| 299 Views
Potret Buramnya Wajah Kesehatan Hari Ini, Buah dari Sistem Kapitalis

Oleh : Sintia Budiarti
Aktivis Muslimah
Tanggal 7 April 2024 diperingati sebagai “World Health Day” atau Hari Kesehatan Sedunia. Ini ditetapkan sejak WHO berdiri di tahun 1948. Tema Hari Kesehatan sedunia tahun ini adalah 'My health, my right’, atau kesehatan kita adalah hak kita.
Tema ini dipilih oleh WHO karena hak mendapatkan kesehatan yang setara masih mendapat tantangan di berbagai belahan dunia yang ditunjukkan dengan terjadinya berbagai wabah dan peningkatan berbagai jenis penyakit, terjadinya berbagai perang, kelaparan bahkan kematian, merebaknya masalah polusi udara, dan lebih dari separuh penduduk dunia belum sepenuhnya mendapat pelayanan kesehatan esensial bermutu yang diperlukan.
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof. Tjandra Yoga Aditama mengatakan “Dengan tema Hari Kesehatan Dunia tahun ini diharapkan terwujudnya kesehatan bagi semua. Didambakan agar semua kita mendapat akses pada pelayanan kesehatan yang bermutu, juga mendapat pendidikan dan informasi kesehatan yang diperlukan.”
Tjandra juga menambahkan kesetaraan kesehatan bagi semua juga termasuk memperoleh air minum yang aman dan sehat, udara bersih, makanan bergizi, rumah yang sehat, pekerjaan yang memadai dan terhindar dari berbagai diskriminasi kesehatan. (ANTARA, 7 April 2024)
Menanggapi hal di atas, ini menandakan buruknya pelayanan kesehatan yang diberikan pemerintah. Pengamat politik kesehatan dan kebijakan publik Dr. Rini Syafri memberikan tanggapan terkait memperingati Hari Kesehatan Sedunia yang diadakan oleh WHO.
Ada beberapa catatan penting. Yang pertama adalah adanya kegagalan upaya preventif (pencegahan). Potret buram wajah kesehatan dunia hari ini yaitu cerminan kegagalan upaya preventif (pencegahan) dalam pemenuhan kebutuhan dasar insan, sehubungan buruknya pemenuhan hajat hidup miliaran penduduk dunia, termasuk di negeri ini,” ungkapnya kepada MNews, Selasa (16-4-2024).
Beliau menjelaskan, “Alih-alih berperan positif dalam upaya preventif, keberadaan kapitalisme yang hari ini terwujud sebagai peradaban yang menguasai dunia justru menjadi pabrik pemicu berbagai persoalan kesehatan yang mematikan. Sebut saja krisis iklim dan lingkungan yang dibuktikan sejumlah riset berakibat buruk terhadap kesehatan masyarakat dunia.”
Demikian juga krisis air bersih, lanjutnya, krisis perumahan dan hunian yang sehat, hingga krisis asupan gizi yang memadai secara kualitas dan kuantitas, adalah buah pahit kapitalisme.
Kondisi ini menurutnya, diperparah ketika industrialisasi kesehatan yang dilegalkan negara menjadikan upaya preventif direduksi pada tataran klinis, sehingga memicu persoalan kesehatan yang lebih serius.
“Seperti mewabahnya varian virus yang berasal dari vaksin, yaitu circulating vaccine-derived poliovirus atau cVDPV, yang beberapa waktu lalu mengakibatkan Indonesia berada pada kondisi kejadian luar biasa untuk persoalan ini,” ucapnya mencontohkan. Tak hanya itu, terangnya, industrialisasi kesehatan yakni menjadikan kesehatan sebagai obyek pertumbuhan ekonomi dan komoditas bisnis juga melapangkan jalan keberadaan standar penanggulangan persoalan kesehatan yang justru memperburuk kesehatan masyarakat.
Beliau mencontohkan, seperti yang terlihat pada penanggulangan TBC dan HIV/AIDS yang dari waktu ke waktu pengidapnya makin meningkat. Demikian juga pada konsep penanggulangan penyakit menular melalui vektor patogen/zoonosis yang mereduksi persoalan sebatas aspek teknis dan mengabaikan aspek penyebab peningkatan populasi vektor.
"Juga pada demam berdarah dengue (DBD), membludaknya populasi Aedes aegypti sebagaimana ditunjukkan sejumlah riset tersebab kerusakan ekosistem hutan seiring masifnya deforestasi. Terbukti konsep "one health" yang digadang-gadangkan akan menyolusi penyakit zoonosis hanya angan-angan belaka,” bebernya.
Catatan penting yang kedua, sebutnya, kegagalan upaya kuratif UHC sebagai solusi unggulan. Menurutnya, kapitalisme memandang bahwa kesehatan merupakan persoalan ekonomi di tengah membengkaknya pengidap berbagai penyakit yang mematikan.
"Di sisi lain, keharusan negara berfungsi sebagai regulator bagi kepentingan korporasi, menjadikan konsep asuransi kesehatan wajib atau universal health coverage yang di Indonesia bernama Jaminan Kesehatan Nasional sebagai solusi andalan," urainya.
Beliau pun menyesalkan karena pada faktanya, sekalipun semua orang mendapat peluang mengakses layanan kesehatan, tetapi publik tetap terbebani mahalnya biaya pelayanan kesehatan di tengah diskriminatifnya pelayanan yang harus diterima.
“Perkara ini tidak sulit dirasakan, khususnya publik negeri ini ketika mengakses layanan kesehatan melalui skema BPJS Kesehatan. Pada akhirnya, alih-alih publik mendapatkan haknya atas kesehatan, yang terjadi justru sebaliknya. Ini adalah salah satu bahaya determinan sosial kesehatan kapitalisme yang menjadi sorotan pakar politik kesehatan dunia,” paparnya.
Kemudian beliau menyampaikan catatan penting yang ketiga, yaitu sesat pikir. Kapitalisme, sebutnya, memiliki paradigma batil bahwa hak kesehatan setiap orang akan terjamin dengan berlandaskan pada paham kebebasan.
"Inti ajaran sekularisme ini kemudian dijadikan sebagai spirit peringatan Hari Kesehatan Dunia 'My Health, My Right' yang apabila ditelisik, justru biang kerok pembinasa kesehatan dan terampasnya hak kesehatan jutaan, bahkan miliaran orang di seluruh dunia," ulasnya.
Hal ini menurutnya karena HAM membenarkan manusia menjalankan aktivitas kehidupannya semata berdasarkan nilai materi dan pada saat yang sama menjadi spirit HAM.
"Spirit ini membenarkan kehadiran negara sebagai pihak yang memfasilitasi industrialisasi hajat hidup masyarakat, baik melalui keberadaan sistem politik demokrasi atau sistem ekonomi kapitalisme telah mengakibatkan imunitas masyarakat melemah," ujarnya.
Paham kebebasan, lanjutnya, mengakibatkan manusia beraktivitas dengan pola hidup yang tidak sehat. Misalnya, kebebasan berperilaku adalah pangkal keberadaan dan meluasnya berbagai penyakit menular seksual, seperti HIV/AIDS.
"Sedangkan paham kebebasan yang menjadi spirit gender equality justru penyebab hancurnya potensi kaum perempuan untuk berproduksi secara sehat," tegasnya.
Beliau menambahkan, WHO dalam situs resminya menyatakan bahwa bekerja yang menjadi tuntutan gender equality justru penyebab para bayi tidak mendapatkan ASI yang begitu penting agar mereka tidak menjadi stunting dan terhindar dari berbagai persoalan kesehatan lain.
"Tragisnya, berbagai kebijakan prioritas pemerintah setidaknya lima tahun terakhir hingga kini, baik di sektor kesehatan maupun di luarnya, justru untuk percepatan pencapaian target industrialisasi yang berbahaya tersebut melalui agenda politik yang disebut transformasi yang dalam sektor kesehatan dikenal dengan transformasi tujuh pilar," tuturnya.
Beliau pun berkesimpulan, baik dari sisi upaya preventif maupun kuratif, kapitalisme adalah pangkal penyebab terampasnya hak kesehatan insan. "Oleh karenanya, keberadaannya harus segera diakhiri," tegasnya.
Semakin jelas sudah potret buramnya wajah kesehatan hari ini. Berbeda halnya dengan sistem politik kesehatan Islam yang mampu memenuhi hak atas kesehatan setiap orang di mana pun berada. Karena, konsep Islam memiliki pandangan begitu istimewa tentang kesehatan. Kesehatan adalah sebaik-baik nikmat yang Allah Swt. anugerahkan sesudah nikmat iman. Tidak hanya itu, Islam menjadikan kesehatan sebagai perkara yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di yaumil akhir.
Maka, setiap individu muslim dalam masyarakat Islam dengan pola kehidupannya yang khas, beraktivitas dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, sepenuhnya terikat kepada hukum syara’ dengan dorongan mencari rida Allah Ta’ala. Pada saat yang sama, negara hadir dengan penuh kesungguhan agar tujuan-tujuan yang ditetapkan syara’ dapat diraih hingga puncaknya.
Oleh karena itu, setiap individu muslim harus merawat kesehatannya dan pada saat yang bersamaan negara berada di garda terdepan dalam perkara ini.
Kehadiran negara adalah menjaga agama dengan cara memastikan setiap individu muslim senantiasa terikat penuh terhadap syariat Islam ketika beraktivitas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik.
Negara pun menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar manusia dengan sistem ekonomi Islam dan sistem pemerintahan Islam sebagai determinan sosial kesehatan yang paling menonjol dalam mewujudkan upaya preventif.
Islam hanya akan menggunakan pelayanan kesehatan terbaik untuk semua tanpa diskriminasi. Maka, hak kesehatan semua orang akan terjamin yakni dengan kehadiran khilafah. Wallahu’alam Bissawab