| 85 Views

MBG Solusi Tambal Sulam di Sistem Sekuler

Foto: Pemkot Depok

Oleh: Umi Silvi

Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah program dari pemerintah yang memberikan makanan sehat dan bergizi untuk masyarakat terutama pelajar. Akan tetapi, akhir-akhir ini terjadi keracunan usai mereka mengonsumsi MBG.

Makan Bergizi Gratis (MBG) nampak bagus jika dilaksanakan dengan kesungguhan hati. Faktanya, semua program pemerintah adalah pencitraan, janji politik yang dilaksanakan setengah hati. Padahal, anggarannya begitu besar mencapai Rp335 trilliun, tetapi hasilnya banyak anak sekolah keracunan setelah memakan MBG.

Program pemerintah tidak mencapai target yang diinginkan meskipun dana besar digelontorkan karena setiap program dianggap lahan bisnis untuk mencari keuntungan oleh para pejabat yang bermental koruptor. Selama koruptor tidak dihukum berat yang bisa memberikan efek jera, korupsi akan tumbuh subur. Selama hukum dibuat oleh pejabat dan wakil rakyat yang bermental koruptor, hukuman berat yang memberi efek jera bagi koruptor sulit untuk disahkan.

Ratusan anak sekolah di Kabupaten Bandung Barat tumbang setelah mengonsumsi makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG). Hingga kini, total 1.333 siswa menjadi korban keracunan di tiga klaster berbeda. Awalnya, 411 murid SPPG Cijambu jatuh sakit pada Senin (22/09). Dua hari berselang, kasus serupa kembali muncul di SPPG Neglasari dengan 730 korban. Belum reda, SPPG Mekarmukti di Kecamatan Cihampelas menyusul dengan 192 siswa keracunan.

Sejak awal program ini diluncurkan sebetulnya sudah banyak polemik yang terjadi. Mulai dari ketidakmerataan distribusi, dapur masak MBG yang terkena sidak karena masalah higienis, hingga kualitas makanan yang tidak layak konsumsi. Permasalahan terakhir ini membuat cabang-cabang masalah yang lebih kompleks.
Makanan yang tidak layak konsumsi ini akan berakhir dibuang kemudian menjadi PR baru bagi dinas terkait, seperti Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) karena akan menambah jumlah sampah yang harus diolah. Faktanya, yang terbuang ini bukan karena tidak layak konsumsi karena basi saja. Ada alasan lain MBG ini berakhir di tempat pembuangan sampah, misalnya: proses memasak yang asal-asalan membuat kualitas makanan menurun, hasil masakan protein hewani yang alot hingga sulit dikunyah, atau sayuran yang terlalu lama dimasak hingga lembek dan sudah pasti
nutrisinya menurun drastis.

Jika SOP tidak disusun dengan matang dan pengawasan tidak dilakukan secara ketat, maka risiko kesalahan akan terus berulang. Dampaknya pun sangat serius, kesehatan siswa terganggu, bahkan nyawa mereka bisa terancam. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah pemerintah lebih mementingkan keberlangsungan program secara administratif atau betul-betul mengutamakan keselamatan anak-anak sebagai penerima manfaat? Keracunan berulang terus-menerus karena sistem kapitalisme yang sedang diterapkan di negeri ini tidak akan bisa menjalankan tanggung jawabnya sebagai pengurus rakyat karena kepentingan pemilik modal.

MBG kerap diklaim sebagai jawaban untuk menyelesaikan masalah gizi pada anak sekolah dan ibu hamil, bahkan dianggap mampu mencegah stunting. Namun, dalam kenyataannya program ini hanya bersifat sesaat dan tidak menyentuh akar permasalahan. Stunting muncul karena masalah yang jauh lebih kompleks, misalnya kemiskinan, rendahnya pengetahuan gizi, keterbatasan akses pelayanan kesehatan, dan distribusi pangan yang tidak merata. Program ini merupakan buah penerapan sistem kapitalisme yang hanya mencari keuntungan.

Selama sistem kapitalisme tetap dipertahankan, maka rakyat yang terus menanggung risikonya. Sementara itu, solusi hakiki untuk memastikan pemenuhan gizi, kesehatan, dan kesejahteraan generasi tidak pernah benar-benar terwujud.

Peristiwa ini menyisakan luka mendalam. Orang tua menitipkan anaknya ke sekolah dengan harapan mendapatkan ilmu dan makanan bergizi, tetapi yang mereka terima justru kabar anaknya sakit, muntah-muntah, bahkan harus dibawa ke rumah sakit. Tragedi ini jelas bukan sekadar insiden teknis. Ia adalah potret nyata dari buruknya pengelolaan, lemahnya pengawasan, dan mentalitas proyek dalam sistem kapitalisme demokrasi.

Program MBG dikerjakan terburu-buru, tanpa standar ketat, dan sarat kepentingan politik. Dapur MBG dipegang oleh pihak-pihak yang lebih mementingkan keuntungan daripada kualitas. Anggaran besar dibagi-bagi, sementara keamanan pangan diabaikan. Akibatnya, anak-anak tak hanya gagal mendapatkan gizi, tetapi malah diracuni oleh program yang katanya “demi rakyat”

Inilah wajah asli sistem kapitalisme demokrasi. Hampir setiap program rakyat berubah menjadi proyek politik. Anggaran digelontorkan bukan demi kepentingan umat, melainkan demi citra dan keuntungan segelintir elite. Selama ada peluang “proyek”, pengawasan bisa dilonggarkan, kualitas bisa dikorbankan, dan nyawa rakyat bisa dijadikan taruhan.

Berbeda dengan sistem Islam. Pemerintahan Islam akan fokus pada penyediaan lapangan pekerjaan bagi setiap ayah untuk membantu melaksanakan kewajibannya mencari nafkah yang layak. Selain itu, pemerintah atau negara juga akan menempatkan pendidikan dan kesehatan sebagai program prioritas, bukan malah menjadikan investasi asing apalagi sekadar makan siang gratis dengan budget minim.

Sektor pendidikan akan diutamakan demi mencetak generasi yang tidak hanya intelek, tetapi juga tangguh dan berakhlak mulia. Bukan melalui makan siang gratis ataupun kurikulum yang berubah-ubah, namun melalui program pembelajaran terstruktur seperti pada masa Kekhilafahan Abbasiyah.

Dari sektor kesehatan juga tidak hanya terfokus pada penggratisan layanan kesehatan, pemerintahan Islam akan juga memberikan layanan konsultasi, ilmu pengetahuan, dan informasi mengenai pengasuhan anak kepada para orang tua dan calon orang tua. Sehingga, setiap orang tua tahu bagaimana memenuhi nutrisi anaknya dan menghindari terjadinya stunting.

Bayangkan, kualitas generasi muda yang terbentuk dengan adanya sinergi yang baik dan kuat antara negara dan orang tua di rumah. Konsep-konsep program pemerintahan tanpa cacat ini hanya bisa terealisasi jika negara mau menegakkan syariat Allah. 

Wallahualam bissawab. 


Share this article via

33 Shares

0 Comment