| 68 Views

Polemik Penundaan Pernikahan Usia Dini Dalam Kapitalisme

Oleh : Rosmili

Menikah merupakan dambaan setiap orang tanpa terkecuali.  Sakinah, mawaddah dan rahmah adalah salah satu tujuan dalam pernikahan. Setiap insan mendamba kehidupan rumah tangga yang harmonis, penuh kasih dan cinta. Ketika pernikahan mencapai derajat ini, bisa dikatakan bahwa ia telah membangun keluarga Samara (sakinah mawaddah wa rahmah) dan mendapat keberkahan. Sayangnya tidak semua orang sanggup untuk segera melangsungkan peristiwa sakral yang membangun keluarga samara .  Ada banyak faktor yang menghalanginya. Ada yang terbentur masalah biaya, belum adanya calon, hambatan dari orang tua, dan lainnya. Pernikahan bukanlah tentang  romantisme belaka.  Menikah tentu membutuhkan ilmu dan kesiapan. Sayangnya, kemudian banyak anak yang mengajukan dispensasi agar bisa nikah dini sebelum berumur 19 tahun. Dispensasi ini diberikan dengan menjalani sidang di pengadilan.

Dilansir dari detik.com (13/1), Pengadilan Agama (PA) Ponorogo menerima 191 permohonan anak menikah dini sepanjang tahun 2022 lalu. Pemohon dispensasi nikah tersebut kebanyakan berusia antara 15-19 tahun dengan jumlah 184 perkara. Kemudian, sebanyak 7 pemohon dispensasi nikah berusia di bawah 15 tahun. Dari situ bisa dilihat bahwa jenjang pendidikan terakhir mereka yang mengajukan dispensasi nikah adalah SMP sebanyak 106 perkara. Pemohon dispensasi nikah dengan jenjang pendidikan SMA sebanyak 25 perkara dan jenjang pendidikan terakhir SD sebanyak 54 perkara. Sisanya sebanyak 6 perkara tidak bersekolah (kompas.com, 17/1/2023).

Padahal resiko kematian pada anak yang menikah pada usia 15-19 tahun dua kali lebih tinggi. Selain itu, remaja perempuan yang menikah usia dini ituberisiko mengalami masalah kesehatan reproduksi, seperti kanker leher rahim, trauma fisik pada organ intim, dan kehamilan berisiko tinggi-preklampisa, bay premature, dan kematian ibu. Adapun pada sisi sosial, pernikahan dini akan berdampak buruk pada psikologis remaja karena emosi mereka tidak stabil dan cara piker belum matang. 

Yohana menyebut pihaknya sudah melakukan segala cara dan upaya untuk mengedukasi para orang tua soal pernikahan dini. Bahkan, sudah ada ada gerakan stop perkawinan anak yang selalu disosialisasikan. Selain sosialisasi, Yohana menyebut Kementerian PPA dan Kementerian Agama berama LSM tengah membicarakan tentang revisi UU 1/1974 tentang Perkawinan. "Kami juga sudah mendekati Menteri Agama untuk melihat dan merevisi kembali UU Perkawinan Nomor 1/1974," jelasnya.

Revisi itu akan fokus pada batas usia minimal perkawinan. Batas yang ada sekarang yaitu 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. "Bisa 20 tahun untuk anak perempuan dan 22 tahun untuk anak laki-laki, bisa seperti itu," demikian Yohana Yembise. (nusantara.rmol.com)

Menurut Yohana, batas usia pernikahan harus dinaikkan karena bertentangan dengan UU Perlindungan Anak. Kajian kementeriannya, pernikahan usia anak juga banyak berujung pada kasus kekerasan, perceraian, meningkatkan angka putus sekolah, hingga menurunkan indeks pembangunan manusia)  maupun mencegah pernikahan dini dengan memperketat syarat-syarat pengajuannya. 

Pro Kontra Pernikahan dini 

Pro kontra mengenai pernikahan dini masih terus bergulir di tengah-tengah masyarakat. Banyak para ahli yang berpendapat bahwa pernikahan dini sangat beresiko terutama bagi perempuan.

Pernikahan dini pada umumnya akan menjadikan para remaja putus sekolah dan tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.  Malah bisa jadi para remaja perempuan harus berkutat dengan anak dan urusan rumah sehingga tidak memiliki produktivitas dalam kacamata ekonomi.  Hal ini dalam sistem kapitalis dianggap sebagai hilangnya sumberdaya potensial, yang akan berdampak dalam perhitungan pendapatan perkapita sebagai indikator kesejahteraan negara.

Itulah sebabnya, penghapusan pernikahan dini masuk dalam agenda internasional SDGs (Sustainable Development Goals) Tujuan 5 (Goal 5), yakni mencapai kesetaraan gender; memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan; terhapusnya segala praktik yang membahayakan seperti perkawinan anak, dan sunat perempuan.

Ketika muncul fakta angka dispensasi nikah tinggi, bisa dipahami kepanikan Pemerintah karena program SDGs yang telah diratifikasi terancam tidak bisa direalisasikan.  Langkah yang diambil kemudian adalah memperketat syarat dispensasi nikah sebagai upaya menekan pernikahan dini. Bisa diprediksi bahwa solusi ini tidak akan mampu menyelesaikan masalah tingginya dispensasi nikah. Malah boleh jadi pergaulan bebas antar remaja akan merebak. Angka kehamilan di luar nikah terus meningkat. Fakta ini akan disembunyikan di balik turunnya angka dispensasi nikah.

Sejatinya permasalahan rumah tangga dialami oleh hampir setiap pasangan yang sudah menikah, bahkan pasangan yang menikah di usia dewasa pun tidak bisa menjamin bahwa dalam rumah tangganya akan bebas dari berbagai permasalahan.

Berbagai permasalahan seperti kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan, perceraian, stunting, tingginya angka kematian ibu, dan lain sebagainya, bukanlah disebabkan karena pernikahan di usia dini. Hal ini tentunya sangat ironis jika kawin anak dijadikan sebagai kambing  hitam dan terus dipertanyakan atas segala permasalahan yang menimpa keluarga, perempuan dan generasi. Padahal pernikahan tidak berbahaya. Sementara di sisi lain remaja justru dihadapkan pada derasnya arus pornografi dan kebijakan pemerintah yang pro seks bebas di kalangan pelajar. Maka bukan sekadar anggapan yang keliru jika hari ini menikah dini dihalangi, sedangkan seks bebas malah dilegalisasi dan difasilitasi. 

Pembatasan usia nikah sesungguhnya memberi peluang besar bagi perilaku seks bebas, meningkatnya prostitusi di dunia remaja, kebebasan bertingkah laku seperti pacaran dan lainnya merupakan masalah yang lebih serius dibandingkan dengan permasalahan pembatasan usia pernikahan.Hal ini menunjukan bahwa persoalan yang lebih urgen bukanlah pembatasan usia perkawinan karena alasan masih dalam kategori anak, dan termasuk kekerasan terhadap anak, namun pembatasan ini semakin menimbulkan  kerusakan kepada generasi yang semakin membiarkan penyaluran naluri seksual dengan cara menyimpang seperti pacara dan seks bebas.

Gempuran budaya seks bebas dan tontonan yang mengumbar aurat dan syahwat senantiasa bergeliat di layar kaca dan di media sosial, abainya negara terhadap perlindungan terhadap generasi terhadap budaya Barat semakin memperparah kerusakan generasi. maka generasi membutuhkan benteng yang kuat (Yaitu Iman) untuk menghindari godaan-godaan yang selalu menghampiri.

Akar Masalah

Satu realitas yang umat Islam tidak boleh mengabaikan bahwa  berbagai permasalahan tersebut sejatinya merupakan akibat dari di terapkannya sistem Kapitalisme.  Termaksuk kriminalisasi pernikahan dini yang  sebenarnya bagian dari strategi kapitalisasi generasi yang diaruskan rezim global atau korporasi global.

Sistem kapitalisme dengan asas sekulernya telah memisahkan agama dari kehidupan, hal ini menyebabkan masyarakat terjauhkan dari pemahaman-pemahaman Islam termasuk di dalamnya hukum-hukum seputar pernikahan dan rumah tangga. Banyak pasangan yang sudah menikah namun tidak memahami hak dan kewajiban masing-masing dalam berumah tangga, baik hak dan kewajiban sebagai seorang suami maupun hak dan kewajiban sebagai seorang istri. Hal ini mengakibatkan di dalam kehidupan rumah tangga rentan timbul konflik dan tidak sedikit berujung pada perceraian.

Terlebih dengan konsep Hak Asasi Manusia (HAM) telah berhasil meliberalisasi anak. Dengan dalih HAM anak bebas bergaul, sementara orang tua tidak berani bersikap tegas terhadap anak, dengan alasan takut melanggar HAM. Konsep hak asasi anak ini lahir dari Barat sehingga jelas asasnya berasal dari ideologi kapitalisme. Ideologi ini memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada kebebasan individu untuk bertingkah laku, beragama, berpendapat dan terhindar dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Konsep HAM ini tentu saja membatasi wewenang orang tua dan guru untuk mendidik, mengarahkan, membentuk kepribadian anak, dan juga membatasi masyarakat untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar.

Nilai-nilai liberalisasi (kebebasan) ini telah menyihir generasi muda dan berhasil menguasai benak mereka. Sehingga orientasi seks mereka diperturutkan dengan bebas sesuai konsep kebebasan berperilaku. Oleh karena itu,  pernikahan dini bukanlah faktor utama yang menyebabkan munculnya berbagai permasalahan di tengah-tengah masyarakat termasuk di dalam kehidupan rumah tangga. Penerapan sistem kapitalismelah dengan idenya yang rusak dan merusak merupakan ‘biang kerok’ dari segala permasalahan yang ada.

Pernikahan Usia Dini Dalam Islam

Islam memandang menikah adalah ibadah yang disunnahkan. Di dalam Islam tidak ada larangan bagi masyarakat untuk menikah di usia dini, selama syariat dan rukunnya terpenuhi maka pernikahan tersebut sah. Syekh Taqiyuddin An Nabhani dalam Kitab An Nidzam Al Ijtimai Fii Al Islam menjelaskan bahwa, pernikahan bukan perkara batasan usia dini atau maksimal, melainkan sah atau tidaknya menurut hukum syariat Islam. Bahkan Rasulullah SAW senantiasa mendorong para pemuda untuk menyegerakan menikah, namun jika belum mampu dianjurkan untuk berpuasa. Hanya saja baik orang tua, lingkungan masyarakat, maupun negara, harus mempersiapkan agar generasi muda yang akan menikah siap untuk menjalankan amanahnya sebagai seorang suami, sebagai seorang istri, maupun sebagai orang tua untuk anak. 

Orang tua sebagai pendidik pertama bagi anak-anak di rumah harus menanamkan nilai-nilai Islam kepada anak-anak sejak dini, sehingga akan terbentuk kepribadian Islam (Syaksiah Islamiyah) pada diri anak-anak, memahami bahwa setiap perbuatannya akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT, anak-anak pun memiliki standar yang jelas yakni halal dan haram dalam melakukan setiap perbuatan.Lingkungan masyarakat tempat dimana anak anak tumbuh dan berinteraksi harus menjalankan fungsi sosialnya yakni melakukan amar ma’ruf apabila terjadi kemaksiatan.

Sementara negara sebagai pilar utama dalam menjaga masyarakat akan menciptakan sistem pendidikan yang berasaskan aqidah Islam yang tidak hanya mengajarkan ilmu sains dan teknologi, namun juga akan mengajarkan nilai-nilai Islam kepada anak-anak. sehingga akan lahir generasi yang tidak hanya menguasai ilmu sains dan teknologi namun juga memiliki kepribadian Islam yang tangguh dan siap menjalankan berbagai ibadah termasuk menikah dan menjalankan kewajibannya sebagai orang tua.

Seorang muslim yang akan menikah, wajib ‘ain baginya untuk mengetahui hukum-hukum seperti hukum khitbah, akad nikah, nafkah, hak-kewajiban suami istri, talak, rujuk, dan sebagainya. Kesiapan nikah dalam tinjauan fikih paling tidak diukur dengan 3 (tiga) hal: kesiapan ilmu, kesiapan materi/harta, dan kesiapan fisik/kesehatan. Untuk mengakhiri serangan terhadap syariat pernikahan ini, diperlukan pemberlakuan syariat Islam secara sistem kehidupan Islam kaffah agar semua elemen masyarakat bisa merasakan secara langsung bagaimana indahnya Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Dengan demikian jelas, pernikahan dini tetap sebagai suatu perbuatan yang hukumnya boleh. Tentu selama tidak ada paksaan dan telah ada kesiapan dari kedua belah pihak yang akan menikah. Kesiapan ini dari sisi kesiapan ilmu, kesiapan materi (nafkah) serta kesiapan fisik.

Bahkan menikah dini dianjurkan oleh para ulama karena akan menjaga kesucian anak dari syahwat. Hal demikian akan bisa mencegah anak melakukan pergaulan bebas.  Dengan demikian tidak selayaknya solusi bagi tingginya dispensasi nikah adalah pencegahan pernikahan dini, melainkan mengganti sistem kapitalis-liberal-sekular yang diterapkan saat ini menjadi sistem Islam.


Share this article via

30 Shares

0 Comment