| 14 Views

Potret Buram Akses Pendidikan di Indonesia

Oleh : Ummu Zaidan

Data dari Beritasatu (2023) menyebutkan bahwa rata-rata lama bersekolah penduduk Indonesia hanya 9 tahun, setara dengan lulus SMP. Hal ini sangat memperihatinkan.

Angka ini mencerminkan kegagalan sistem pendidikan nasional dalam menjamin hak belajar rakyat. Penyebab utamanya adalah sistem kapitalisme yang mengomodifikasi pendidikan, menjadikannya barang mewah yang aksesnya bergantung pada kemampuan ekonomi. Padahal, 26,36 juta penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan (BPS, 2023), sehingga banyak keluarga kesulitan membiayai sekolah anak, bahkan untuk jenjang dasar. 

Program pemerintah seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan ‘sekolah gratis’ belum menjawab persoalan. Laporan Setneg (2023) mengungkap, layanan pendidikan di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) masih minim. Sekolah rusak, jarak tempuh yang jauh, dan kurangnya tenaga pengajar membuat ribuan anak terpaksa belajar di ruang tidak layak, seperti dialami siswa di Bekasi yang menggunakan perpustakaan akibat kelas roboh (Tirto, 2025). Selain itu, bantuan pendidikan sering kali bersifat parsial, hanya menyasar kalangan tertentu, dan jumlahnya terbatas. 

Sekolah Swasta Marak dan Kurikulum Berorientasi Pasar

Kapitalisasi pendidikan makin nyata dengan maraknya sekolah-sekolah swasta dengan menawarkan fasilitas lengkap dan tenaga pengajar yang berkualitas, wali murid jelas lebih memilih sekolah swasta dibanding sekolah negeri. Akan tetapi, biaya pendidikan mahal membuat hanya segelintir orang mampu menikmati layanan berkualitas sekolah swasta ini. 

Sementara itu, di sekolah negeri, anggaran pendidikan yang rendah, yakni sekitar 20% dari APBN plus korupsi yang terjadi kian memperburuk kondisi. Dalam catatan tempo.co (2025), dana bantuan pendidikan sering bocor akibat manipulasi data penerima dan kegiatan-kegiatan fiktif. Alih-alih membangun sekolah, melengkapi sarana penunjang pendidikan, atau meningkatkan kesejahteraan guru, anggaran justru habis untuk proyek fiktif ini. Sistem kapitalisme juga menjadikan utang sebagai solusi pembiayaan, menambah beban negara dan rakyat. 

Dengan biaya operasional seadanya dan tenaga pengajar yang digaji tidak layak, begitulah jalannya pendidikan di Indonesia. Guru honorer, yang jumlahnya mencapai ratusan ribu, menjadi korban langsung. Mereka bekerja dengan upah minim, seperti diungkap Kompas (2025), di mana banyak guru hanya menerima gaji transfer 500 ribu rupiah per bulan. 

Dengan segala persoalan ini, kurikulum pun didesain untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja murah, bukan membentuk manusia berilmu dan berketerampilan tinggi. Pendidikan di Indonesia didesain agar lulusan SMA/SMK langsung bisa diserap pasar kerja. Meskipun digaji murah, itu tidak apa-apa karena selaras dengan tingkat pendidikannya. 

Khilafah, Pendidikan Gratis dan Berkualitas sebagai Hak Setiap Warga

Islam menempatkan pendidikan sebagai hak dasar yang wajib dijamin negara. Dalam sistem Khilafah, negara bertanggung jawab menyediakan pendidikan gratis, merata, dan berkualitas dari tingkat dasar hingga tinggi. Dana pendidikan diambil dari baitulmal  melalui pos fai', kharaj, dan pengelolaan kepemilikan umum. Mekanisme ini menjamin keberlanjutan anggaran tanpa bergantung pada utang. 

Negara juga melarang komersialisasi pendidikan. Seluruh sarana-prasarana dikelola langsung oleh negara, termasuk pembangunan sekolah di daerah 3T dan peningkatan kesejahteraan guru. Guru tidak hanya digaji layak, tetapi juga dihargai sebagai pilar peradaban. Kurikulum dirancang untuk membentuk generasi bertakwa, berilmu, dan berketerampilan, bukan sekadar pencetak tenaga kerja. 

Abaikan Kebijakan Populisme, Perlu Perubahan Sistemis 

Kebijakan populis seperti bantuan tunai atau renovasi sekolah rusak hanya bersifat tambal sulam. Presiden Jokowi, misalnya, memang meluncurkan program bantuan 3 juta rupiah per semester untuk guru (Tempo, 2025), tetapi ini tidak mengubah struktur sistem yang kapitalistik. Selama pendidikan dikelola sebagai komoditas, selama itu pula rakyat akan terus kesulitan mengaksesnya. 

Solusi tuntas hanya mungkin dengan mengganti sistem kapitalisme dengan Khilafah. Sejarah membuktikan, selama 13 abad, Khilafah mampu menjamin pendidikan gratis dan merata, melahirkan ilmuwan seperti Al-Khawarizmi dan Ibnu Sina. Pendidikan adalah fondasi peradaban. Tanpa komitmen negara untuk menjamin akses dan kualitasnya, mustahil Indonesia bisa bersaing di tingkat global. Saatnya beralih dari sistem kapitalis yang gagal menuju sistem Islam yang paripurna, yakni Khilafah.


Share this article via

14 Shares

0 Comment