| 32 Views
Pelaparan Sistemis di Gaza, Hanya Jihad dan Khilafah Solusinya

Oleh: Hanum Hanindita, S.Si
Penulis Artikel Islami
Tangis anak-anak Palestina adalah saksi bisu kezaliman yang tak jua sirna. Di reruntuhan Gaza, tersimpan harapan yang tak pernah padam, meski perjalanan terasa suram. Bukan sekadar tanah yang dirampas, melainkan masa depan yang direnggut paksa dari tangan-tangan tak berdosa. Setiap puing bangunan di Gaza adalah luka yang tak tersembuhkan. Saat ini rasa kenyang bagi anak-anak Gaza adalah kemewahan.
Seorang pejabat kesehatan pada 17 Agustus 2025 mengungkapkan ada tujuh warga Palestina, termasuk dua anak-anak, meninggal dunia akibat malnutrisi dan kelaparan di Jalur Gaza yang diblokade Israel dalam 24 jam terakhir. Laporan korban terbaru ini membuat jumlah kematian akibat kelaparan di Gaza sejak Oktober 2023 mencapai 258 orang, termasuk 110 anak-anak. Informasi ini disampaikan oleh Munir al-Bursh, Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan Gaza, dalam sebuah pernyataan di platform media sosial X yang dikutip Anadolu Agency. Sejak 2 Maret, otoritas Israel menutup sepenuhnya semua pos perbatasan Gaza, menciptakan kondisi kelaparan bagi 2,4 juta penduduk wilayah tersebut. (metrotvnews.com, 17/8/25)
Bukan Bencana Kelaparan Biasa
Kelaparan di Gaza telah mencapai tingkat yang sangat memprihatinkan. Menurut laporan terbaru dari Integrated Food Security Phase Classification (IPC), sekitar 2,2 juta penduduk Gaza saat ini berada dalam tingkat krisis atau lebih buruk dalam hal keamanan pangan akut. Bahkan, sekitar 26% dari mereka, atau sekitar 576.600 orang, telah kehabisan persediaan makanan dan kapasitas untuk mengatasi kelaparan, sehingga menghadapi risiko kelaparan katastrofik dan kelaparan akut. Dampak Kelaparan di Gaza di antaranya adalah kematian dan malnutrisi pada anak, serta terancamnya nyawa ibu hamil dan menyusui.
Sekalipun ada Program Pangan Dunia PBB (WFP) dan organisasi lainnya yang telah berupaya menyediakan bantuan pangan darurat, namun akses yang terbatas dan konflik yang terus berlanjut menghambat upaya tersebut. Blokade bantuan kemanusiaan, termasuk makanan, oleh Israel telah memperburuk situasi kelaparan di Gaza. Kerusakan parah infrastruktur Gaza, termasuk fasilitas kesehatan dan sanitasi akibat konflik juga turut memperburuk kondisi kelaparan dan tersebarnya penyakit atau infeksi.
Sesungguhnya persoalan yang terjadi di Gaza, bukan sekadar konflik, melainkan genosida. Bukan pula perang, tetapi ethnic cleansing. Juga bukan bencana kelaparan biasa, tetapi pelaparan sistemis. Apa yang kita saksikan hari ini tak hanya efek tragis dari perang, tetapi penggunaan kelaparan secara sengaja sebagai alat kontrol politik dan demografis. Ini adalah strategi yang dirancang untuk menghancurkan masyarakat Palestina secara sistematis, yakni bentuk nyata dari genosida struktural.
Untuk merebut dan menduduki wilayah Palestina secara utuh pimpinan militer dan politik Israel, tak hanya melakukan pemboman dan penghancuran infrastruktur. Namun, serangan mereka telah melangkah semakin jauh, dengan menyasar hal yang paling mendasar bagi kelangsungan hidup yaitu akses terhadap makanan, air, dan kebutuhan pokok lainnya. Israel merampas kemampuan Gaza untuk memberi makan dirinya sendiri. Itu adalah kebijakan yang disengaja.
Menurut laporan berbagai lembaga internasional independen, lebih dari 95 persen lahan pertanian di Gaza telah dihancurkan atau tidak lagi bisa digunakan. Akses terhadap benih telah diblokir. Infrastruktur air menjadi sasaran serangan. Nelayan dan petani yang sejak awal bekerja dalam kondisi pengepungan ekstrem berulang kali ikut menjadi target serangan. Ini merupakan penghancuran terencana atas kedaulatan pangan dan harapan rakyat Palestina akan masa depan yang merdeka. Jadi kerugian bukan hanya dari sisi ekonominya saja.
Segala bentuk penghancuran bukan dilakukan secara random, melainkan dirancang. Semua ini merupakan bagian dari rencana yang lebih luas untuk merekayasa ulang masa depan demografis dan ekonomi Gaza sesuai dengan tujuan strategis jangka panjang Israel. Mereka ingin melakulan kontrol penuh dan memaksa penyerahan politik total dari Gaza kepada Israel.
Diamnya Penguasa Negeri Muslim
Para penguasa negeri-negeri Muslim hingga saat ini masih tetap diam menyaksikan kebiadaban entitas Zionis karena tersandera oleh kepentingan yang tetap ingin dipertahankan dengan dunia Barat.
Hal ini terlihat dari pernyataan Gubernur Sinai Utara, Mesir. Ia menyatakan jika tidak ada kesempatan bagi warga Gaza untuk masuk ke wilayah Mesir. Karena kalau sampai mereka menerobos masuk ke wilayah Mesir, maka itu akan menjadi persoalan bagi Mesir.
Mesir tidak mau menerima saudaranya sendiri yang sedang kelaparan dan diburu oleh musuh-musuhnya. Mereka bahkan tidak mengakui sebagai saudara, tetapi justru dianggap pembawa masalah. Hal yang tak jauh berbeda juga ditunjukkan pemimpin negeri muslim lainnya yang sekadar beretorika memberikan kecaman, mendukung solusi dua negara atau malah mendukung relokasi warga Gaza.
Para pemimpin negeri muslim telah buta dan tuli atas realitas di Gaza. Rasa kemanusiaan pun telah tercabut. Mereka tak bergeming seolah tak ada ikatan iman mereka dengan muslim Gaza. Padahal Allah telah menjadikan ikatan ukhuwah Islamiyah sebagai landasan hubungan antar muslim. Kepentingan jabatan dan kekuasaan dunia telah memadamkan ukhuwah Islamiyah dan menjatuhkan mereka ke lubang kelemahan di hadapan musuh Allah.
Hanya Khilafah dan Jihad Solusinya
Sejatinya untuk menghentikan apa yang terjadi di Gaza tidak cukup hanya memberi bantuan makanan. Namun, harus memaksa entitas Zionis menghentikan serangan, membuka seluruh blokade, dan memberikan semua yang dibutuhkan oleh penduduk Gaza. Selain itu hal paling utama adalah mengusir entitas ini dari negeri Palestina.
Oleh karena itu, umat muslim saat ini sudah seharusnya menuju paradigma yang lurus untuk menyelamatkan penduduk dan wilayah Gaza. Kaum muslimin harus menyatukan mindset untuk memobilisasi pasukan militernya dan menyambut panggilan Allah dalam rangka mengobarkan jihad dalam demi menolong saudara-saudara mereka.
Kaum muslim harus terus mengopinikan solusi yang Allah perintahkan, dimana telah jelas secara fikih, hanya dengan jihad, cara untuk menghempas Zionis Yahudi. Untuk menyuarakan hal tersebut, umat membutuhkan kepemimpinan sebuah kelompok dakwah ideologis yang tulus mengajak umat untuk berjuang sampai Khilafah tegak di muka bumi. Kelompok dakwah ideologis ini bekerja dengan fikroh dan metode dakwah yang dicontohkan Rasulullah saat memperjuangkan penegakan Islam.
Pembebasan Palestina akan terwujud ketika Khilafah tegak dan melaksanakan jihad sebagai solusi tuntas. Momentum ini (genosida Gaza) harus dijadikan kesempatan untuk membangkitkan kesadaran umat dan mewujudkan kemuliaan Islam sebagaimana yang telah Allah janjikan dalam firman-Nya. "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai penguasa, dan Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merobah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik.” (QS. An Nur: 55).
Wallahu'alam bishowab.