| 218 Views

Pajak Mencekik Rakyat Menjerit

Oleh : Ummu Aqilla
Aktivis Dakwah

Kisruh kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% sudah geger sejak akhir 2024. Selain itu, wacana kenaikan PPN juga mendapatkan penolakan dari berbagai lapisan masyarakat. Namun awal tahun 2025, pemerintah tiba-tiba hadir bak pahlawan kesiangan yang mengumumkan pembatalan kenaikan PPN. Mereka mengumumkan kenaikan PPN hanya untuk barang-barang mewah.

Benarkah kenaikan PPN 12% pada barang dan jasa mewah tidak berimbas pada ekonomi masyarakat luas? Pastinya kenaikan ini tetap akan berdampak bagi masyarakat, baik yang terkategori menengah ke bawah maupun yang mampu.

Dalam pemerintahan memberikan batasan barang-barang yang akan dinaikkan. Tapi, tetap saja kebijakan tersebut memberatkan rakyat. Pemerintah merasa cukup memberi koperasi kebijakan dan memberi bansos, subsidi listrik dan menetapkan barang-barang tertentu yang terkena PPN, padahal kebijakan tersebut tetap membuat hidup rakyat makin sulit.

Namun, apakah benar PPN batal naik? Benarkah kenaikan PPN hanya untuk barang-barang mewah? Lalu bagaimana definisi atau kategori barang mewah ini? Padahal fakta di lapangan semua barang sudah merangkak naik walaupun pemerintah batal menaikkan PPN. Kenaikan ini naik menjelang Nataru (Natal dan tahun baru), tetapi barang-barang belum kunjung turun setelah Nataru usai. Mungkinkah kenaikan PPN 12% hanya untuk barang mewah hanya kamuflase kebijakan kapitalisme yang mengelabui rakyat?

Sebelumnya, pemerintah begitu ngotot menaikkan PPN dengan alasan ingin menguatkan pemasukan anggarannya pendapatan belanja negara (APBN). Dikutip dari Suara.com (6-1-2025), pemerintah mencatat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Defisit keuangan negara hingga akhir tahun lalu sebesar 2,29% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau setara Rp507,8 triliun.

Naiknya PPN tersebut terjadi karena sistem yang diterapkan bukan sistem Islam, tetapi sistem demokrasi kapitalisme. Dari asas sistem ini telah menjadikan manusia sebagai pembuat aturan termasuk aturan bernegara, maka muncullah konsep ekonomi kapitalisme yang memberikan kebebasan kepemilikan kepada siapapun yang mampu menguasainya. Sehingga lahirlah yang disebut penguasa populasi otoriter.

Inilah akar permasalahan yang sesungguhnya, sistem ekonomi kapitalisme telah menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara. Pajak adalah satu keniscayaan demikian pula halnya dengan kenaikan besaran pajak dan berbagai macam jenis pungutan pajak.

Padahal, ketika pajak menjadi sumber pendapatan negara, maka secara tidak langsung rakyat membiayai sendiri kebutuhannya terhadap berbagai layanan publik yang diperlukan. Artinya pemimpin telah kehilangan fungsinya sebagai raain (pengurus) urusan umat dan junnah (penjaga) umat, bahkan abai terhadap kesejahteraan rakyatnya. Lantas apa fungsi negara?

Namun pertanyaannya, mengapa yang dikorbankan adalah masyarakat secara keseluruhan menanggung kegagalan pemerintah mengelola keuangan negara?

Kenaikan PPN hanya untuk barang mewah adalah kamuflase dari kenaikan PPN untuk segala sektor baik barang maupun jasa. Sebenarnya sudah menjadi rutinitas kegiatan ekonomi ketikan menjelang Ramadan, Idulfitri, Iduladha, begitu pun Nataru selalu diiringi dengan kenaikan barang-barang.

Dengan demikian, akhirnya negara tidak memiliki pemasukan selain dari pajak dan utang, alhasil pajak dinaikkan dan rakyat makin menderita. Inilah bukti buruknya penerapan sistem demokrasi kapitalisme yang membuat aturan dari akal manusia bukan dari Allah. Yang pada hakikatnya manusia tidak mampu untuk membuat aturan untuk dirinya, apalagi untuk umat manusia. Apa bila manusia memaksa dirinya untuk membuat aturan maka akan muncul berbagai bentuk kemudaratan sebagaimana hari ini.

Sesungguhnya yang berhak membuat aturan atas umat manusia hanyalah Sang Pencipta manusia yaitu Allah SWT diantaranya dalam mengatur negara, politik, sosial, ekonomi dan sebagainya. Islam akan menjadikan penguasa sebagai raa'in dan junnah. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda : "Imam adalah (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR. Bukhari)

Dalam hadis lain Rasulullah Saw bersabda : "Sesungguhnya Al-Imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya." (HR. muttaffaqun Alayhi dan lain-lain).

Berdasarkan dua hadis tersebut membuktikan bahwa tanggung jawab penguasa dalam mengurus rakyat dan mewujudkan kesejahteraan atas hak-hak yang akan rakyat dapatkan. Seorang penguasa merupakan perisai (pelindung), sehingga mereka tidak boleh menyusahkan rakyatnya bahkan menzalimi rakyat.

Dalam Islam pajak bukanlah sumber pendapatan utama negara atau sumber APBN, bahkan negara tidak boleh mengambil pajak dari rakyat kecuali bagi orang-orang tertentu dan dalam kondisi tertentu yang memang darurat untuk diambil pajak. Yaitu ketika baitul mal sudah kehabisan dana dan hanya berlaku bagi kaum Muslim yang kaya saja. Karena itu dalam baitul mal tidak ditemui harta yang dipungut dari pajak, kecuali Baitul Mal lagi kekosongan dana.

Pajak tersebut digunakan untuk melayani rakyat, seperti membiayai para fakir, miskin, Ibnu sabil, pelaksanaan kewajiban jihad, layanan kesehatan, pendidikan, gaji pegawai dan sebagainya. Maka jika semua sudah terpenuhi dan kondisi sudah stabil, maka pungutan pajak harus dihentikan.

Sistem ekonomi Islam menetapkan dharibah/pajak sebagai alternatif terakhir sumber pendapatan negara, dan hanya diberlakukan dalam kondisi tertentu saja. Namun, dharibah dalam ekonomi Islam tentu berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme. Dharibah hanya diberlakukan disaat musim paceklik, gagal panen, dan ketika Baitul Mal (kas negara) dalam keadaan kosong. Sementara ada kebutuhan masyarakat yang harus diurus secepatnya.

Pungutan dharibah hanya dikenakan pada individu tertentu sesuai dengan dana yang ditentukan. Khilafah akan menerapkan sistem dharibah dan seluruh kebijakan negara dengan dorongan ketakwaan. Kebijakan yang ditetapkan khalifah tidak boleh menzalimi rakyat, apalagi manipulatif demi memenuhi kepentingan segelintir pihak. Sebab, sumber lahirnya kebijakan hanya berasal dari hukum syarak semata, bukan suara mayoritas. Hal ini karena kedaulatan tertinggi berada pada syari'at bukan ditangan rakyat (wakil rakyat/penguasa).

Sebenarnya Indonesia bisa menjadi negara yang kuat tanpa harus menarik pajak. Namun, pemerintah harus berani menerapkan aturan ini, yakni aturan yang bersumber dari Al-Qur'an dan sunah. Dalam penampakannya adalah dengan menerapkan sistem pemerintahan khilafah. Sungguh unggul ekonomi Islam tersebut. Pertanyaannya maukah negeri ini hijrah ke arah yang lebih baik dengan menerapkan sistem Islam yang unggul di berbagai aspek kehidupan? Sebagai seorang Muslim tentunya tidak boleh menolak ajakan mulia ini. Karena tidak ada keselamatan kecuali hanya dengan Islam.


Share this article via

135 Shares

0 Comment