| 12 Views

Naiknya PPN Memberatkan Rakyat, Ulah Sistem Kapitalisme

Oleh : Herna
Aktivis Muslimah di Depok

Alasan pemerintah menaikkan PPN menjadi 12 % dalam keterangan resminya yakni, meningkatkan pendapatan negara, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri serta penyesuaian dengan standar Internasional. Pemerintah beralasan, tarif PPN yang berada 11 persen yang kemudian naik mencapai 12 persen, masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara maju lainnya. 

Apapun alasannya, PPN merupakan jenis pajak yang dampaknya langsung dirasakan masyarakat luas. Setiap kali seseorang membeli barang atau menggunakan jasa tertentu, otomatis kena PPN. Masalahnya PPN memiliki karakteristik yang regresif, artinya dampaknya lebih berat bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dibandingkan dengan masyarakat yang berpenghasilan tinggi. Hal ini terjadi karena kelompok berpenghasilan rendah menghabiskan sebagian besar dari proporsi pendapatan mereka untuk konsumsi kebutuhan pokok. Sebaliknya kelompok berpenghasilan tinggi memiliki kemampuan untuk mengalokasikan sebagai besar proporsi uang mereka ke sektor-sektor lain. 

Dalam struktur ekonomi Indonesia konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari separuh Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan kenaikan tarif PPN hal ini akan memukul konsumsi masyarakat. Harga barang dan jasa akan meningkat daya beli masyarakat menurun. Data BPS merilis bahwa inflasi diawal 2024 mencapai 2,75 %. Kenaikkan PPN diperkirakan menambah tekanan inflasi sekitar 1%. Bagi masyarakat yang sudah kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, kebijakan ini menjadi pukulan terutama masyarakat menengah bawah.

Kenaikan PPN dan inflasi dapat menurunkan konsumsi domestik, yang merupakan kontributor utama bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, rumah tangga yang terbebani biaya hidup yang semakin tinggi akan mengurangi pengeluaran mereka, terutama barang non esensial. Penurunan konsumsi ini dapat menghambat sektor-sektor yang bergantung pada konsumsi domestik seperti ritel, pariwisata dan perumahan. 

Akibatnya pertumbuhan ekonomi yang bergantung pada konsumsi masyarakat akan terhambat dan memperlambat pemulihan ekonomi pasca pandemi. Selain itu, sektor industri dan perusahaan yang bergantung pada pasar domestik juga akan terdampak negatif, yang bisa berujung pada penurunan investasi dan lapangan kerja. Menurut laporan Kementerian Ketanagakerjaan di sepanjang Januari-Agustus 2024 terdapat 46.240 pekerja di PHK (Satudata.kemenaker.go.id, 20/9/2024).

Menurut Publikasi Celios, akibat kenaikan PPN menjadi 12 % kelompok miskin diperkirakan akan mengalami kenaikkan pengeluaran sebesar Rp101.880 perbulan atau Rp1.222.566 pertahun. Kelompok rentan miskin, yang memiliki penghasilan sedikit lebih tinggi, namun masih  jauh dari kesejahteraan, juga tidak lepas dari dampak negatif kenaikkan PPN. Mereka di perkirakan akan mengalami kenaikkan pengeluaran sebesar Rp 153.871 perbulan atau Rp 1.846.455 pertahun. Adapun kelompok menengah diperkirakan akan mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp 354.293 perbulan atau Rp 4.251.522 pertahun. Kenaikkan PPN dan inflasi juga memperburuk ketimpangan ekonomi.

Kebijakan menaikkan pajak dilakukan secara terus-menerus tanpa memperhatikan kesulitan hidup masyarakat. Semua ini berpulang dari sistem kapitalisme yang diterapkan di banyak negara, termasuk Indonesia. Sistem ini sering kali mengutamakan kepentingan modal besar (korporasi) di atas kepentingan masyarakat luas.

Fokus pertumbuhan ekonomi dalam sistem kapitalis berbasis kapital, sedangkan negara hanya bertindak sebagai fasilitator pertumbuhan ekonomi saja. Untuk mendukung ini, pemerintah membutuhkan pendapatan besar untuk infrastruktur, subsidi industri, dan layanan publik. Oleh sebab itu, kapitalisme cenderung mendorong pajak konsumsi (seperti PPN)—yang notabene memberatkan masyarakat kecil—karena lebih mudah dipungut dibandingkan pajak dari perusahaan besar atau orang kaya.

Sementara itu, dalam sektor-sektor strategis seperti energi, pertambangan, dan infrastruktur sering kali diprivatisasi. Akibatnya, pendapatan negara dari SDA menjadi berkurang, karena SDA tidak lagi menjadi sumber utama pendapatan negara. Maka, pemerintah harus mengandalkan pajak sebagai pengganti, dan sering kali dengan menaikkan tarif pajak.

Kenaikan pajak juga untuk memberikan perlindungan terhadap modal besar. Insentif pajak diberikan kepada perusahaan besar untuk menarik investasi. Kecenderungannya untuk memindahkan beban pajak kepada masyarakat menengah ke bawah melalui pajak seperti PPN, karena mereka tidak memiliki daya tawar politik yang kuat. Sebaliknya, kelas atas dan korporasi besar sering mendapatkan keringanan pajak atau bahkan “lolos” dari kewajiban pajak.

Oleh karena itu, selama negara bertumpu pada penerapan sistem kapitalisme, kesulitan dan kesengsaraan hidup akibat kewajiban pajak selamanya akan menimpa masyarakat. Akar kesengsaraan ini harus dicabut dan diganti dengan sistem hidup yang terbukti menyejahterakan ratusan abad lamanya, yakni sistem Khilafah.[]


Share this article via

6 Shares

0 Comment