| 13 Views
Remaja Pelaku Judol Merajalela, Bukti Kerusakan Sekuler Menggurita

Oleh : Al Juju
Judi online (judol) bukan lagi menyasar pada orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Berita Satu (19-5-2025) menyebutkan bahwa data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) per 8 Mei 2025 mencatat sekitar 197.054 anak usia 10-19 tahun terlibat dalam aktivitas judol dengan nilai deposit mencapai Rp50,1 miliar pada triwulan I-2025.
Bukan sekadar angka, tetapi ini menunjukkan ancaman dampak sosial serius yang mengancam generasi ketika judol tidak diberantas sampai akarnya.
Maraknya judol yang menyasar anak-anak bukanlah sekadar dampak sampingan dari perkembangan teknologi digital, melainkan konsekuensi logis dari penerapan sistem kapitalisme. Judol sudah menjadi aktivitas utama bisnis, baik regional maupun global, dan melibatkan pemain besar.
Pemerintah telah berupaya membuat beberapa regulasi untuk menghentikan judol. Pada 2024, misalnya, pemerintah mengeluarkan Keppres 21/2024 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Daring yang diterbitkan di Jakarta pada 14 Juni 2024.
Satgas yang berada di bawah tanggung jawab langsung presiden ini bertugas mengambil langkah-langkah efektif dalam memberantas judol di Indonesia. Di samping itu, Satgas akan melakukan pengawasan terhadap aktivitas judol dan mengambil tindakan tegas terhadap pelaku perjudian. Tujuan utama Satgas ini adalah untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif judol.
Pada tahun yang sama BKKBN juga memberikan arahan tentang penguatan keluarga karena keluarga berperan penting dalam pencegahan judol. Ini termasuk arahan dari Kementerian Agama agar calon pasangan pengantin dibekali dengan penyuluhan larangan judol. Terbaru, Presiden Prabowo Subianto mengesahkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas) di Istana Kepresidenan, Jumat (28-3-2025).
Prabowo menegaskan, regulasi ini merupakan langkah penting untuk melindungi anak-anak Indonesia dari dampak negatif internet. Regulasi ini menekankan pada beberapa hal, antara lain penyaringan konten yang berpotensi membahayakan anak-anak, mekanisme pelaporan yang mudah diakses dan transparan, proses remediasi yang cepat dan transparan jika ada konten yang melanggar, dan penyediaan edukasi literasi digital kepada anak-anak dan orang tua.
Inilah wajah asli kapitalisme rakus dan tidak mengenal batas moral. Pemerintah seharusnya memiliki upaya serius dan sistematis dalam mencegah maupun mengatasi judi online.
Namun Kenyataanya, Pemutusan akses dilakukan setengah hati dan tebang pilih, sementara di media masih banyak situs judi yang tetap aktif.
Ini membuktikan bahwa demokrasi kapitalisme tidak memiliki solusi hakiki dalam menyelamatkan generasi muda dari kriminalitas.
Dalam sistem kapitalisme, segala sesuatu yang dapat menghasilkan uang akan dimanfaatkan secara maksimal demi meraup keuntungan sebesar-besarnya. Para pelaku industri judol secara sadar merancang tampilan permainan yang penuh warna, interaktif, dan mirip dengan game yang disukai anak-anak agar mereka tertarik, kecanduan, dan akhirnya menjadi konsumen tetap.
Jika ada yang berdalih bahwa judol adalah cara untuk meraih kebahagiaan, sejauh mana kebahagiaan melakukan judol? Tidakkah kebahagiaan yang mereka klaim itu akan segera berubah menjadi petaka ketika kalah dalam permainan judinya?
Oleh karena itu, paradigma mengenai standar kebahagiaan ini layak diganti seiring dengan keterikatan terhadap syariat Islam. Hal ini sekaligus sebagai konsekuensi atas akidah Islam yang mereka yakini. Untuk itu, hendaklah prioritas amal perbuatannya juga menurut ketentuan hukum syarak. Jangan sampai kita berakidah Islam, tetapi tidak mau terikat dengan aturan Islam.
Orang tua khususnya ibu punya peran sentral dalam membentengi anak dari kerusakan moral, termasuk jebakan judi online.
Keluarga Muslim akan melahirkan anak-anak yang kuat secara akidah dan tidak mudah bermaksiat. Namun ini akan sulit jika orang tua sendiri terbebani ekonomi dan tak sempat mendidik anak.
Sistem pendidikan Islam tidak hanya fokus pada akademik, tapi juga membentuk pola pikir dan sikap sesuai ajaran Islam. Anak dididik untuk menjadikan halal-haram sebagai standar dalam berperilaku, termasuk literasi digital sesuai Batasan syariat.
Pada saat yang sama, ada peran kontrol masyarakat untuk beramar makruf nahi mungkar ketika terjadi kemaksiatan di sekitar mereka, termasuk aktivitas judol. Sungguh, tingkat kritis umat adalah sebuah kemuliaan karena tidak mendiamkan kemaksiatan sebagaimana setan bisu.
Gurita judol bisa diberantas secara tuntas dengan menerapkan aturan Islam kafah oleh negara Islam (Khilafah). Dalam Khilafah tidak akan terdapat celah bagi transaksi-transaksi ekonomi yang diharamkan syariat, termasuk judi, apa pun bentuknya, baik online maupun offline. Ketika dikendalikan oleh ideologi kapitalisme sebagaimana saat ini, teknologi beralih fungsi menjadi alat penghancur pihak lain, di antaranya melalui konten-konten yang meracuni pemikiran masyarakat, termasuk judol.
Dengan dakwah politis ini, akan terbentuk opini umum di tengah umat yang selanjutnya akan berpengaruh pada tingkah laku dan selalu ingin diatur oleh hukum-hukum Islam. Selanjutnya, akan senantiasa mengupayakan agar aturan Allah dan Rasul-Nya tegak di muka bumi ini. Itu karena mereka paham bahwa hanya dengan sistem Islamlah umat Islam akan mulia dan terjaga dari aktivitas yang sia-sia, serta menyimpang seperti judol ini.
Wallahualam bissawab.