| 240 Views
Living Together, Hasil Dari Budaya Kapitalisme Sekular

Oleh : Ros Rodiyah
Aktivis Dakwah
Mojok.co Baron tak mau menjelaskan lebih dalam konteks “plus-plus” yang dia maksud. Kata dia sih, biarin jadi obrolan underground alias off the record saja. Tetapi ada 1 hal yang menurutnya boleh ditulis karena sudah jadi rahasia umum.
Seperti yang sudah Baron jelaskan, kos-kosan 1.000 pintu tempat dia tinggal ini bebas. Dalam artian, bebas tinggal bersama pasangan belum sah, maupun bebas-bebas yang lain. Namun, pekerja Cikarang ini juga tak memungkiri, sebebas-bebasnya kos tetap ada “oknum-oknum” ormas maupun aparat ketertiban yang usil. Biasanya, ada malam-malam tertentu mereka datang “mengetuk” pintu.
“Jadi memang bebas tinggal bareng pacar. Tapi ada malam-malam tertentu, ormas atau orang berseragam gitu datang ngetokin pintu kamar mintain duit. Kalau nggak dikasih, ya besok-besok siap aja digerebek." Jelas Baron. Dia menganalogikan, kalau di desa-desa yang dilakukan oknum-oknum ini semacam jimpitan.
Selain Baron, realitas kehidupan di kos-kosan 1.000 pintu Cikarang juga diungkapkan oleh Arya (24). Memang lelaki asal Jawa Tengah ini masih kurang dari 6 bulan tinggal di Cikarang. Namun, banyak sisi gelap yang sudah ia saksikan. Kebetulan Arya tinggal di kos-kosan 1.000 pintu yang sama dengan Baron. Dari yang Arya lihat, kosan 1.000 pintu adalah “surganya pemburu wisata lendir”. Praktik open BO amat menjamur di sana.
"Ada yang pemberi jasa (PSK) tinggal di sini, sementara pelanggannya yang dateng. Tapi ada juga penghuni kos yang nyuruh pemberi jasanya datang ke sini.” Jelas Arya.
Tiap malam “lalu lalang” perempuan maupun laki-laki yang “dicurigai” sebagai pemberi jasanya datang terlihat di kosan 1.000 pintu Cikarang. Soal open “BO” ini beberapa temannya juga tak sedikit yang mengaku pernah mencoba jasanya.
“Bahkan, kalau kita instal aplikasi buat open BO, terus klik lokasi terdekat, di sini ada banyak banget.” Kata Arya.
Inilah dampak dari paham kapitalisme sekular. Di mana aturan agama dipisahkan dari kehidupan. Nilai-nilai agama hanya diterapkan sebatas untuk mengurusi masalah ibadah saja atau selingkup hubungan antara individu dengan Allah "hablum minallah”. Sedangkan untuk urusan keduniawian masyarakat cenderung lebih berkiblat ke budaya barat yang bebas. Dahulu, tinggal bersama pacar atau sekarang disebut dengan fenomena living together sangat tabu di masyarakat. Karena masyarakat masih peduli dengan kondisi di sekitarnya dan masih menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan sopan santun. Berbeda dengan generasi saat ini seperti gen z dan millenial yang cenderung hidup bebas tanpa didasari dengan norma-norma agama dan itu sudah menjadi hal yang lumrah. Mereka beralasan itu lebih praktis dan realistis. Trend living together ini menjadi ajang “Tes Drive” sebelum menikah. Untuk mengetahui kecocokan pasangan dari kehidupan sehari-hari. Alasan lainnya adalah karena hidup tanpa adanya ikatan pernikahan menjadikan pasangan akan lebih babas untuk eksplor hubungan. Selain itu, faktor finansial juga memengaruhi. Di mana hidup berdua dengan pasangan akan lebih hemat untuk biaya hidup daripada hidup sendirian.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA bahwa ia berkata, Rasulullah SAW bersabda : “Ketahuilah tidaklah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita kecuali yang ketiganya adalah setan”
Kemungkinan besar trend living together akan terus berkembang seiring perubahan gaya hidup modern. Di mana pasangan memilih untuk tidak menikah demi menghindari besarnya biaya pesta pernikahan dan tanggung jawab dalam hal ekonomi, serta untuk menghindari konflik rumah tangga yang rumit. Semakin banyak orang yang lebih memilih untuk living together daripada menikah, karena dianggap lebih fleksibel tanpa harus tanggung jawab jangka panjang. Mirisnya, dalam sistem kapitalisme ini mendorong normalisasi pada tren living together. Mulai dari industri hiburan, media, kondisi masyarakat sekular, dan pendidikan yang semakin liberal. Di tambah standar pernikahan dalam sistem kapitalisme menjadi semakin tinggi sedangkan kondisi perekonomian semakin sulit.
Pernikahan dalam Islam merupakan ibadah terlama dalam kehidupan. Dalam sistem sosial kehidupan suami istri itu hendaknya saling menjaga.
Allah SWT berfirman : “Mereka istrimu adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka” (QS Al-Baqarah Ayat 187).
Selain itu pernikahan adalah ikatan yang kokoh (mitsaqon gholizon). Sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah SWT :
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah menggauli satu sama lain (sebagai suami istri) dan mereka pun (istri-istrimu) telah membuat perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) denganmu ?” (QS An-Nisa ayat 21).
Pernikahan dalam Islam bukan sekadar hubungan romantis, tetapi harus berlandaskan kepada prinsip-prinsip Islam. Dengan demikian masyarakat akan terhindar dari jebakan gaya hidup liberal yang seringkali membuat hubungan suami istri hanya sekadar transaksi untung dan rugi. Dalam Islam ada tahapan pengenalan lebih mendalam sebelum menikah yaitu biasa disebut dengan taaruf. Proses taaruf ini memudahkan seseorang untuk mengenal calon pasangannya dengan tetap menjaga batasan syariat agama, dan living together bukan solusi yang dibenarkan dalam Islam.
Dan yang perlu disadari bahwa living together bukanlah trend semata. Ini adalah hasil dari budaya kapitalisme sekular yang lebih mengutamakan individualisme liberal dibandingkan dengan membuat komitmen. Untuk itu, sudah saatnya kembali kepada aturan Allah SWT sebagai upaya pencegahan pasangan muda terjebak pada aktivitas maksiat yang berujung dosa.
Wallahu A'lam Bisshawwab