| 283 Views

Pemberantasan Mafia Tanah

Oleh : Sarah
Mahasiswa

Dilansir dari BANDUNG, METROSULAWESI.NET - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) kembali mengungkap kasus tindak pidana pertanahan yang dilakukan oleh mafia tanah. Dalam konferensi pers yang berlangsung di Mapolda Jawa Barat, Jumat (18/10/2024), ia membeberkan kasus di Kota dan Kabupaten Bandung yang telah mengakibatkan kerugian, baik bagi masyarakat maupun bagi negara dengan total senilai Rp3,65 triliun.

Menteri AHY Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Mengatakan “Yang pertama, kita menyelamatkan masyarakat dari ketidakadilan. Yang kedua, mencegah semakin berkembangnya situasi yang tidak menentu. Dampaknya bukan hanya ekonomi, tapi juga sosial dan kita bisa menyelamatkan potensi kerugian negara dan masyarakat yang jumlahnya besar, lebih dari Rp36 triliun karena ini lokasi (tanah) sangat strategis yang kalau dikembangkan punya nilai yang tinggi."

Hanya saja, akankah mafia tanah habis dibabat dengan model dan pengurusan sistem kapitalis yang banyak menghalalkan segala cara demi memuaskan kepentingan individu? Jika hanya satu atau dua oknum, mungkin kesalahan individunya. Akan tetapi, jika sudah sindikat dan memiliki jaringan mafia, yang patut dirombak total adalah sistem birokrasi yang menyuburkan perilaku tercela tersebut.

Di sisi lain, banyak fenomena perampasan tanah warga yang mengatasnamakan proyek negara, seperti kasus Wadas yang kembali memanas. Dalam laporan Konsorsium Pembaharuan Agraria yang pernah dirilis, menunjukkan bahwa konflik agraria masih tinggi terutama akibat proyek strategis nasional, seperti perkebunan, pertambangan, dan perhutanan.

Pada 2021, KPA mencatat proyek strategis nasional menyebabkan 38 konflik agraria, terutama karena pengadaan tanah, seperti pembangunan jalan tol, bendungan, pelabuhan, dan kereta api.

Begitu juga pengadaan tanah untuk kawasan industri, pariwisata, hingga pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK). Lonjakan konflik dimulai dari ambisi percepatan proyek PSN, didukung beberapa regulasi guna mempercepat eksekusi dengan mengabaikan hak-hak warga atas lahan. (Mongabay, 25/01/2022)

Kasus mafia tanah maupun konflik agraria sama-sama merugikan rakyat dan keduanya bermula dari pejabat negara yang kurang amanah dan serakah. Meski sudah ada regulasi dan lembaga yang mengatur pertanahan, faktanya masalah pertanahan masih menjamur.

Apalagi jika regulasi pertanahan terkerangka dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja yang kontroversial. Dalam UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, klaster “Lahan dan Hak atas Tanah” diimplementasikan dalam lima Peraturan Pemerintah (PP) yang baru.

Siapa yang tidak kenal dengan beleid sapu jagat tersebut? Penyusunan hingga pengesahannya memunculkan kontroversi berkepanjangan. Oleh karenanya, kasus mafia tanah tidak akan terselesaikan tanpa hukum baku mengenai kepemilikan tanah dan penggunaannya.

Begitu pula dengan konflik agraria, juga tidak akan tuntas dengan program reformasi agraria atau bank tanah. Selama paradigma pelayanan kepentingan rakyat berkiblat pada kapitalisme yang penuh manipulasi, mafia-mafia tanah itu akan terus berulang. Konflik agraria juga akan terus berlanjut.

Juga dengan model penegakan hukum yang tidak berkeadilan, siapa yang bisa menjamin pemberantasan mafia tanah akan terbongkar hingga pucuk pimpinan? Sejauh ini, kasus-kasus yang melibatkan mafia hanya berhenti di bagian hilir saja, sedangkan hulunya, yaitu dalang utama, masih gelap dan tidak tersentuh.

Hukum pertanahan dalam Islam diartikan sebagai hukum Islam seputar tanah terkait hak kepemilikan, pengelolaan, dan pendistribusian tanah. Dalam Islam, hukum pertanahan dikenal dengan istilah “ahkam al-aradhi”.

Pada hakikatnya, tanah merupakan bagian dari alam semesta milik Allah Taala. Allah Swt. berfirman, “Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Hadid [57]: 2)

Dari sini, kita bisa mengambil dua hal penting, yaitu pemilik hakiki tanah adalah Allah Swt. dan Dia memberikan keleluasaan bagi manusia untuk mengelola tanah menurut hukum-hukum-Nya. Oleh karenanya, pengaturan dan pengelolaan tanah harus ditetapkan berdasarkan hukum Allah semata.

Menurut hukum Islam, tanah dapat dimiliki dengan enam cara, yakni melalui (1) jual beli, (2) waris, (3) hibah, (4) ihyaul mawat (menghidupkan tanah mati), (5) tahjir (membuat batas pada tanah mati), dan (6) iqtha’ (pemberian negara kepada rakyat).

Mengenai ihya’ul mawat, yaitu menghidupkan tanah mati maksudnya ialah memanfaatkan tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan seorang pun, yakni dengan cara menanaminya dengan pohon, bercocok tanam, atau membangun bangunan di atasnya.

Islam menetapkan hak kepemilikan tanah akan hilang jika tanah tersebut dibiarkan atau ditelantarkan selama tiga tahun berturut-turut. Negara akan memberikan tanah tersebut kepada orang lain yang mampu mengelolanya.

Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang menghidupkan tanah mati, tanah itu menjadi miliknya.” (HR Bukhari)

Ini artinya, kepemilikan tanah bertujuan untuk memanfaatkan secara produktif, bukan bersifat konsumtif. Fakta hari ini, betapa kita banyak menjumpai tanah-tanah telantar bertahun-tahun tidak dimanfaatkan meski ada pemiliknya.

Adapun mengenai tahjir artinya membuat batas pada suatu tanah. Nabi saw. bersabda, “Barang siapa membuat suatu batas pada suatu tanah (mati), tanah itu menjadi miliknya.” (HR Ahmad)

Sedangkan iqtha’ artinya pemberian tanah milik negara kepada rakyat. Pada saat tiba di Madinah, Rasulullah saw. pernah memberikan tanah kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab. Rasul juga pernah memberikan tanah yang luas kepada Zubair bin Awwam.

Syariat Islam menetapkan pemilik tanah pertanian harus memanfaatkan tanahnya agar produktif. Jika pemilik tanah tidak mampu mengelolanya, dianjurkan memberikannya kepada orang yang lebih mampu. Ini sebagaimana sabda Nabi saw., “Barang siapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya atau memberikan kepada saudaranya.” (HR Bukhari)

Demikianlah beberapa pengaturan pertanahan dalam perspektif Islam. Pengaturan syariat Islam tentu akan memberikan rasa keadilan bagi setiap umat manusia. Bukan hanya masalah tanah, semua bagian penting dalam penyelesaian masalah manusia akan terurai dengan penerapan sistem Islam kafah.


Share this article via

48 Shares

0 Comment