| 230 Views

Mungkinkah Memberantas Kemiskinan ?


Oleh : Zainab Said
Pegiat Literasi

Setiap tanggal 17 Oktober diperingati sebagai Hari Pengentasan Kemiskinan Internasional. Pada hari tersebut beramai-ramai masyarakat dunia menyuarakan pentingnya menghapuskan kemiskinan. Meski tiap tahun hari tersebut diperingati dengan berbagai macam aksi, nyatanya angka kemiskinan secara internasional maupun nasional belum juga membuahkan hasil yang memuaskan.

Berdasarkan laporan Program Pembangunan PBB pada tangga 17 Oktober,  diketahui bahwa lebih dari satu miliar orang hidup dalam kemiskinan akut di seluruh dunia. Setengah dari jumlah tersebut adalah anak-anak yang paling terkena dampaknya. Makalah yang diterbitkan oleh Prakarsa Kemiskinan dan Pembangunan Manusia Oxford atau Oxford Poverty and Human Development Initiative (OPHI) mengatakan bahwa tingkat kemiskinan ini tiga kali lipat lebih tinggi dialami oleh negara-negara yang sedang mengalami peperangan. United Nations Development Programme (UNDP) dan OPHI menerbitkan indeks kemiskinan setiap tahun sejak tahun 2010, dengan mengumpulkan data dari 112 negara dengan populasi gabungan 6,3 miliar orang. Indikator yang digunakan dalam data ini antara lain kurangnya perumahan yang layak, sanitasi, listrik, bahan bakar memasak, nutrisi, dan kebutuhan bersekolah. Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa negara dengan penduduk miskin terbanyak adalah negara di Afrika Sub-Sahara dan Asia selatan. (Beritasatu. com/17-10-2024)

Sementara di Indonesia sendiri, angka kemiskinan menurut data BPS per Maret 2024 berada di angka 9,03 persen dan dilaporkan menurun sebanyak 0.33 persen dari bulan Maret tahun 2023. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2024 sebanyak 25,22 juta orang, menurun 0,68 persen terhadap Maret 2023. Laporan ini cukup memberikan angin segar kepada pemerintah dan dianggap sebagai salah satu keberhasilan pemerintah dalam memberantas kemiskinan. Namun dilain sisi, angka stunting dan gizi buruk yang tidak lepas dari pengaruh kemiskinan masih cukup tinggi yaitu 21,5% pada tahun 2023 dan masih jauh dari target nasional tahun 2024 yaitu menurunkan stunting hingga 14%. Menurut data SSGI 2022, di Indonesia 1 dari 12 anak balita mengalami kekurangan gizi (wasting) dan 1 dari 5 anak balita mengalami stunting. (Unicef Indonesia/09-08-2023) Direktur Global Kebijakan dan Perlindungan Sosial UNICEF Natalia Winder Rossi, mengatakan bahwa secara global, terdapat 333 juta anak yang hidup dalam kemiskinan ekstrim, berjuang untuk bertahan hidup dengan pendapatan kurang dari USD 2,15 (33.565 rupiah) per harridan hampir satu miliar anak hidup dalam kemiskinan multidimensi.(Antara. com/15-02-2024)

Solusi yang Tidak Solutif

Berbagai strategi dilakukan pemerintah dalam mengurangi angka kemiskinan, diantaranya menurunkan beban pengeluaran dengan memastikan kelompok miskin ekstrim mendapat berbagai perlinsos (program perlindungan sosial), seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) Prakerja, hingga dalam bentuk subsidi BBM dan Listrik. Upaya lain yang dilakukan adalah meningkatkan pendapatan dengan meningkatkan akses terhadap pekerkaan dan infrastruktur dasar, meningkatkan kapasitas SDM, serta peningkatan kapasitas dan akses pembiayaan UMKM. Selain itu pemerintah berupaya meminimalkan wilayah kantong kemiskinan dengan cara meningkatkan akses terhadap layanan dasar, meningkatkan koneksi antarwilayah, serta mendorong konvergensi anggaran dan konsolidasi program. Program ini nampaknya belum memberikan hasil yang maksimal. Selain itu, solusi kemiskinan selama ini masih berputar pada masalah teknis dan individualis, contohnya fenomena kuliah di luar negeri akhir-akhir ini dipercaya dapat mengurangi kemiskinan. Hal ini diungkapkan dalam sebuah studi yang diterbitkan International Journal of Education Research Volume 128 (2024) bahwa lulusan yang kembali ke negaranya setelah belajar di luar negeri dapat berdampak terhadap pengurangan kemiskinan di negaranya. Klaim ini tidak sepenuhnya benar karena tidak semua warga di suatu negara memiliki kesempatan untuk belajar di luar negeri. Di negara berkembang seperti Indonesia, jangankan mendapat kesempatan belajar di luar negeri, sekolah dalam negeri saja masih banyak yang belum bisa mendapatkan kesempatan itu.

Solusi yang ditawarkan pemerintah selama ini belum mampu mengeluarkan  masyarakat dari lingkaran kemiskinan. Solusi yang bersifat pragmatis dan bersifat individualis seperti hanya sebatas memberikan bantuan sosial tidak mampu memberikan dampak yang berpengaruh pada masyarkat miskin. Kebutuhan dasar seperti tempat tinggal layak, pendidikan, dan akses kesehatan masih menjadi barang yang mahal untuk masyarakat miskin. Pengangguran semakin meningkat yang semakin memperkeruh lingkaran kemiskinan di negeri ini.

Disaat dunia internasional maupun nasional tidak pernah diam menyuarakan penghapusan kemiskinan, kita juga dapat melihat adanya orang terkaya di dunia dengan jumlah kekayaan yang luar biasa. Menurut laporan Oxfam-konferedasi internasional yang fokus pada isu kemiskinan- pada tahun 2023 mengatakan bahwa 1% orang terkaya di dunia menguasai dua per tiga kekayaan dunia. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, sebanyak 1% ornag terkaya di Indonesia menguasai 30,16% dari total aset rumah tangga secara nasional pada tahun 2022. Hal ini diungkapkan oleh laporan World Inequality Report (WIR). Laporan tersebut juga mengungkapkan fakta adanya ketimpangan pendapatan masyarakat Indonesia. Kelompok 50% terbawah hanya 25,11 juta rupiah pertahun, sementara itu kelompok 10% teratas memiliki pendapatan sebesar 333.77 juta pertahun, dan kelompok 1% terkaya mempunyai pendapatan yang lebih tinggi lain yaitu mencapai 1,2 miliar USD pertahun.

Fakta ketimpangan kekayaan yang luar biasa seperti ini adalah hal alamiah dalam sistem kapitalis, dimana sebagian besar kekayaan hanya dikuasai oleh segelintir orang. Fakta ini juga menunjukkan bahwa banyaknya angka kemiskinan dalam sistem kapitalis adalah hal wajar karena kemiskinan yang terjadi adalah kemiskinan struktural. Sulit bagi masyarakat keluar dari lingkaran kemiskinan tersebut karena buruknya distribusi kekayaan maupun konsep pengelolaan dan pengembangan harta. Dalam sistem kapitalis, dengan adanya kebebasan individu memberikan kesempatan bagi para pemilik modal besar (kapital) untuk menguasai berbagai resouces, termasuk pengelolaan sumber daya alam misalnya pertambangan dan SDA lain.

Kejamnya sistem ekonomi kapitalis yang didukung oleh sistem politik demokrasi menyebabkan kekayaan suatu negeri hanya berputar di tangan para kapital yang digandeng oleh tangan penguasa dalam lingkaran oligarki. Dilain sisi masyarakat yang keruk kekayaan alamnya dibiarkan dalam kebodohan dengan pendidikan yang dikapitalisasi dengan kualitas SDM rendah (IQ rata-rata 78). Dengan masalah kemiskinan yang tersistematis seperti itu maka sangatlah sulit bagi negeri ini meraih predikat zero extreme poverty hanya dengan mengandalkan pemberian bantuan sosial atau solusi yang bersifat individualistik lainnya.

Menghapus Kemiskinan dalam Sistem Islam

Dalam sistem islam, penguasa akan memastikan rakyat terpenuhi kebuthan primernya, yaitu sandang, pangan, dan papan setiap individu. Hal tersebut dilakukan dengan menempuh beberapa langkah, diantaranya pertama, Islam mewajibkan kepala keluarga bekerja dan perintah itu dibantu dengan kebijakan pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai. Kedua, Islam mewajibkan kerabat terdekat untuk membantu saudaranya yang mengalami kesulitan, misalnya ada kerabat yang tidak bisa bekerja karena cacat. Ketiga, di dalam sistem Islam, jika seseorang tidak mampu bekerja dan tidak ada keluarga yang dapat membantunya maka negara wajib memberikan nafkah kepada orang tersebut menggunakan harta baitulmal.

Sistem perekonomian Islam punya aturan kepemilikan yang tidak dimiliki sistem ekonomi manapun. Aturan kepemilikan itu mencakup jenis kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan distribusi kekayaan. Dalam Islam, kepemilikan dibagi menjadi 3 jenis yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Kepemilikan individu contohnya hasil kerja, warisan, hadiah, pemberian negara, dan lain-lain. Sedangkan kepemilikan umum adalah milik public untuk dimanfaatkan secara bersama-sama. Kepemilikan ini tidak boleh dikuasai individu, contohnya padang rumput, hutan, sungai, danau, laut, dan tambang. Terakhir, kepemilikan negara yaitu setiap harta yang pengelolaannya diwakilkan kepada kepala negara, contohnya ganimah, jizyah, kharja, harta orang yang tidak memiliki waris, dan lain-lain. Pengelolaan kepemilikan umum dan kepemilikan negara oleh penguasa sudah lebih dari cukup untuk membiayai semua pengurusan rakyat. Sehingga tidak ada dalam sejarah Islam terjadi ketimpangan ekonomi karena penguasaan SDM oleh segelintir orang seperti yang terjadi dalam sistem kapitalis dengan prinsip kebebasan kepemilikan di dalamnya

Pelaksanaan sistem ekonomi Islam dan sistem pemerintahan Islam haruslah ditopang dengan ketakwaan masyarakat terhadap Allah Swt dan seluruh Syariat yang diturunkan untuk manusia. Hal ini menuntut masyarakat secara untuk fokus pada kebangkitan pemikiran sehingga mampu menjadikan ideologi Islam sebagai kepemimpinan berpikir  sehingga penerapan Islam dalam berbagai aspek kehidupan bisa terlaksana dengan sempurna. Sebagaimana firman Allah Swt :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 208)

Wallahu’alam bissawab


Share this article via

57 Shares

0 Comment