| 34 Views

Sistem Kapitalisme Menyuburkan Korupsi

Oleh: Khantynetta

Baru - baru ini terdengar berita dari KOMPAS.com Dugaan korupsi besar dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023 mencuat ke publik. Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap bahwa kerugian negara akibat praktik ini mencapai Rp 193,7 triliun. Beberapa perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp 193,7 triliun,” ujar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (24/2/2025) malam. Kerugian tersebut berasal dari berbagai praktik, termasuk ekspor minyak mentah domestik, impor minyak mentah melalui perantara (broker), impor BBM dengan skema serupa, serta pemberian kompensasi dan subsidi yang tidak transparan.

Peran 9 Tersangka Dugaan Korupsi Pertamina Patra Niaga dalam Mengoplos Pertamax Pertamina Bantah Oplosan Pertalite Jadi Pertamax PT Pertamina (Persero) menegaskan bahwa pihaknya tidak melakukan praktik upgrade blending atau mencampur Pertalite dengan Pertamax sebagaimana yang disebut dalam kasus korupsi ini.

Tak heran dinegara Indonesia sudah tak asing lagi soal kasus Korupsi seolah sudah menjadi tradisi, mencari celah dalam setiap kesempatan. Kasus korupsi pertamina ini mengakali pengadaan barang, dengan mengambil keuntungan dari transaksi ini. Ini terjadi karena pejabat tidak amanah.

Kasus ini hanyalah salah satu dari sekian banyak bukti bahwa korupsi bukan sekadar masalah individu yang tidak amanah, tetapi merupakan buah dari sistem yang salah. Dalam sistem sekuler-kapitalisme yang diterapkan hari ini, aturan agama dipisahkan dari kehidupan, sehingga nilai-nilai moral dan ketakwaan tidak lagi menjadi dasar dalam mengelola negara. Sistem ini memungkinkan pejabat untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, tanpa rasa takut kepada Allah dan tanpa peduli dengan penderitaan rakyat.

Dalam sistem sekuler, orientasi hidup seseorang tidak lagi berdasarkan halal-haram, tetapi semata-mata keuntungan materi. Jabatan dipandang sebagai kesempatan emas untuk memperkaya diri, bukan sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan.

Sistem kapitalisme yang mendewakan kebebasan ekonomi semakin memperparah kondisi ini. Prinsip kapitalisme yang berorientasi pada keuntungan membuat siapa pun berlomba-lomba untuk mencari celah demi kepentingan pribadi atau kelompok, meskipun dengan cara yang haram. Pejabat yang seharusnya menjadi pelayan rakyat justru menjadi penghisap darah rakyat melalui praktik korupsi yang mengakar kuat.

Parahnya lagi, sistem pendidikan sekuler yang diterapkan saat ini gagal mencetak generasi yang beriman dan bertakwa. Pendidikan hanya berfokus pada pencapaian akademik dan keterampilan duniawi, tetapi mengabaikan aspek akhlak dan kesadaran akan pertanggungjawaban di hadapan Allah. Akibatnya, ketika seseorang menduduki jabatan tinggi, ia mudah tergoda untuk menyalahgunakan wewenang karena sejak awal tidak dibekali dengan nilai-nilai kejujuran dan amanah.

Korupnya demokrasi berpangkal pada paham kebebasan (liberalisme).  Politik dipisahkan dari agamab(sekulerisme), sehingga pemerintahan dijalankan sesuai nafsu manusia (penguasa). Suara rakyat dibeli secara murah dalam demokrasi, lalu dijadikan legitimasi atas peraturan yang rusak dan merusak. Jika menginginkan pemerintahan yang bersih maka asas sekuler-liberal tersebut harus dihilangkan dan diganti dengan asas akidah Islam. Di mana keyakinan kepada Allah Swt., mampu mewujudkan ketaatan pada syariat-Nya, termasuk syariat yang mengatur dalam hal pemerintahan.

Berbeda halnya di dalam Islam sistem pendidikan menghasilkan generasi yang beriman dan bertakwa, dan ketika menjadi pejabat akan amanah dalam menjalankan tugas karena ada kesadaran akan pertanggungjawaban di hadapan Allah.

Adanya prinsip 3 pilar menjadikan setiap individu taat pada syariat jauh dari maksiat, masyarakat juga akan melakukan amar makruf nahi mungkar. Dengan penerapan sistem sanksi yang tegas dan menjerakan oleh negara, korupsi dapat diberantas dengan tuntas. 

Contohnya saja hukum yang diterapkan didalam Islam sebagai efek jera bagi para pelaku korupsi yaitu hukum sanksi (uqubat) dalam Islam berfungsi sebagai zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus dosa). Keberadaannya disebut sebagai zawajir sebab dapat mencegah manusia dari tindak kejahatan serupa. Adapun jawabir disyariatkan untuk mencapai kemaslahatan yang telah hilang disebabkan adanya tindak pidana.

Persoalan korupsi adalah masalah sistemis yang membutuhkan solusi sistemis pula. Di sinilah Islam mampu menjawabnya. Dalam sistem Islam, salah satu poin penting dalam penanganan korupsi adalah pengawasan. Sebelum penindakan Islam memberi solusi pencegahan yaitu melalui pengawasan individu, masyarakat, dan negara.

Yang Pertama, individu yang bertakwa. Sistem pendidikan berbasis akidah Islam akan membentuk individu berkepribadian Islam yang menjadi fondasi penting membangun ketaatan. Taat inilah yang menghasilkan ketakwaan sehingga membentuk rasa takut setiap hamba kepada Allah Swt. sehingga ia tidak akan bermaksiat kepada-Nya, termasuk berbuat korupsi. Dengan merasa selalu diawasi oleh Allah, ia sadar bahwa setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban.

Kedua, pengawasan masyarakat. Ketika kehidupan Islam terbentuk aturan Islam diberlakukan maka terciptalah kebiasaan beramar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat. Masyarakat sendirilah yang menjadi pengontrol dan pengoreksi para pejabat negara. Sehingga celah untuk melakukan praktik korupsi semakin minim.

Ketiga, pengawasan negara. Tanpa peran negara, pengawasan individu dan masyarakat menjadi tidak berarti. Negaralah yang menetapkan kebijakan dan memberlakukan hukum syariat secara legal.

Sistem sanksi memberi efek jera bagi para pelaku koruptor. Dalam Islam, korupsi termasuk perbuatan khianat terhadap harta yang dikenai hukuman takzir, yakni penetapan sanksinya berdasarkan kewenangan khalifah. Dalam buku Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian dalam Islam yang ditulis Abdurrahman al-Maliki dijelaskan hukuman takzir bagi pelaku khianat harta seperti korupsi bisa berupa teguran dari hakim, penjara, pengenaan denda, pewartaan atau pengumuman pelaku di hadapan publik melalui televisi atau media massa, hukuman cambuk, hingga hukuman mati.

Khilafah juga sangat memperhatikan kesejahteraan para pejabat negara, yakni dengan sistem penggajian yang layak. Para pejabat akan diberi gaji yang mencukupi dan tunjangan serta fasilitas yang mampu memenuhi kebutuhan mereka. Para pejabat negara dilarang menerima hadiah selain dari gaji yang mereka terima. Rasulullah ﷺ bersabda, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR Imam Ahmad).

Selain itu, negara akan melakukan penghitungan kekayaan pejabat sebelum dan sesudah menjabat. Jika ditemukan kenaikan harta yang tidak wajar, yang bersangkutan diminta membuktikan bahwa kekayaan yang diterimanya didapatkan dengan cara halal. Hal ini pernah berlaku pada masa Khalifah Umar bin Khaththab. Beliau kerap menghitung kekayaan pejabat pada awal dan akhir masa jabatannya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam bukunya At Tabaqat al–Kubra dari Asy-Sya’bi, ia berkata, “Setiap kali Umar mengangkat seorang pejabat, beliau selalu mencatat jumlah kekayaan pejabat tersebut sebelum diangkat.”

Tujuan pencatatan jumlah kekayaan calon pejabat ini untuk memudahkan pengawasan terhadap pertambahan kekayaannya selama menjabat, serta memudahkan pengawasan sumber pertambahan kekayaannya. Penerapan sistem Islam kafah dalam Negara Khilafah akan menutup semua celah korupsi, baik melalui pencegahan maupun penanganan yang tegas dan berkeadilan.

Wallahu'alam bishawab


Share this article via

53 Shares

0 Comment