| 26 Views

Saat Hari Raya Cedera, Berjuang Satu-Satunya Cara

Oleh: Marjani Sabrina

“Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar...“

Gema takbir berkumandang di berbagai penjuru negeri, bahkan seluruh dunia. Umat muslim sedunia berbahagia menyambut Hari Raya Idul Fitri setelah sebelumnya menjalani ibadah puasa di bulan suci Ramadhan. Lebaran memang suatu euforia tak terelakkan bagi sebagian besar umat Islam, terutama di negeri ini. Namun sayang, suasana bahagia itu kini tercederai oleh realita pahit ketika umat muslim lainnya tidak berhari raya dengan bahagia.

Bagaimana tidak, Saat dimana seharusnya mereka berkumpul dan bercengkerama bersama keluarga tercinta, justru tergantikan oleh gempuran bom dari langit bagaikan hujan. Saat dimana seharusnya mereka larut dalam tangis haru, menjadi tangis pilu dengan darah yang berlumuran di baju. Saat dimana seharusnya mereka berwisata bersama menyaksikan hiburan, menjadi sebuah ‘tayangan‘ mengerikan karena menyaksikan orang-orang beterbangan terhempas ledakan. Saat dimana seharusnya mereka bergembira keliling kota dan desa, menjadi gegap gempita menghindari reruntuhan bangunan yang ditarget rudal-rudal penjajah. Beginilah kira-kira gambaran hari raya di Palestina.

Rupanya umat Islam belum sepenuhnya merdeka. Buktinya kita lihat pada peristiwa yang disebut dengan ‘tragedi 7 Oktober’. Meski telah lewat lebih dari satu tahun, genosida yang terus terjadi sampai saat ini tidak cukup membuat dunia bergerak seolah lumpuh tak berdaya. Bahkan orang-orang yang paling berkuasa di negaranya, tidak melakukan upaya nyata untuk melawan kejahatan besar itu. Apakah layak bagi seorang pemimpin negara jika hanya mampu memberi kecaman? Sementara kekuatan militer berada di bawah komandonya. Pun lembaga setingkat PBB, hanya bisa mengajukan gugatan basa-basi, karena pada dasarnya keputusan mereka berada di bawah kendali Barat, dalang dari teror itu sendiri. Lalu apa yang bisa diharapkan?

Tentu tidak ada yang bisa diharapkan selama penyebab kerusakan ini masih menjadi harapan. Penyebabnya tidak lain adalah sistem kehidupan yang dibawa oleh Barat yang memisahkan aturan agama dari kehidupan bernegara. Sistem kapitalisme yang memandang manusia tak lebih dari komoditas belaka. Jiwa dan raga manusia bukanlah hal berarti apabila berseberangan dengan kepentingan penguasa. Batas-batas negara bangsa menjadi tembok besar bagi para tentara terlatih untuk menjalankan kewajibannya melindungi orang-orang tak bersalah. Terlebih, opini-opini sekularisme yang membajak perasaan Islami terus mengacaukan pikiran umat hingga mereka hanya terfokus pada nilai kemanusiaan alih-alih sadar akan kewajibannya menjaga tanah kaum muslimin. 

Lagi-lagi sistem. Memang inilah akar masalahnya. Bagi umat muslim yang meyakini kebenaran ajaran Islam, satu-satunya sistem yang mampu menyelesaikan seluruh problematika umat, termasuk masalah di Palestina, hanyalah sistem Islam. Mudah dipahami bahwa jika Allah Yang menciptakan seluruh alam semesta beserta kehidupannya, maka tentu hanya Dia Yang tahu bagaimana seharusnya dunia ini diatur.

Coba saja tengok pada sejarah peradaban. Tidak ada peradaban yang memanusiakan manusia lebih dari peradaban Islam. Masa dimana ras, kekayaan dan bahasa bukanlah penentu seseorang mulia ataukah hina. Masa dimana kemajuan teknologi yang dibangun bisa meningkatkan martabat manusia karena didorong oleh motivasi keimanan, bukan ketamakan. Masa-masa gemilang yang bertahan lebih dari 13 abad ini dipimpin oleh institusi yang disebut dengan Khilafah. Inilah sistem Islam yang diwarisi oleh baginda Muhammad saw. sebagai pedoman hidup manusia agar menjadi umat terbaik juga rahmat bagi seluruh alam.

Hari ini, di tengah gempuran informasi yang sangat bebas, kita dialihkan dari ajaran Islam yang mulia. Khilafah dianggap sebagai ajaran yang kuno, bahkan berbahaya. Padahal jika saja mau jujur pada diri sendiri, apakah memang kehidupan seperti ini yang umat inginkan? Apakah tidak ada kerinduan akan kegemilangan peradaban Islam? Apakah umat berpikir bahwa mereka tidak akan diminta pertanggungjawaban atas kerusakan yang terjadi akibat menyelisihi aturan Allah SWT? Atau mereka terlalu takut untuk memperjuangkan janji Allah akan bangkitnya kekhilafahan yang kedua? Sungguh, terlalu murah bayaran yang mereka dapatkan untuk meninggalkan kewajiban ini. 

Ibarat langit malam, semakin gelap semakin mendekati terbitnya fajar. Semakin parahnya kerusakan di berbagai belahan dunia, semoga menjadi tanda dekatnya kebangkitan Islam yang Allah janjikan. Inilah saatnya, seluruh kaum muslim harus mengambil kesempatan untuk ikut memperjuangkan tegaknya Khilafah yang akan menjadi perisai umat. Dengan diterapkannya sistem Islam, tidak akan ada jalan bagi para penjajah di muka bumi ini. Dengan adanya Khilafah, semoga tidak ada lagi tragedi pilu di hari raya.

Allahu a’lam bisshawab.


Share this article via

14 Shares

0 Comment