| 9 Views
Rakyat Disuruh Pintar tapi Sulit Mendapatkan Akses Belajar?

Oleh : Annisa Siti Rohimah
Muslimah Pemerhati Generasi
Guna mencerdaskan kehidupan bangsa, negara memberikan hak pendidikan terhadap individu sebagai warga negara. Oleh karena itu, terdapat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai jaminan untuk mendapatkan kesempatan pendidikan dengan kualitas pendidikan yang merata.
Dikutip dari www.metrotvnews.com bahwa pendidikan di Indonesia belum merata dia rasakan seluruh rakyatnya. Faktanya, hingga saat ini banyak wilayah terpencil di Indonesia belum mendapatkan kualitas pendidikan yang sama seperti layaknya pendidikan di kota-kota besar.
Faktor utama penyebab ketimpangan pendidikan berawal dari permasalahan yang mendasar yakni: Pertama, keterbatasan akses dan infrastruktur pendidikan memadai. Kedua, kondisi geografis antara pulau satu dengan pulau lainnya memiliki jarak tempuh yang lama, sering kali akses jalan yang dilalui hanya dapat menggunakan jalur laut untuk sampai ke sekolah. Ketiga, hambatan sosial dan budaya seperti konstruksi sosial yang menganggap pendidikan bukan menjadi hal yang penting dan sebagainya. Keempat, keterbatasan guru. Kelima, guru dengan kualitas rendah. Fenomena guru yang pilah-pilih tempat mengajar acapkali dilakukan. Kebanyakan guru kebanyakan mengajar di daerah perkotaan sementara sangat sedikit guru yang bersedia mengajar di daerah terpencil. Hal ini menjadikan sumber daya guru yang cakap sering kali ditemukan di kota besar (Maulido dkk, 2024; Rahmadi, 2020).
Bahkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa rata-rata lama pendidikan atau sekolah penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas hanya mencapai 9,22 tahun. Ini setara dengan lulusan kelas 9 atau sekolah menengah pertama (SMP).
Semua ini akibat sistem kapitalisme yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas, sehingga akses bergantung pada kemampuan ekonomi. Dengan angka kemiskinan yang tinggi makin sulitlah rakyat dalam mengakses sarana Pendidikan bahkan Pendidikan dasar. Negara memang sudah memberikan berbagai program yang diharapkan bisa menjadi solusi, seperti KIP, ‘sekolah gratis’, berbagai bantuan yang lain, namun realitanya belum semua rakyat dapat mengakses layanan Pendidikan, apalagi program tersebut hanya untuk kalangan tertentu dan jumlahnya pun terbatas. Belum lagi keberadaan layanan pendidikan yang belum tersedia secara merata di semua wilayah.
Selain itu, kapitalisasi pendidikan yang menyebabkan negara berlepas tangan dari penyelenggaraan pendidikan. Akibatnya negara hanya mencukupkan apa yang sudah disediakan swasta. Sehingga sarana prasarana yang disediakan pun minimalis sesuai anggaran yang ada
Negara menginginkan rakyat yang pintar bahkan keinginan yang tinggi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun nyatanya, jauh panggang dari pada api. Cara yang ditempuh negara tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan.
Berbeda dengan sistem Islam, pendidikan adalah hak setiap warga, miskin ataupun kaya. Negara wajib menyediakannya secara gratis dan merata untuk membentuk manusia berilmu dan bertakwa dan berketerampilan tinggi. Khilafah memiliki sumber dana yang mumpuni untuk mewujudkannya. Dana pendidikan diambil dari Baitul Mal, khususnya pos fai', kharaj, dan kepemilikan umum. Negara mengelola langsung pendidikan tanpa campur tangan swasta.
Dengan demikian, sistem Islam akan mampu menyediakan sarana dan prasarana pendidikan, serta memberikan penghargaan yang tinggi kepada para guru dan tenaga pendidik. Negara akan memiliki sumber anggaran yang banyak dan beragam. Semua rakyat akan mendapatkan hak pendidikan secara merata, sehingga rakyat cerdas dan pintar itu benar-benar akan terwujud tanpa khayalan semata.
Wallahua'lam bisshawab.