| 221 Views
Polemik Sertifikasi Halal, Buah dari Penerapan Sistem Sekuler Liberal

Oleh: Siti Zulaikha, S.Pd
Aktivis Muslimah dan Pegiat Literasi
Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru-baru ini menyoroti produk dengan nama "tuyul", "tuak", "beer", dan "wine" yang mendapatkan sertifikat halal. Menanggapi hal ini, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama memberikan klarifikasi terkait isu tersebut.
Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH, Mamat Salamet Burhanudin, menjelaskan bahwa permasalahan ini lebih berkaitan dengan penamaan produk, bukan kehalalan produknya. Menurut Mamat penamaan produk halal sudah diatur oleh regulasi melalui SNI 99004:2021 tentang persyaratan umum pangan halal, serta Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 mengenai penggunaan nama, bentuk, dan kemasan produk yang tidak dapat disertifikasi halal. Namun, Mamat mengakui bahwa masih ada produk dengan nama-nama tersebut yang mendapatkan sertifikat halal, baik dari Komisi Fatwa MUI maupun Komite Fatwa Produk Halal. Inilah.com, 2/10/2024
Sertifikasi halal pada produk-produk dengan nama produk-produk yang menunjukkan sebutan sesuatu yang tidak halal memang kini menjadi perbincangan. Mirisnya, hal tersebut dianggap aman dan tidak masalah karena zatnya halal. Apalagi adanya model selfdeclare yang merupakan klaim halal dari perusahaan itu sendiri, yang berlaku seumur hidup, tentu menimbulkan kekhawatiran atas jaminan kehalalannya.
Inilah model sertifikasi halal dalam sistem kapitalisme. Nama tidak menjadi asas kehalalan produk, padahal nama tersebut sudah jamak dipakai untuk produk tidak halal yang masih beredar di pasaran. Tentu hal ini berpotensi menimbulkan kerancuan yang dapat membahayakan, karena persoalannya adalah halal haramnya suatu benda yang dalam Islam merupakan persoalan prinsip.
Fenomena seperti ini bukan hal yang aneh muncul dalam negara yang tegak di atas asas sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan. Negara yang berperadigma sekuler bisa dipastikan abai terhadap penjagaan aqidah rakyatnya, khususnya terhadap umat Islam. Jangankan masalah penamaan yang menyamakan produk halal dan haram, hingga hari ini pemerintah masih membiarkan produk haram beredar di pasaran.
Negara hanya mencukupkan penyediaan layanan sertifikasi halal berbayar untuk membantu umat Islam membedakan produk halal dan haram. Itupun diserahkan kepada produsen, jika mereka mau dan sanggup membayar, mereka bisa menggunakan layanan tersebut untuk mendapatkan sertifikat halal. Namun jika mereka tidak sanggup, meskipun produknya halal sampai kapanpun produk yang dihasilkan tidak akan mendapatkan sertifikat halal.
Adapun terkait konsumsi, negara juga cenderung menyerahkan kepada masing-masing konsumen Muslim. Tidak ada hukum yang mengatur bagi muslim yang mengonsumsi produk haram atau produk tanpa sertifikat halal. Semua ini menjadi bukti nyata bahwa negara berperadigma sekuler gagal menjamin kehalalan setiap produk yang dikonsumsi masyarakat. Sebaliknya negara tampak memanfaatkan sertifikasi halal ini sebagai ladang bisnis, karena munculnya permintaan yang cukup besar dari kalangan muslim untuk memastikan kehalalan produk yang mereka konsumsi.
Tentu tak lekang dari ingatan kita, bahwa proses sertifikasi halal yang dulunya diinisiasi dan dikendalikan oleh MUI telah diambil alih oleh pemerintah. Sebab tidak dimungkiri bahwa sertifikasi halal menjadi ladang cuan, mengingat prosesnya yang harus dilakukan secara berkala bukan di awal saja. Artinya pemerintahan sekuler yang memberikan label atau sertifikat halal pada suatu produk sejatinya tidak didorong oleh keimanan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, namun karena faktor ekonomi dan materialistik. Oleh karena itu persoalan utamanya adalah hadirnya negara yang berparadigma sekuler, sehingga melahirkan kebijakan sekuler yang merugikan umat Islam.
Berbeda halnya dengan negara yang berasaskan akidah Islam. Negara Islam yaknik Khilafah, akan menyandarkan segala aturan dan kebijakannya pada Alquran dan Sunnah. Oleh karena itu negara hadir di tengah-tengah umat sebagai pelaksana syariat Islam. negara berperan penting dalam menjaga dan melindungi umat, salah satu implikasinya adalah negara memastikan rakyatnya jauh dari benda dan perbuatan haram. Sebagaimana diketahui, Islam memiliki aturan rinci tentang benda atau zat yang kemudian dibedakan menjadi halal (boleh dikonsumsi) dan haram (tidak boleh dikonsumsi).
Kehalalan dan keharaman suatu benda (zat) disandarkan pada dalil-dalil syariat, bukan pada akal manusia, kemanfaatan, hawa nafsu, apalagi nilai materi. Sebagai penjaga aqidah umat, Negara Islam lah yang memiliki kewajiban menjamin kehalalan benda yang dikonsumsi manusia. Jaminan ini diwujudkan negara, diantaranya dengan memberikan jaminan halal pada setiap produk yang diproduksi dan didistribusikan. Layanan tersebut menjadi tanggung jawab negara bukan produsen. Oleh karena itu, negara memberikan layanan tersebut dengan biaya murah bahkan gratis.
Negara memastikan kehalalan dan ketoyiban setiap benda atau makanan dan minuman yang akan dikonsumsi manusia. Negara akan menugaskan para qodhi hisbah untuk rutin melakukan pengawasan setiap hari ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, ataupun pabrik. Para Qadhi bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan kehalalan produk, juga tidak adanya kecurangan dan kamuflase. Jika terjadi peredaran barang haram di pasaran, baik pelakunya muslim ataupun non muslim maka negara memberlakukan sanksi ta'zir kepada mereka.
Adapun bagi ahli dzimmah (kafir dzimmi), negara membebaskan mereka mengkonsumsi makanan atau minuman menurut agama merek. Namun produk-produk tersebut hanya dapat diperjualbelikan diantara mereka, bukan di tempat umum, baik toko (pasar umum). Sungguh hanya dengan penerapan syariat Islam oleh negara berparadigma Islam yang akan memberikan rasa aman (tenang) di dalam jiwa seluruh rakyat negara Khilafah. Sebab umat Islam dijamin keterikatannya dengan syariat Islam Kaffah oleh negara.
Wallahualam bissawab