifat sebagai mekanisme darurat untuk memenuhi kebutuhan mendesak.
Islam mengatur bahwa pajak diposisikan sebagai alternatif darurat. Pajak (dalam istilah fiqh sering disebut sebagai dhariibah) hanya diberlakukan jika kas negara (Baitul Mal) tidak mampu memenuhi kebutuhan mendesak rakyat, seperti, pembiayaan keamanan dan pertahanan negara, penanggulangan bencana alam,
penyediaan kebutuhan dasar rakyat yang terancam tidak terpenuhi.
Subjek pajak hanya untuk yang mampu. Berbeda dengan sistem kapitalisme yang memungut pajak dari semua lapisan masyarakat, pajak dalam Islam hanya dibebankan kepada individu atau kelompok yang mampu secara finansial (ghani). Dengan demikian, rakyat kecil yang tidak memiliki kemampuan ekonomi tidak dibebani pajak.
Demikian pula, sifat pajak dalam Islam tidak bersifat permanen atau berulang setiap tahun. Pungutan ini dihentikan segera setelah kebutuhan mendesak terpenuhi dan kas negara kembali mencukupi. Hal ini mencegah adanya eksploitasi terhadap rakyat.
Solusi Sistem Ekonomi Islam
Berbeda dengan kapitalisme, sistem ekonomi Islam menetapkan prinsip-prinsip yang menjamin kesejahteraan rakyat dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya.
Negara Sebagai Pelayan Rakyat (Raa’in) Dalam Islam, negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar rakyat, seperti pangan, kesehatan, dan pendidikan, tanpa membebani mereka dengan pajak yang memberatkan.
Negara Islam memiliki sumber pendapatan lain yang lebih utama, sehingga pajak tidak menjadi satu-satunya andalan, diantaranya :
Zakat sebagai kewajiban bagi umat Islam yang memiliki harta tertentu, yang hasilnya digunakan untuk kepentingan fakir miskin dan golongan yang membutuhkan.
Kharaj, sebagai aturan pungutan pajak atas tanah yang dikenakan kepada pemilik tanah non-Muslim atau disebut 'usyr bagi Muslim berdasarkan hasil pertanian yang dikelolanya.
Jizyah: pajak perlindungan yang dibayarkan oleh non-Muslim kepada negara Islam sebagai imbalan atas perlindungan keamanan dan hak mereka sebagai warga negara.
Juga Islam mengatur hasil sumber daya alam sebagai kepemilikan umum seperti berbagai hasil tambang termasuk tambang garam, hasil hutan dan gas dan energi dikelola negara untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Ghanimah dan Fa’i sebagai hasil dari rampasan perang atau pendapatan negara lainnya yang diperoleh tanpa peperangan.
Kebijakan pajak dalam Islam dirancang untuk tidak membebani rakyat secara berlebihan, tetapi tetap memastikan kebutuhan mendasar masyarakat terpenuhi. Sistem ini memastikan bahwa orang kaya memberikan kontribusi lebih besar dibandingkan mereka yang kurang mampu, mencerminkan prinsip keadilan sosial.
Karena pengelolaan pendapatan dalam Islam didasarkan pada syari'at islam. Sistem ini menjamin transparansi dan keberkahan. Tidak ada ruang untuk korupsi atau penyalahgunaan dana, sehingga manfaat dan Efektivitasnya sangat dirasakan rakyat secara langsung dari setiap kebijakan negara.
Pajak dalam sistem Islam memiliki potensi besar sebagai alat darurat yang mendukung kesejahteraan masyarakat tanpa menzaliminya. Dengan mengandalkan sumber pendapatan utama seperti zakat, kharaj, dan pengelolaan sumber daya alam. Negara Islam mampu menciptakan keseimbangan antara kebutuhan pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Pajak hanya diambil jika benar-benar diperlukan, dari mereka yang mampu, dan dengan prinsip keadilan sosial yang tinggi.
Wallahu'alam.