| 127 Views

Pesta Demokrasi Mimpi Para Oligarki Menguasai Negeri

Oleh : Sukey
Aktivis Muslimah Ngaji

Ajang lima tahunan Indonesia telah dimulai, euphoria pesta sudah dapat dirasakan. Representasi pesta demokrasi sudah dapat dilihat dari antusiasme dan kegembiraan masyarakat dalam mengikuti segala bentuk kegiatan yang dibuat oleh masing-masing pasangan calon. Di tahun 2024 ada tiga pasangan calon yang maju untuk menjadi presiden dan wakil presiden, yaitu : Anies Baswedan dengan Cak Imin, Prabowo Subianto dengan Gibran, dan Ganjar Pranowo dengan Mahfud MD (kompasiana;12/02/2022224).
Dilansir dari Kompas bahwa terdapat perwakilan dari sedikitnya sembilan kampus di Indonesia yang ramai-ramai mengkritisi jalannya demokrasi pada pemerintahan Jokowi (4/2/2024). Terdiri dari Guru Besar dan Mahasiswa dari universitas ternama di Indonesia.  Mereka menyoroti sikap Jokowi pada Pemilu 2024 bahwa seharusnya pesta demokrasi digelar secara demokratis dan presiden tidak ikut campur dalam perhelatannya.

Pada Petisi Bulaksumur di UGM 31 Januari 2024 lalu, para Guru Besar, Dosen, dan Mahasiswa merasa prihatin terhadap penyimpangan prinsip-prinsip moral, demokrasi, kerakyatan serta keadilan sosial. Tidak ketinggalan mereka juga menyinggung adanya pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi, kenetralan ASN, serta penyalahgunaan kekuasaan dan pemanfaatan sumber daya negara untuk kepentingan politik praktis.

Pesta demokrasi tahun ini benar-benar meriah dan money politik pun kian terasa. Hal tersebut terbukti dari hasil temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terhadap adanya aliran dana sebesar Rp195 miliar dari luar negeri ke 21 rekening bendahara parpol. Aliran dana ini meningkat pesat dibandingkan tahun lalu, yakni sebesar Rp83 miliar.

Bukan hanya pada parpol, PPATK pun menemukan transaksi mencurigakan sebesar Rp51 triliun ke sejumlah Daftar Caleg Terdaftar (DCT). Aliran dana dari luar negeri senilai Rp7,7 triliun ke 100 DCT dan transaksi pembelian barang sekitar Rp592 miliar dari 100 DCT yang terkait dengan kampanye (Metro TV;14/01/2024). 

PPATK juga menemukan adanya tren peningkatan pembukaan rekening baru menjelang pemilu 2024. Tidak tanggung-tanggung, tercatat ada 704 juta pembukaan rekening baru yang diduga berkaitan dengan kontestasi politik. PPATK menyebut, tujuan mengungkap aliran dana luar negeri ke parpol dan DCT adalah sebagai bentuk kepedulian dalam menjaga demokrasi Tanah Air.

Keterlibatan para oligarki

Aliran dana pemilu dari berbagai pihak, termasuk asing, dapat menyebabkan kedaulatan bangsa tergadai. Intervensi asing dan konflik kepentingan dalam tubuh pemerintahan akan sulit dihindari sebab politik transaksional memang menjadi spirit dalam pemilu demokrasi. Ia yang mampu membayar besarlah yang kepentingannya akan diprioritaskan.

Inilah yang melahirkan politik oligarki karena pada hakikatnya yang berkuasa dan menentukan kebijakan dalam sistem ini adalah segelintir elite yang telah menyuntikkan dananya pada parpol dan para politisi. Wajar saja Omnibus Law Cipta kerja disahkan walau mayoritas masyarakat menolaknya sebab kebijakan ditetapkan memang berdasarkan kepentingan pemilik modal.

Kebijakan politik oligarki adalah buah dari sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme. Politik demokrasi—yang pemilu menjadi salah satu pilarnya—membutuhkan biaya mahal untuk bisa menduduki posisi anggota dewan. Di sinilah terbuka peluang transaksional antara partai politik bersama anggota legislatifnya, dan pengusaha yang siap mendanai.

Pada proses inilah terjadi “deal-dealpolitik”. Anggota dewan yang terpilih bersama parpolnya akan menggunakan posisi mereka di parlemen (DPR) untuk “mengegolkan” UU sesuai kepentingan pengusaha yang mendanai (sponsor). Alhasil, dengan dalih hasil dari legislatif, UU yang punya kepentingan itu menjadi legal walaupun merugikan rakyat banyak.

Parpol dalam sistem ini akan kehilangan idealismenya, bahkan rawan dibajak oleh kepentingan pemodal. Oleh karena itu, siapa pun nanti yang terpilih, sejatinya tetap oligarkilah pemenangnya. Kontestan yang menang harus siap melayani oligarki, barulah bisa menyelesaikan visi misinya. Itu pun jika ada. Ini karena setelah kepentingan pemilik modal, pemimpin terpilih harus juga mengabdi pada parpol pengusung, diakui ataupun tidak.

Tidak hanya itu, mayoritas rakyat juga dibuat terpaksa menerima segala UU yang memihak oligarki karena rakyat sudah dicekoki paradigma pembangunan alakapitalisme. Dalam sistem ini, visi negara adalah mengejar pertumbuhan ekonomi dan itulah indikator keberhasilan pembangunan negara. Wajar jika para investor (pengusaha) menjadi anak emas pembangunan. Dengan dalih pembangunan, lagi-lagi pengusaha punya legitimasi merampas lahan untuk bisnis mereka.

Dari kondisi tersebut, jelas sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme adalah “ibu-bapak” yang melahirkan politik oligarki. Untuk melepaskan diri dari jerat politik oligarki, tentu rakyat harus melepaskan dirinya dari sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme secara bersamaan, tidak bisa salah satunya saja. Ini karena keduanya adalah paket atau bisa disebut “saudara kembar” dalam pilar peradaban ideologi kapitalisme.

Pemilu dalam Islam

Berawal dari dorongan keimanan, seorang politikus muslim akan berpolitik sebagaimana ajaran Islam. Islam memandang politik sebagai upaya mengurusi urusan rakyat, bukan sebatas ingin meraih kekuasaan dan melancarkan kepentingan pribadi.

Para politikus Islam akan mengharapkan rida Allah Taala ketika mengurusi urusan rakyat. Mereka paham ketika menjadi pemimpin dan wakil rakyat, tanggung jawabnya sangatlah besar. Tidak hanya di dunia, mereka juga akan diminta pertanggungjawaban di akhirat. Oleh karena itu, mereka tidak akan berlomba-lomba meraih kekuasaan karena nafsu.

Dalam Islam, pemimpin setidaknya harus memenuhi tujuh syarat sah pengangkatan (in’iqad), yakni muslim, laki-laki, balig dan berakal, adil (siap menerapkan hukum-hukum Islam alias terikat halal-haram), merdeka (tidak di bawah tekanan atau disetir pihak ketiga), juga tentu harus memiliki kapabilitas. 

Semua syarat ini mutlak ada pada penguasa karena akad pengangkatan (baiat) terkait tugas kepemimpinan, yakni mengurus dan menjaga rakyat berdasarkan hukum-hukum syariat. Oleh karenanya, para pemimpin Islam benar-benar akan mendedikasikan dirinya demi kepentingan rakyat berdasar tuntunan syariat. Sementara itu, rakyat siap menyerahkan ketaatan mereka juga berdasarkan tuntunan syariat. Syariat inilah yang akan mendatangkan rahmat, karena setiap permasalahan kehidupan terpecahkan dengan pemecahan yang berasal dari pembuat syariat, yakni Allah Taala, Zat Pencipta Alam Semesta.

Dalam upaya memilih pemimpin, Islam akan memilih cara yang simpel, murah, dan mudah. Kalaupun ada pemilu, Islam akan membuat cara itu dilakukan secara sederhana, mudah, dan murah. Para panitianya pun akan menjalankan amanah itu sebagai dorongan keimanan, bukan keuntungan. 

Walhasil, pemilu akan berjalan dengan jujur dan damai karena siapa pun yang menang akan amanah, dan yang kalah akan menerima dengan lapang dada. Hanya saja, pemilihan pemimpin melalui pemilu ini hanya dapat berlangsung benar jika ada di naungan sistem pemerintahan Islam.


Share this article via

66 Shares

0 Comment