| 12 Views
Perbedaan Standar Kemiskinan Nasional dan Dunia, Kemiskinan Tersembunyi Dibalik Angka

Oleh : Siti Rodiah
Baru-baru ini Bank Dunia dalam laporan nya yang berjudul "Macro Poverty Outlook" edisi April 2025 menetapkan bahwa penduduk Indonesia yang memiliki pengeluaran kurang dari USD 6,85 atau sekitar Rp113.777 per hari (kurs Rp16.606) tergolong sebagai kelompok miskin di negara berpendapatan menengah atas. Berdasarkan standar ini, sekitar 60 persen penduduk Indonesia, setara 171,9 juta jiwa, masih tergolong miskin. Meski begitu, jumlah tersebut mengalami penurunan tipis dari 61,8 persen pada tahun 2023.
Indonesia sendiri kini resmi masuk dalam kelompok negara berpendapatan menengah atas, setara dengan Malaysia dan Thailand. Namun dengan klasifikasi ambang kemiskinan baru yang lebih tinggi dari sebelumnya, proporsi warga miskin secara statistik melonjak dibandingkan standar lama. Jika memakai ambang kemiskinan lama dengan batas negara berpendapatan menengah bawah, yaitu USD 3,65 atau sekitar Rp60.600 per hari, maka jumlah warga miskin Indonesia turun menjadi 15,6 persen atau sekitar 44,3 juta jiwa. Bahkan, jika diukur dari garis kemiskinan ekstrem — pengeluaran di bawah USD 2,15 per hari — jumlahnya hanya 1,3 persen dari total populasi. (Liputan6.com, 30/4/2025)
Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan per September 2024 hanya 24,06 juta orang atau 8,57 persen. Angka ini jauh di bawah proyeksi Bank Dunia karena perbedaan standar pengukuran. Dikutip dari tirto.id (2/5/2025), Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, menjelaskan perbedaan signifikan dalam cara penghitungan jumlah penduduk miskin oleh lembaganya dan Bank Dunia. Ini merespons data Macro Poverty Outlook April 2025, bahwa penduduk miskin di Indonesia mencapai 60,3 persen dari total penduduk atau sebesar 171,8 juta jiwa.
Menurut Amalia, disparitas tersebut terjadi karena adanya perbedaan standar garis kemiskinan yang digunakan dan untuk tujuan yang berbeda. Versi BPS sendiri, angka kemiskinan hanya berada di 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa per September 2024. "Bank Dunia memiliki 3 pendekatan atau standar garis kemiskinan untuk memantau pengentasan kemiskinan secara global dan membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara,” kata dia, dalam keterangan resmi, dikutip Jumat (2/5/2025).
Perbedaan standar pengukuran kemiskinan nasional yang begitu jauh (jomplang) antara Bank Dunia dan BPS tentu saja menimbulkan tanda tanya besar. Apakah data yang selama ini dipublikasikan sudah sesuai dengan realitas di lapangan? Ternyata masih banyak rakyat yang tidak tergolong miskin menurut data resmi, tetapi hidupnya tetap bergantung pada bantuan sosial, bekerja serabutan tanpa adanya jaminan dan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok nya sehari-hari. Jadi bisa disimpulkan, seseorang bisa dikategorikan tidak miskin secara nasional, tetapi masuk dalam kategori miskin ekstrem secara global. Oleh karena itu butuh data yang akurat terhadap realitas kemiskinan di lapangan.
Jika kita telaah, adanya perbedaan standar kemiskinan, bukan hanya soal teknis perhitungan angka statistik saja, tetapi mencerminkan persoalan yang bersifat sistemis. Hal ini terjadi akibat penerapan sistem kapitalisme sekulerisme dalam tata kelola ekonomi dan sosial. Dalam sistem kapitalisme, kemiskinan seringkali dipandang hanya sebuah angka yang harus dikendalikan demi menjaga stabilitas pasar, bukan sebagai sebuah permasalahan struktural yang perlu diselesaikan secara tuntas.
Dengan standar rendah tersebut, negara bisa mengklaim sukses "mengurangi kemiskinan", padahal itu hanya manipulasi angka untuk menarik investasi, mendapatkan pinjaman luar negeri atau menjaga citra dihadapan pasar global. Dalam kapitalisme, negara terjebak dalam pandangan makro dan investasi semata, namun mengabaikan distribusi kekayaan dan menciptakan kesenjangan sosial yang terus melebar. Alhasil, sistem kapitalisme menimbulkan ketimpangan sosial karena menitikberatkan pada berkumpulnya modal oleh segelintir elite. Jadi tidak mengherankan jika standar kemiskinan disusun agar angka kemiskinan tampak seakan-akan menurun meskipun kualitas hidup masyarakat tidak banyak berubah.
Inilah fakta kehidupan rakyat dalam negara yang menerapkan sistem kapitalisme, penguasa tidak berperan sebagai penanggung jawab langsung atas kebutuhan rakyat nya, kehadiran nya hanya sebagai fasilitator pasar dan pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, distribusi kekayaan menjadi sangat timpang. Kapitalisme adalah sistem batil karena berasal dari akal manusia. Wajar saja jika penerapan nya hanya menyengsarakan kehidupan manusia.
Berbeda jauh dengan sistem Islam yang diterapkan secara kaffah melalui institusi negara khilafah. Dalam sistem ekonomi Islam telah diatur bahwa pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu adalah tanggung jawab negara, bukan diserahkan kepada mekanisme pasar atau korporasi.
Rasullullah Saw bersabda :
Rasulullah saw. bersabda, “Seorang imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus.” (HR Bukhari dan Muslim).
“Tidak seorang hamba pun yang diserahi oleh Allah untuk memelihara urusan rakyat, lalu ia tidak melingkupi rakyat dengan nasihat (kebaikan), kecuali ia tidak akan mencium bau surga.” (HR Bukhari).
Dalam hal ini, negara bertanggung jawab bahwa kebutuhan pokok setiap warga negara seperti makanan, sandang, dan papan terpenuhi secara layak. Jika individu tidak mampu memenuhinya melalui usahanya sendiri, maka tanggung jawab dialihkan kepada kerabat dekat, masyarakat, dan terakhir negara. Negara tidak boleh membiarkan satu pun orang kelaparan.
Negara juga memiliki sistem distribusi kekayaan yang adil, bukan sebatas pemerataan kesempatan. Dalam sistem ini, sumber daya alam seperti tambang, hutan, air, dan energi adalah milik umum yang tidak boleh dimiliki oleh individu, swasta maupun asing. Negara harus mengelola sumber daya alam ini dan hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan umat.
Zakat sebagai instrumen fiskal Islam juga menjadi pilar penting dalam menanggulangi kemiskinan. Dalam sistem Islam, zakat didistribusikan langsung kepada delapan ashnaf, termasuk di antaranya fakir dan miskin. Zakat diberikan secara terstruktur dan berkala bukan dalam bentuk bantuan sesaat. Bukan hanya zakat, pos pemasukan dalam sistem islam ada dari fa'i, kharaj, jizyah dan kepemilikan umum yang semuanya dikelola untuk menjamin kemakmuran rakyat.
Islam memandang rakyat sebagai amanah yang wajib dijaga dan disejahterakan. Sistem ini telah terbukti selama lebih dari 13 abad. Oleh karena itu, solusi terhadap persoalan kemiskinan hari ini bukan hanya soal mengganti standar angka, melainkan mengubah sistem ekonomi secara menyeluruh dari kapitalisme menuju sistem Islam.
Wallahu a'lam bisshawab