| 68 Views

Menelisik Kinerja Pemerintahan Baru

Oleh : Siska Pratiwi

Berdasarkan survei kepuasan masyarakat oleh Litbang Kompas dan Indikator Politik Indonesia (survei 100 hari kerja pemerintahan Prabowo-Gibran), masing-masing memperoleh hasil 80,9% dan 79,3% masyarakat Indonesia puas dengan kinerja pemerintahan baru. Kepuasan masyarakat ini ditengarai kesan bahwa Prabowo-Gibran adalah pemimpin yang populis. Namun, hal tak senada diungkapkan oleh studi dari Center of Economic and Law Studies atau Celios yang justru memberikan nilai 5/10 atas kinerja Prabowo dan 3/10 atas Gibran. Hal ini dinilai berdasarkan capaian program kerja yang masih belum optimal, kebijakan yang dinilai tidak sesuai kebutuhan publik, tata kelola anggaran yang mengecewakan, janji politik yang dinilai setengah hati, dan sebagainya.

Dilansir dari LawJustice.co, kinerja pemerintahan dalam bidang pemberantasan korupsi dinilai agak
mengecewakan. Tingkat kepuasan terhadap pemberantasan korupsi yang berada di angka 69,9 %, menunjukkan bahwa sektor ini masih menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi pemerintah. Pengungkapan kasus “Liga Korupsi Indonesia” diantaranya korupsi PT. ANTAM, Pertamina, dan PT. Timah dinilai oleh sebagian influencer (media X dan Instagram) dengan asumsi pengalihan isu dan branding “heroik” terhadap Prabowo-Gibran.

Di sisi lain, berkenaan dengan realisasi program MBG (Makan Bergizi Gratis), sering menunjukkan laporan inkonsistensi jadwal distribusi MBG, kasus alergi/intoleransi, sayur/makanan yang sudah tidak layak saji, keracunan/intoksikasi, dan belum jelasnya formulasi gizi, baik untuk anak sekolah maupun ibu hamil. Hal ini semakin memberi kesan "dipaksakannya" program ini ditengah isu efisiensi anggaran.

Isu efisiensi anggaran yang disebut-sebut mencapai Rp 750 triliun juga direncanakan akan dialokasikan untuk membiayai program MBG sebesar Rp 70 triliun dan sebagian lagi sebesar Rp 325 triliun akan diinvestasikan ke Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) yang merupakan lembaga superholding BUMN yang baru dibentuk Prabowo-Gibran. Dilansir dari Kompas.com, direktur eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengatakan, efisiensi anggaran bisa mengancam ekonomi dan serapan tenaga kerja, serta akan sangat berdampak terhadap program-program di luar MBG. Salah satu contohnya adalah efisiensi anggaran BMKG sebesar 50% (setara Rp 1,4 T) tentu akan berdampak pada perencanaan mitigasi hingga penanggulangan bencana di Indonesia.

Program lumbung pangan (Food Estate) juga menuai polemik. alih-alih menyediakan lahan skala besar untuk swasembada dan ketahanan pangan nasional, program lanjutan dari masa pemerintahan Jokowi ini justru dinilai gagal karena menyebabkan alih fungsi lahan yang tidak tepat untuk pertanian intensif, deforestasi hutan gambut, lahan yang kemudian banyak terbengkalai, dan resiko kerusakan lingkungan serta emisi karbon akibat konversi lahan tersebut.

Dalam urusan kesehatan, masyarakat masih dihadapkan dengan kondisi sulitnya mengakses kesehatan yang berkualitas. Adapun jaminan sosial atau BPJS kesehatan tidak meng-cover sepenuhnya kebutuhan pengobatan pasien. Dilansir oleh Tempo.co, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui bahwa jaminan kesehatan seperti halnya BPJS saat ini memang belum sempurna dan tidak bisa meng-cover semua penyakit. Hal ini menurutnya disebabkan iuran BPJS yang masih tergolong rendah. Bahkan, ia mengajukan rencana kenaikan iuran BPJS pada tahun 2026 mendatang. Padahal realitasnya, terjadi kesenjangan layanan yang didapatkan antara pasien dengan biaya mandiri, pengguna asuransi kesehatan swasta, dan pasien dengan BPJS kesehatan.

Inilah segelintir realisasi janji kampanye Prabowo-Gibran menjelang semester pertama kinerjanya. Sejarah dan realita politik negeri ini sejatinya telah membuktikan bahwa janji-janji kampanye hanyalah janji yang manis di atas panggung pemilu. Realita ini muncul sebagai buah penerapan sistem kapitalis demokrasi yang meniscayakan adanya “perkawinan” penguasa dan pengusaha. Para penguasa justru lebih fokus mempertahankan kekuasaannya dan berbagi “kue” kekuasaan seadil-adilnya untuk kalangan mereka, ketimbang mengurusi urusan rakyat yang dipimpinnya. Niat mulia dari program kerja yang dikampanyekan pun pada realisasinya akan melebur dengan banyak sekali kepentingan. 

Hal ini jelas berbeda dengan paradigma pemerintahan di dalam Islam. Penguasa tak ubahnya sebagai perisai/ junnah yang harusnya melindungi dan menaungi rakyat. Menjadi Ra’in, yaitu pengurus atau pemelihara urusan rakyat. Sehingga, dengan realita sekarang, Islam memandang bahwa persoalan 
multidimensi yang menimpa rakyat tidaklah sesederhana hanya karena faktor tidak maksimalnya realisasi janji kampanye oleh oknum pemimpin semata, melainkan ada sebab yang lebih mendasar, yakni “sistem kepemimpinan” apa yang dijalankan oleh pemimpin tersebut setelah ia terpilih.

Wallahu a’lam bishawab.


Share this article via

28 Shares

0 Comment