| 638 Views
PPN Merangkak Naik, Rakyat Makin Tercekik

Oleh : Miftahid Mustanir
Tinta Mabda
Dilansir dari kompas.tv, kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang semula 11% menjadi 12% rupanya bukan sekadar wacana yang tak berkelanjutan. Kenaikan PPN ini dipastikan akan mulai berlaku pada 2025 mendatang. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, juga ikut memastikan kebijakan ini pasti berlaku tanpa ada penundaan. Begitu pula dengan Menkeu, Sri Mulyani Indrawati, menjelaskan bahwa kebijakan kenaikan PPN ini telah disepakati oleh pemerintah dan DPR pada 2021, namun masih ada peluang untuk diubah. Selaras dengan Pasal 7 UU HPP menyebutkan bahwa kenaikan PPN menjadi 11% berlaku mulai 1 April 2022. Selanjutnya, kenaikan PPN akan terjadi kembali yakni pada 1 Januari 2025 menjadi 12%.
Tentunya kebijakan ini menuai pro dan kontra serta kritikan dari masyarakat. Pasalnya, dilihat dari kondisi ekonomi yang makin menurun, kebijakan ini justru berpotensi menambah beban baru bagi masyarakat. Semenjak pandemi Covid-19 hingga saat ini, telah terjadi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara massal, penurunan ekonomi yang kian drastis dan perlambatan ekonomi global. Menurut laporan Kementerian Ketenagakerjaan, sepanjang Januari hingga Agustus 2024 saja terdapat 46.240 pekerja yang mengalami PHK di Indonesia. Selain itu, terjadi penurunan daya beli masyarakat, terlebih di beberapa bulan terakhir ini (Tempo, 17/10/2024).
Lantas, apa yang harus kita lakukan? Bagaimana Islam memandang hal ini? Come on, keep reading until the end, guys.
Dampak Buruk Kenaikan PPN, Waspada!
Kenaikan PPN ini dapat dipastikan akan melahirkan berbagai dampak negatif untuk masyarakat, khususnya bagi masyarakat bawah maupun menengah. Salah satu dampak yang dihasilkan yakni menurunnya daya beli masyarakat, sehingga inflasi juga akan terus terjadi. Wakil Menkeu periode 2010 - 2014, Anny Ratnawati, mengungkapkan bahwa ketika harga mengalami kenaikan, maka secara otomatis akan membuat permintaan menurun dan akhirnya akan mengganggu proses penjualan dari sektor industri atau bisnis. Anny juga mengatakan, “Dalam teori umum, kalau harga naik, maka demand akan turun. Sehingga hal ini dapat berpotensi terjadinya implikasi balik ke pengusaha” (CNBC Indonesia, 20/3/2024).
Selain terjadinya penekanan daya beli masyarakat karena harga-harga barang yang selalu naik, kenaikan PPN juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas bisnis di dalam negeri karena penjualannya yang tidak lagi produktif sehingga penghasilan mandek bahkan bisa jadi banyak yang gulung tikar alias bangkrut.
Adapun dampak yang timbul dari kenaikan PPN dalam sektor industri, diprediksi yang paling tertekan adalah UMKM, terutama garmen, tekstil, dan alas kaki. Di satu sisi, di dalam negeri mereka tengah menghadapi persaingan dengan perusahaan lokal lainnya, di sisi lain mereka juga harus menghadapi persaingan dengan produk-produk impor yang harganya lebih murah (Pajak.com, 15/11/24).
Perlu diketahui, bahwasannya jumlah barang atau jasa yang dikenai PPN begitu banyak. PPN merupakan pungutan yang dikenakan dalam proses produksi maupun distribusi. Sehingga tidak heran, kita kerap menemukan dalam transaksi sehari-hari, pihak yang menanggung beban pajak adalah konsumen akhir atau pembeli. Jadi, penyesuaian tarik PPN yang berlaku pada 2022 dari 10% menjadi 11% saja sudah memberatkan bagi kehidupan rakyat apalagi jika dinaikkan ke 12%.
Barang-barang yang terkena kenaikan tarif PPN antara lain sebagai berikut; aset kripto, layanan _fintech_, transaksi pinjol, beli mobil bekas, penyaluran LPG nonsubsidi, akomodasi perjalanan keagamaan (seperti perjalanan haji dan umrah atau wisata ke destinasi lain), tarif paket internet, layanan perbankan, harga barang di pasar modern, layanan TV kabel dan internet dan sebagainya (Legalitas.org, 15/11/24).
Kenaikan tarif PPN ini jelas akan berpengaruh pada kenaikan harga barang, terutama barang yang biasa dikonsumsi dan digunakan oleh masyarakat yang tersedia di layanan pasar-pasar modern. Begitu pula dengan layanan kuota dan paket internet yang pada saat ini menjadi salah satu kebutuhan yang urgen bagi rakyat. Dikarenakan berbagai pekerjaan serta berbagai macam layanan publik saat ini tidak terlepas dari akses digital. Jadi, apakah kalian sepakat jika PPN dinaikkan ke 12%? Kalau saya sih, menolak dengan tegas!
Kenaikan Tarif PPN untuk Kepentingan Siapa?
Alasan pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikkan tarif PPN yakni bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara. Sayangnya, hal ini justru menimbulkan berbagai tanda tanya di kalangan masyarakat. Jika untuk menaikkan pendapatan negara, lantas mengapa harus dengan menaikkan tarif pajak? Mengapa tidak dengan cara lain atau mengoptimalkan opsi pendapatan yang lain?
Pemerintah seolah kehabisan ide untuk mencari alternatif lain yang mampu meningkatkan pendapatan negara, sehingga nampak tidak ada pilihan lain yang bisa ditempuh oleh negara, selain menjadikan pajak sebagai solusi utama. Padahal sebenarnya solusi lain itu ada di depan mata, hanya saja pandangan mereka terasa buram. Alhasil, tidak mampu melihat alternatif lain dikarenakan sistem kapitalisme yang mereka emban. Tidak heran, jika pajak dan utang menjadi solusi utama sebagai sumber pemasukan negara. Dan pemerintah yang sudah terkontaminasi oleh pemikiran kapitalisme memandang seolah tidak ada jalan lain selain menaikkan tarif PPN.
Masyarakat kelas bawah tentu akan semakin terpukul jika kebijakan kenaikan tarif PPN resmi diberlakukan. Meskipun sebagian dari mereka ada yang mendapatkan bantuan sosial (bansos), baik berupa sembako maupun uang tunai dengan harapan bisa menjadi bantalan sosial agar mereka tidak terlalu terpukul secara ekonomi. Sayangnya, mekanisme bansos ternyata tidak berjalan efektif dan merata di kalangan masyarakat bawah. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa kebijakan kenaikan tarif PPN ke 12% akan menciptakan masyarakat yang jauh dari kata sejahtera dan kesejahteraan hanyalah angan-angan semata. Tentu hal ini merupakan kezhaliman yang nyata bagi rakyat. Padahal Allah SWT melarang melakukan perbuatan dzalim.
“Sesungguhnya kesalahan hanya ada pada orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran. Mereka itu mendapat siksa yang pedih.” (QS. Asy-Syura: 42).
Negara Tanpa Pajak, Islam Solusinya!
Sejatinya Islam memiliki solusi lain tanpa harus menzholimi rakyat, yaitu dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah, termasuk pengaturan dalam bidang ekonomi. Negara yang menerapkan sistem Islam yakni khilafah, memiliki 15 pos pendapatan. Di antaranya :
Pertama, bagian fai dan kharaj, terdapat ghanimah (mencakup ghanimah, fai, dan khumus), kharaj, status tanah, jizyah, fai, dan dharibah (pajak). Kedua, bagian kepemilikan umum, meliputi migas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan, mata air, hutan dan padang rumput dan seksi aset-aset yang didefensi oleh negara untuk keperluan khusus. Ketiga, bagian sedekah, meliputi zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian, dan zakat ternak.
Di dalam sistem Islam, dharibah (pajak) hanyalah pemasukan yang bersifat insidental atau di waktu-waktu tertentu saja. Khilafah tidak akan memungut pajak dari seluruh rakyatnya. Pajak hanya akan ditarik dari orang-orang kaya saja ketika kas negara sedang mengalami kekosongan. Oleh sebab itu, pajak bukanlah sumber utama pendapatan negara. Artinya, pajak dalam Islam hanya diterapkan secara temporer insidentil, bukan menjadi agenda rutin sebagaimana yang kita rasakan saat ini.
Maka ketika pemerintah ingin mengoptimalkan pendapatan dari berbagai pengelolaan sumber daya alam milik umum dan pungutan yang tidak memberatkan rakyat seperti zakat mal. Alhasil, negara akan mendapatkan pemasukan yang sangat besar sehingga tidak perlu lagi utang di berbagai negara dan menaikkan pajak untuk meningkatkan pendapatan negara.
Oleh sebab itu, sudah saatnya negeri ini berbenah secara sistemis. Dan sudah saatnya kita kembali kepada Islam sebagai satu-satunya agama yang Allah ridhoi dan satu-satunya agama yang benar di sisi Allah. Melalui khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah lah kita akan mampi menerapkan syariat Islam secara kafah dalam kehidupan serta kebijakan negara akan selalu mengacu pada hukum-hukum syariat. Dan negara juga tidak akan mudah memalak rakyatnya dalam bentuk pajak.
Wallahua'lam.