| 261 Views
Tindakan Represif Aparat: Cermin Demokrasi Anti Kritik

Oleh : Naely Lutfiyati Margia, Amd.Keb.
Pada tanggal 22 Agustus 2024, aksi demonstrasi besar-besaran digelar di berbagai kota di Indonesia untuk menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Massa yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat, termasuk aktivis, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil, turun ke jalan untuk melakukan aksi karena adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh negara. Aksi ini merupakan salah satu upaya mengingatkan pemerintah karena telah menyalahi konstitusi yang mereka sepakati sendiri. Namun sayangnya aksi ini tidak berjalan damai, pemerintah justru mengerahkan aparat untuk mengamankan massa aksi dengan menyemprotkan gas air mata, melakukan tindakan represif, intimidasi dan kekerasan terhadap massa aksi.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat beberapa kasus tindakan represif aparat keamanan ketika aksi mahasiswa Kawal Putusan MK di beberapa daerah. Ketua YLBHI, Muhammad Isnur mengungkapkan, ada puluhan tindakan represif, intimidasi, sampai kekerasan terhadap massa aksi. Ia juga menyoroti kasus represif pihak kepolisian yang terjadi di Semarang, Makassar, Bandung, dan Jakarta. Isnur menyampaikan, sampai Kamis malam, 22 Agustus 2024, lembaganya menerima laporan sebelas massa aksi terkonfirmasi ditangkap kepolisian. Satu orang lainnya mendapatkan doxing. Isnur menguraikan, puluhan laporan tersebut berupa tindakan kekerasan, doxing, sampai penangkapan yang dilakukan pihak kepolisian. Bahkan, terdapat ratusan massa aksi justru ditangkap ketika sedang menuju lokasi aksi. Tindakan represif ini merupakan pelanggaran hukum, tindak pidana, dan melanggar peraturan internal Kapolri. Isnur menyebutkan, dalam peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009, kepolisian tidak boleh terpancing, tidak arogan, dan tidak melakukan kekerasan saat situasi kerumunan massa aksi tidak terkendali. (tempo, 25/8/24)
Selain itu ada mahasiswa Universitas Balai Bandung Andi Andriana terancam kehilangan mata kirinya karena terkena lemparan batu saat berunjuk rasa mengawal putusan Mahkamah Konstitusi di kantor DPRD Jawa Barat Kota Bandung Kamis 22 Agustus 2024. Kini Andi menjalani perawatan di Rumah Sakit Mata Cicendo, Kota Bandung. Kondisi Andi masih lemas setelah menjalani operasi mata kirinya sekitar lima jam. Ia belum dapat memberikan keterangan kepada semua pihak terkait kronologi peristiwa yang dialaminya. (kompas, 24/8/24)
Tindakan represif yang dilakukan pemerintah terhadap aksi demonstrasi ini semakin menegaskan sikap penguasa yang anti kritik. Alih-alih mendengarkan aspirasi masyarakat, nyatanya saat rakyat menilai pemerintah melakukan pelanggaran, mereka tidak dapat menggunakan hak ini. Masyarakat dibungkam dengan tindakan kekerasan ataupun non kekerasan oleh aparat. Tak hanya itu kejadian ini juga menunjukkan sejatinya sistem demokrasi tidak memberi ruang akan adanya kritik dan koreksi dari rakyat, tapi malah mengabaikan massa aksi, meskipun demokrasi telah mengklaim memberikan ruang kebebasan ini.
Hal ini sangat wajar terjadi, karena sistem demokrasi memberi kedaulatan hukum di tangan manusia. Oleh sebab itu sekalipun sistem demokrasi mengakui ada aturan terkait hak menyampaikan aspirasi dan sejenisnya, namun sebenarnya hak-hak tersebut hanya berlaku bagi mereka kalangan elite sehingga aspirasi hanya didengar bila sesuai dengan kepentingan penguasa. Bahkan tidak sedikit sebagian manusia yang mengklaim dirinya wakil rakyat justru menggunakan kekuasaan tersebut untuk mengamankan kepentingan mereka.
Ini sangat berbeda dengan sistem pemerintahan dalam Islam. Dalam pemerintahan Islam, menasehati atau mengoreksi penguasa (Muhasabah lil hukkam) dari rakyat ke penguasa adalah bagian dari hukum syariat. Muhasabah dilakukan kepada penguasa yang berbuat zalim dan melanggar hukum Allah. Muhasabah juga dilakukan kepada penguasa agar rakyat dapat mencegah kemaksiatan yang dilakukan oleh negara, karena bagi rakyat maupun penguasa telah memahami semua ini dilakukan dalam rangka ketaatan pada Allah semata.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bahkan mengatakan tindakan ini merupakan bagian dari jihad, ini sesuai dengan sabda beliau yang berbunyi:
“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata baik) di hadapan penguasa yang zalim” (HR. Abu Daud Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Memperjuangkan kebenaran dan melawan kebatilan yang dilakukan penguasa zalim merupakan bentuk jihad yang paling mulia, baik dilakukan secara langsung dengan lisan, tulisan dan berbagai sarana lainnya. Jadi jelas bahwa mengkritik penguasa dalam pemerintahan Islam merupakan penegakkan amar ma'ruf nahi munkar.
Selain itu, dalam sistem pemerintahan Islam ada pula lembaga seperti majelis Ummah dan Qadhi Madzalim (hakim yang mengadili sengketa antara rakyat dan negara) yang berfungsi sebagai penampung aspirasi rakyat untuk selanjutnya disampaikan kepada pemimpin negara. Bahkan Qadhi Madzalim akan menghukum penguasa jika mereka terbukti melakukan pelanggaran syariat atau menzalimi rakyat, sehingga tidak ada yang namanya hukum tebang pilih. Dengan begitu masyarakat tidak perlu merasa khawatir aspirasi mereka dibungkam, karena selain dari sisi mereka melakukan kewajiban, negara pun ikut menyediakan fasilitas aduan tersebut.
Islam menjadikan amar ma'ruf nahi mungkar sebagai kewajiban setiap individu, kelompok dan masyarakat. Perintah ini wajib dilakukan agar masyarakat tetap memiliki perasaan, pemikiran dan sistem yang sama yaitu sistem Islam, dengan pemahaman yang sama inilah penguasa juga memahami tujuan adanya muhasabah yaitu dalam rangka tegaknya aturan Allah di muka bumi, sehingga dapat terwujud negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Wallahu a’lam bish shawwab.